Hukum Mengaqiqahi Bayi Yang Meninggal

Mengaqiqahi bayi yang baru dilahirkan diperintahkan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana beliau mengaqiqahi 2 cucu beliau, yaitu Hasan dan Husain.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, dan dia berkeinginan menyembelih untuknya, maka sembelihlah untuk anak lelaki dua kambing yang sepadan dan untuk anak wanita satu kambing. (HR. Abu Dawud, hadist no. 2842).

Namun para ulama berbeda pendapat tentang hukum aqiqah. Ada beberapa pendapat mengenai hukum aqiqah.

1. Hukumnya sunnah.

Imam An-Nawawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab :

ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّ الْعَقِيقَةَ مُسْتَحَبَّةٌ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَبُو ثَوْرٍ وَجُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ وَهُوَ الصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِ أَحْمَدَ

Telah kami sebutkan bahwa mazhab kami (mazhab Syafi’i) berpendapat bahwa aqiqah dianjurkan, dan ini pendapat Malik, Abu Tsaur dan Jumhur (mayoritas) ulama dan ini yang benar dan terkenal dari mazhab Ahmad. (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, jilid 8 halaman 447).

2. Hukumnya wajib.

Imam An-Nawawi rohimahullah berkata :

وَقَالَتْ طَائِفَةٌ هِيَ وَاجِبَةٌ وَهُوَ قَوْلُ بُرَيْدَةَ بْنِ الْحُصَيْبِ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَأَبِي الزِّنَادِ وَدَاوُد الظَّاهِرِيِّ وَرِوَايَةٌ عَنْ أَحْمَدَ

Suatu kelompok berkata : Hukumnya wajib. Dan ini pendapat Buraidah bin Al-Husaib, Al-Hasan Al-Bashri, Abu Az-Zinad, Daud Az-Zohiri dan satu Riwayat dari Ahmad. (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, jilid 8 halaman 447).

3. Hukumnya bukan sunnah ataupun wajib, tapi bid’ah.

Kemudian Imam An-Nawawi rohimahullah kembali melanjutkan :

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ وَلَا سُنَّةٍ بَلْ هِيَ بِدْعَةٌ

Imam Abu Hanifah berkata : Bukan wajib dan bukan pula sunnah, akan tetapi bid’ah. (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, jilid 8 halaman 447).

Imam An-Nawawi rohimahullah kemudian menuqil pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa orang yang mengatakan aqiqah itu wajib dan bid’ah adalah Tindakan yang berlebihan.

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ أَفْرَطَ فِي الْعَقِيقَةِ رَجُلَانِ رَجُلٌ قَالَ إنَّهَا وَاجِبَةٌ وَرَجُلٌ قَالَ إنَّهَا بِدْعَةٌ

Imam As-Syafi’i berkata : Ada 2 orang yang berlebihan dalam aqiqah : salah seorang berkata : Sesungguhnya aqiqah itu hukumnya wajib, dan yang seorang lagi berkata : Sesungguhnya aqiqah itu bid’ah. (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, jilid 8 halaman 447).

Artinya Imam Syafi’i rohimahullah mengkritisi pendapat yang mengatakan bahwa aqiqah itu wajib dan juga mengkritisi pendapat yang mengatakan bahwa aqiqah itu bid’ah.

Lalu bagaimana jika bayi yang lahir meninggal sebelum hari ke 7 kelahirannya? Haruskah diaqiqahi?

Imam An-Nawawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab :

لَوْ مَاتَ الْمَوْلُودُ قَبْلَ السَّابِعِ اُسْتُحِبَّتْ الْعَقِيقَةُ عِنْدَنَا

Jika seorang Bayi meninggal sebelum hari ke 7 kelahirannya, tetap disunnahkan untuk diaqiqahi menurut mazhab kami (mazhab Syafi’i). (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, jilid 8 halaman 448).

Hal ini berdasarkan hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan bahwa setiap anak tergadai dengan aqiqahnya.

Dari Samuroh rodhiyallahu ‘anhu berkata, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :

كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ، وَيُسَمَّى

Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Disembelih kambing pada hari ketujuh, dicukur gundul rambutnya (bayi), dan diberi nama. (HR. Ibnu Majah, hadist no. 3165).

Inilah pendapat dalam mazhab Syafi’i, di mana anak yang meninggal sebelum hari ke 7 kelahirannya pun disunnahkan untuk diaqiqahi, karena setiap anak yang dilahirkan tergadai dengan aqiqahnya. Artinya jaminan keselamatan untuknya dari segala bahaya, tertahan sebelum dia di aqiqah.

Apa Maksud Tergadai dengan Aqiqahnya?

Imam Abul Hasan Nuruddin Al-Qory rohimahullah seorang ulama mazhab Hanafi berkata di dalam kitabnya Mirqotu Al-Mafaatih Syarah Miskatu Al-Mashobih :

مَرْهُونٌ بِعَقِيقَتِهِ: يَعْنِي أَنَّهُ مَحْبُوسُ سَلَامَتِهِ عَنِ الْآفَاتِ بِهَا أَوْ إِنَّهُ كَالشَّيْءِ الْمَرْهُونِ لَا يَتِمُّ الِاسْتِمْتَاعُ بِهِ دُونَ أَنْ يُقَابِلَ بِهَا لِأَنَّهُ نِعْمَةٌ مِنَ اللَّهِ عَلَى وَالِدَيْهِ، فَلَا بُدَّ لَهُمَا مِنَ الشُّكْرِ عَلَيْهِ

Tergadaikan dengan aqiqahnya, artinya jaminan keselamatan untuknya dari segala bahaya, tertahan dengan aqiqahnya. Atau si anak seperti sesuatu yang tergadai, tidak bisa dinikmati secara sempurna, tanpa ditebus dengan aqiqah. Karena anak merupakan nikmat dari Allah bagi orang tuanya, sehingga keduanya harus bersyukur. (Mirqotu Al-Mafaatih Syarah Miskatu Al-Mashobih, jilid 7 halaman 2687).

Inilah makna anak tergadai dengan aqiqahnya menurut seorang ulama dari mazhab Hanafi. Maka dari itu, jika mampu mengaqiqahi anak, maka aqiqahkanlah, karena aqiqah merupakan bagian dari syariat Islam, dan jika sang anak di aqiqahi, maka dia barulah menjadi sempurna karena sudah ditebus dengan aqiqah, sebagaimana perkataan seorang ulama mazhab Hanafi di atas.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *