Beberapa Kepercayaan Masyarakat di Bulan Muharram Yang Bertentangan dengan Syariat Islam

Bulan Muharram termasuk salah satu bulan haram yang dimuliakan di dalam Islam dan ada beberapa kemuliaan bulan Muharram sebagaimana yang disebutkan di dalam hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

1. Bulan Muharram termasuk salah satu bulan haram (mulia)

Dari Abi Bakroh rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو القَعْدَةِ، وَذُو الحِجَّةِ، وَالمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ، مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى، وَشَعْبَانَ

Sesungguhnya waktu itu berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada 12 bulan. Di antaranya ada 4 bulan haram (suci). 3 bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Satu bulan lagi yaitu Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil akhir dan Sya’ban. (HR. Bukhari, hadist no. 4662).

2. Puasa di bulan Muharram termasuk sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الْفَرِيضَةِ، صَلَاةُ اللَّيْلِ

Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah bulan Allah (Muharram). Dan shalat paling utama sesudah shalat fardhu adalah shalat malam. (HR. Muslim, hadist no. 1163).

3. Bulan Muharram adalah Syahrullah (bulan Allah)

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ

Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah bulan Allah (Muharram). (HR. Muslim, hadist no. 1163).

Namun, ada beberapa mitos yang masih diyakini masyarakat sampai saat ini tentang bulan Muharram, di antaranya adalah :

1. Bulan Muharram (suro) adalah bulan sial untuk melakukan Pernikahan

Banyak masyarakat khusunya di pulau Jawa yang menganggap bahwa bulan Muharram (Suro) adalah bulan keramat, sehingga mereka menghentikan aktivitas-aktivitas di bulan Muharram ini. Mereka menganggap bahwa bulan Suro (Muharram) sebagai bulan sial untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, seperti pernikahan, hajatan, dan berbagai aktivitas lainnya.

Mereka meyakini bahwa jika pernikahan diadakan di bulan ini, maka akan menimbulkan kesialan, seperti rumah tangganya tidak harmonis, menimbulkan perceraian dan berbagai hal lainnya.

Keyakinan seperti ini tentunya tidak benar adanya dan Islam membantah keyakinan seperti ini, karena semua bulan itu baik untuk melaksanakan pernikahan.

Memang, pada dasarnya seorang muslim disunnahkan menikah di bulan Syawal, namun bukan berarti menikah selain bulan Syawal tidak diperbolehkan.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami rohimahullah berkata di dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj :

وَقَوْلُهُ وَيُسَنُّ أَنْ يَتَزَوَّجَ فِي شَوَّالٍ أَيْ حَيْثُ كَانَ يُمْكِنُهُ فِيهِ وَفِي غَيْرِهِ عَلَى السَّوَاءِ

Perkataan disunnahkan menikah di bulan Syawal, artinya jika pernikahan dilakukan di bulan Syawal dan selain bulan Syawal itu sama saja. (Tuhfatul Muhtaj, jilid 7 halaman 189).

Oleh sebab itu, menikah di bulan syawal dan bulan lainnya sama saja, tidak ada larangan menikah di bulan apapun, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Baik dia menikah di bulan Syawal, Muharram, Shafar, Dzulqa’dah dan bulan-bulan lainnya diperbolehkan di dalam Islam.

Bagaimana jika seorang muslim menganggap bukan Muharram adalah bulan Sial?

1. Sama saja mencaci Allah, karena Allah lah yang menciptakan waktu

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi :

يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِي الأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

Anak Adam telah menyakiti-Ku, dia mencela waktu, padahal Aku adalah pencipta waktu. Di tangan-Ku segala urusan, Aku yang membolak-balikkan malam dan siang. (HR. Muslim, hadist no. 4826).

2. Menganggap hari, bulan dan tahun bisa mendatangkan manfaat dan mudorot termasuk Tathayyur dan Tathayyur termasuk kesyirikan

Perlu diketahui, bahwa tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang bisa mendatangkan manfaat dan mudorot kecuali Allah.

Allah berfirman :

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Al-A’raf : 188).

Dari Abdullah bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، ثَلَاثًا، وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya sampai 3 kali. Ibnu Mas’ud berkata : “Tidak ada yang bisa menghilangkan prasangka jelek dalam hatinya. Namun Allah-lah yang menghilangkan anggapan sial tersebut dengan tawakal.” (HR. Abu Daud, hadist no. 3910).

Ibnu Daqiq rohimahullah juga membawakan hadist di atas di dalam kitabnya Al-Iqtirah Fii Bayaanil Isthilah dan mengomentarinya :

أخرجه أَبُو دَاوُد وَابْن مَاجَه وَالتِّرْمِذِيّ وَصَححهُ

Dikeluarkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dan dia (Imam At-Tirmidzi) menshahihkannya. (Al-Iqtirah Fii Bayaanil Isthilah, jilid 1 halaman 125).

Oleh karnanya menganggap bahwa bulan Muharram bulan yang sial untuk menikah adalah khurafat, ini adalah kepercayaan yang turun-temurun dari nenek moyang yang tidak ada dasarnya sama sekali, dan tentunya bertentangan dengan ajaran Islam serta harus ditinggalkan oleh seorang muslim.

Allah berfirman :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. (QS. Al-Maidah : 104).

2. Puasa tanggal 1 Muharram

Perlu diketahui, bahwa jika seorang muslim mengerjakan sesuatu, maka yang dinilai pertama kali adalah niatnya. Sama halnya apabila seorang muslim melaksanakan puasa di awal tahun Hijriyah (1 Muharram).

Apabila dia berpuasa bertepatan dengan dia puasa Daud, puasa Sunnah Senin Kamis ataupun puasa Qadha, maka tidak menjadi sebuah permasalahan.

Akan tetapi, jika niatnya puasa khusus di awalan tahun sengaja dia lakukan karena meyakini adanya keutamaan khsusus puasa di tanggal 1 Muharram tersebut, maka ini tidak dibenarkan di dalam Islam, karena tidak ada hadist khusus yang menerangkan puasa tanggal 1 Muharram atau di awal tahun Hijriyah.

Ada kalimat yang dianggap hadist oleh banyak orang dan dijadikan landasan untuk puasa di awal tahun Hijriyah. Kalimatnya adalah :

من صَامَ آخر يَوْم من ذِي الْحجَّة وَأول يَوْم من الْمحرم فقد ختم السّنة الْمَاضِيَة بِصَوْم وافتتح السّنة الْمُسْتَقْبلَة بِصَوْم فقد جعل الله لَهُ كَفَّارَة خمسين سنة

Barangsiapa yang berpuasa sehari pada akhir bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal bulan Muharram, maka sungguh dia telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah menjadikan kaffarot (penutup) dosanya selama 50 tahun.

Komentar ulama tentang hadist/kalimat di atas :

1. Imam Muhammad Thohir Al-Fattani rohimahullah mengomentari hadist ini di dalam kitabnya Tadzkirotul Maudhu’at :

فِيهِ كذابان

Di dalam hadist ini terdapat 2 kedustaan. (Tadzkirotul Maudhu’at, jilid 1 halaman 118).

2 kedustaan tersebut adalah :

1. Membuka tahun yang akan datang dan menutup tahun yang lalu dengan berpuasa

2. Allah menjadikan puasanya tersebut penutup dosanya selama 50 tahun.

Inilah kedustaan yang ada di dalam kalimat di atas dan kalimat di atas bukanlah hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak sangat tidak layak dijadikan landasan untuk berpuasa tanggal 1 Muharram.

2. Syekh Muhammad Al-Hawamidi rohimahullah berkata di dalam kitabnya As-Sunanu wal Mubtadi’aat Almuta’alliqoh bil Adzkaari was Sholawaati :

قَالَ الإِمَام الفتني فِي تذكرة الموضوعات فِي حَدِيث ” من صَامَ آخر يَوْم من ذِي الْحجَّة وَأول يَوْم من الْمحرم فقد ختم السّنة الْمَاضِيَة بِصَوْم وافتتح السّنة الْمُسْتَقْبلَة بِصَوْم فقد جعل الله لَهُ كَفَّارَة خمسين سنة ” فِيهِ كذابان، وَقَالَ فِي حَدِيث ” فِي أول لَيْلَة من ذِي الْحجَّة ولد إِبْرَاهِيم؛ فَمن صَامَ ذَلِك الْيَوْم كَانَ كَفَّارَة سِتِّينَ سنة ” فِيهِ مُحَمَّد بن سهل يضع. أما دُعَاء آخر السّنة فَلَا شكّ أَنه بِدعَة ضَلَالَة وَمثله دُعَاء أول السّنة

Imam Al-Fattani berkata di dalam Tadzkirotul Maudhu’at pada hadist :

من صَامَ آخر يَوْم من ذِي الْحجَّة وَأول يَوْم من الْمحرم فقد ختم السّنة الْمَاضِيَة بِصَوْم وافتتح السّنة الْمُسْتَقْبلَة بِصَوْم فقد جعل الله لَهُ كَفَّارَة خمسين سنة

Barangsiapa yang berpuasa sehari pada akhir bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal bulan Muharram, maka sungguh dia telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah menjadikan kaffarot (penutup) dosanya selama 50 tahun.

Di dalam hadist ini terdapat 2 kedustaan. Dan beliau berkata pada hadist :

فِي أول لَيْلَة من ذِي الْحجَّة ولد إِبْرَاهِيم؛ فَمن صَامَ ذَلِك الْيَوْم كَانَ كَفَّارَة سِتِّينَ سنة

Pada awal malam Dzulhijjah dilahirkan Ibrahim, maka barangsiapa yang berpuasa pada hari itu, maka ditutup dosanya selama 60 tahun.

Perowinya ada Muhammad bin Sahl seorang pemalsu hadist. Adapun do’a akhir tahun, maka tidak diragukan lagi bahwa doa tersebut adalah bid’ah dholalah seperti doa awal tahun. (As-Sunanu wal Mubtadi’aat Almuta’alliqoh bil Adzkaari was Sholawaati, jilid 1 halaman 167).

Untuk itu hadist di atas termasuk hadist maudhu’ (palsu) dan tidak bisa dijadikan pedoman untuk puasa di awal tahun baru Hijriyah (1 Muharram).

3. Menghidupkan awal malam Muharram

Di dalam Arsyif Multaqo Ahlul Hadist disebutkan :

كما لم يثبت في الشرع إحياءُ ليلةِ أوَّلِ يومِ المحرَّم بالصلاة والذِّكر والدعاء ونحو ذلك ولم يأت شيءٌ في أول ليلةِ المحرَّم، وقد فتشت فيما نقل من الآثار صحيحًا وضعيفًا، وفي الأحاديث الموضوعة فلم أر أحدًا ذكر فيها شيئًا، وإني لأتخوَّف -والعياذ بالله- من مُفترٍ يختلق فيها

Sebagaimana tidak ditetapkan di dalam Syariat untuk menghidupakan awal malam Muharram dengan shalat, dzikir, doa dan sebagainya. Tidak ada riwayat apapun yang menyebutkan keutamaan malam pertama Muharam. Dan saya telah meneliti berbagai riwayat yang dinuqil dari Atsar yang shahih maupun dhaif atau dalam kumpulan hadis-hadis palsu, akan tetapi saya tidak menjumpai seorangpun yang menyebutkan hadist itu. Saya khawatir wal iyadzu billah hadist ini berasal dari pemalsu, yang membuat hadist palsu terkait tahun baru. (Arsyif Multaqo Ahlul Hadist, jilid 120 halaman 457).

Kesimpulan :

1. Larangan menganggap waktu, hari, bulan dan tahun sebagai kesialan.

2. Larangan menikah di bulan Muharram tidaklah benar dan bertentangan dengan Syariat Islam.

3. Menganggap bulan Muharram adalah keramat bagian dari khurafat yang berasal dari nenek moyang dan tidak ada landasannya dari Al-Quran dan Hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Puasa di awal tahun baru Hijriyah (1 Muharram) tidak ada dasarnya dan hadist yang menerangkan tentang hal itu adalah hadist Maudhu’.

5. Menghidupkan awal malam Muharram juga tidak ditemukan hadist yang shahih, sehingga tidak benar jika dikatakan ada hadist yang memerintahkan hal itu. Kecuali dia sudah terbiasa melakukan amalan pada setiap malamnya.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *