Memasuki seperempat abad 21, problematika manusia semakin heterogen, dengan solusi yang bias tak menyeluruh. Sistem kapitalis yang terglobalisasi dengan apik, memperkeruh keadaan manusia sehingga menyebabkan ketidakberdayaan jutaan orang di seluruh dunia untuk menyambung kehidupannya. Permasalahan yang ditimbulkan dari sistem kapitalisme ini tentu akan berujung kepada kemiskinan yang saat ini selalu menjadi momok permasalahan utama (prime issue) setiap negara termasuk Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia mengeluarkan data terbaru pada Maret 2023 bahwa masyarakat miskin berjumlah 25.9 juta jiwa, atau 9,36 %. Secara global, index yang dikeluarkan oleh United Nation Development Programme tentang Index Kemiskinan Multidimensi (Multidimensional Poverty Index) bahwa 1.1 Miliar manusia dari 6.8 manusia (per Juli 2023) berada di garis kemiskinan yang akut. Pertanyaan yang akan timbul adalah bagaimana definisi kemiskinan yang sebenarnya? Lantas, apa solusi menghadapi kemiskinan dari beberapa perspektif?
Pembahasan tentang kemiskinan tentu sangatlah luas, namun dalam diskursus tulisan ini, kemiskinan bisa dilihat dari dua sudut pandang, barat (konvensional) dan Islam. Pada Maret 1995 konferensi sosial dunia mendefinisikan bahwa wujud dari kemiskinan sangat mejemuk, dimulai dari rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif sebagai penjamin kehidupan, kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kekurangan akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tidak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial. Islam memandang pembahasan tentang kemiskinan dalam beberapa ayat-ayat Qur’an. Secara etimologi kalimat “miskiin” dalam berasal dari س ك ن yang memiliki arti tetap, tidak bergerak maupun tempat tinggal (Sahabuddin, 2007). Di dalam Qamus al-Muhit kata miskin diartikan dengan orang yang tidak memiliki sesuatu, atau memiliki sesuatu tetapi tidak mencukupinya, atau orang yang dibuat diam oleh kefaqiran. Etimologi lain dari kalimat مسكين dapat juga diartikan dengan orang yang hina dan lemah (Majd). Sedangkan kata miskin di dalam kamus Lisan al-‘Arab diartikan sebagai orang yang tidak memiliki apa-apa, dan ada juga yang mengatakan, miskin adalah orang yang tidak memiliki sesuatu yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya (Manzur, 2019).
Dewasa ini, berbicara tentang problematika kemiskinan tak akan terlepaskan dari faktor internal dan eksternal sebagai penyebab utamanya. Upaya pemberantasan kemiskinan yang mengacu kepada dua faktor terebut juga mempunyai pembahasannya tersendiri namun mampu terdefinisikan secara singkat bahwa memberantas mental kemiskinan merupakan isu terpenting dalam faktor internal, dan zakat sebagai pondasi utama dalam isu eksternal. Kewajiban memberantas mental kemiskinan sebagai topik utama diskursus artikel ini tentu harus berlandaskan pada perspektif Qur’ani. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup seluruh alam semesta telah memberikan gambaran bahwa Allah Sang Khalilq menjadikan dunia dan isinya sebagai ladang bagi manusia untuk beramal, mencari rezeki dan berbuat kebajikan sebagaimana tercermin dalam Surat Al-Mulk:15. Manusia melalui ayat tersebut juga diperintahkan untuk memenuhi kebutuhan dirinya sehingga dengannya turunlah rezeki dari Allah dengan segala macam bentuknya. Penafsiran Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir KSA Online Qur’an) tentang ayat ini adalah bahwa umat manusia dapat melakukan perjalanan kemana saja yang dikehedaki dari belahan dunia untuk berusaha atau melakukan perniagaan sebagai upaya untuk mendapatkan rezeki dari Allah SWT dengan tetap bertawakkal dan memohon kemudahan dari Allah SWT. Ayat ke-6 dari Surat Hud juga menjadi landasan aqidah dan amaliyyah kehidupan manusia tentang penjaminan rezeki dari setiap makhluk hidup bahkan hewan melata sekalipun tak pernah luput dari jaminan rezeki Rabbnya. Adapun ayat-ayat lain maupun hadis-hadis nabi tentu tidaklah sedikit yang menyatakan bahwa Allah tidak akan pernah tidur untuk menjamin keberlangsungan hidup hamba-hambanya.
Kemiskinan yang melanda kehidupan seseorang tentu sangat berbahaya dan mampu merusak segala aspek kehidupan sosial dan spiritualitasnya. Sebagai contoh konkret, Allah SWT telah mengecam mereka yang merasa dengan kemiskinannya membunuh anak dalam Surat Al-An’am ayat 6, dan Surat Al-Isra’ ayat 31. Aqidah seseorang yang miskin tentu semakin tergerus karena merasa tidak adanya keadilan yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Perkara-perkara tersebut tentu membutuhkan solusi-solusi nyata tentang bagaimana faktor internal yaitu mental kemiskinan perlu diberantas bahkan sejak manusia itu masih dalam kandungan. Setidaknya ada 5 solusi untuk memberantas mental kemiskinan menurut pandangan Al-Qur’an. Pertama, memperbanyak kesyukuran terhadap nikmat Allah SWT. Surat Ibrahim ayat 7 sebagai pilar kesyukuran selayaknya menjadi worldview seseorang dalam mengapresiasi segala nikmat Tuhannya. Secara sederhana, syukur menambah nikmat, sedangkan kufur memberi azab dan kesengsaraan. Rasa syukur itu tentu perlu diwujudkan dengan memaksimalkan segala potensi internal sebagai manusia maupun potensi eksternal pada alam semesta. Kedua, bersungguh-sungguh dan menjauhi sifat malas. Al-Qur’an telah memerintahkan manusia untuk bekerja keras dalam menggapai keridhoan Allah melalui Surat At-Taubah ayat 9,dan Al-Jumu’ah ayat 10. Bekerja merupakan kodrat hidup baik kehidupan fisik, biologis, spiritual, intelektual, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang (Walian, 2013). Ketiga, hemat dan tidak bersikap boros. Wa laa tubadzzir tabdziraa cukup menajdi dalil yang kuat agar manusia tidak berlebih-lebihan dalam sisi ekonomis maupun yang lainnya. Keempat, Al-Qur’an memberi perintah untuk melestarikan lingkungan hidup, larangan merusaknya maupun bentuk- bentuk pengrusakan lainnya, dan merugikan makhluk hidup dalam beberapa ayatnya (QS. Al-A’raf [7]: 56, QS. Al-Qashas[28]: 77). Usaha manusia mengelola bumi sebagai lingkungan hidupnya secara cermat dan bijaksana tentu akan menjadi kausalitas keberlangsungan hidup manusia di muka bumi. Kelima, sebagai solusi penutup adalah mencari harta dengan jalan yang benar dan tidak berlaku batil terhadap harta orang lain. Taufiq dalam jurnal ilmiahnya (2018) menyebutkan bahwa Islam memerintahkan pemeluknya untuk mencari harta sesuai dengan syariat. Salah satu batasan-batasan umum dalam bermuamalah yang dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu larangan memakan harta secara batil untuk melindungi hak dan kekayaan orang lain agar tidak dilanggar dan dirampas. Al Qur’an telah memberikan petunjuk pada QS. An-Nisa [4] ayat 29 dan At-Taubah [9] ayat 34 bahwa perilaku batil membuat orang lain tidak ridha karena hak-hak kebendaannya terzalimi.
Langkah-langkah diatas merupakan pondasi utama dalam memberantas kemiskinan yang bukan hanya saja harus dilaksanakan secara kolektif sehingga dijatuhi hukum fardhu kifayah. Memberantas kemiskinan merupakan kewajiban setiap individu untuk menerapkan segala macam solusi diatas sehingga bisa dikatakan bahwa hukumnya fardhu ‘ain demi menjaga maqashid syariah yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Wallahu A’lam
Oleh: Farhan Abdau