Ada postingan yang beredar tentang larangan shalat di atas sajadah yang ada gambarnya, baik itu gambar ka’bah, masjid, atau gambar lainnya. Alasannya adalah karna bisa merendahkan ka’bah dan membuat shalat menjadi tidak khusyu’. Alasan ini tidak bisa diterima karena tidak semua orang seperti itu dan buktinya kaum muslimin khususnya di Indonesia tidak mempermasalahkan sajadah bergambar tersebut. Andai hal itu membuat shalat mereka tidak khusyu’, tentulah mereka sudah menggantinya dengan yang polos.
Salah satu yang perlu dicatat dan diingat lagi adalah, bahwa melarang atau mengharamkan sesuatu harus ada dalil shorih (jelas dan terang) mengenai permasalahan tersebut. Adapun hanya sebatas fatwa, maka itu bukan dalil dan tidak bisa dijadikan hujjah, sebab bukan berasal dari Al-Qur’an dan Hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Shalat di atas sajadah yang ada gambarnya tidak ada dalil yang melarangnya atau mengharamkannya. Jika mereka mengqiyaskan kepada hadist di bawah ini :
Dari Aisyah rodhiyallahu ‘anha berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي خَمِيصَةٍ لَهَا أَعْلاَمٌ، فَنَظَرَ إِلَى أَعْلاَمِهَا نَظْرَةً، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ، فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلاَتِي
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan pakaian khamishah yang bercorak. Dalam shalatnya beliau memandang sekilas corak pakaian tersebut. Setelah selesai shalat, beliaupun berkata : Serahkan khamishah ini kepada Abu Jahm, dan ambilkan untukku pakaian ambijaniyah hadiah dari Abu Jahm. Karena, pakaian khamishah tadi melalaikan khusyuk shalatku. (HR. Bukhari, hadist no. 373).
Maka hadist ini tidak berbicara tentang pelarangan shalat dengan sajadah atau pakaian yang bercorak atau bergambar, tapi baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya meminta yang lain sebagai gantinya karena beliau tidak khusyu’ di dalam shalatnya. Oleh sebab itu ulama memakruhkan shalat dengan pakaian yang ada gambarnya. Tapi bukan mengharamkannya.
Tradisi orang Arab pada saat itu tidak terbiasa shalat dengan pakaian atau sajadah dengan gambar. Hal itu berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada di Indonesia sekarang ini. Hampir semua sajadah di masjid-masjid ataupun di rumah, ada gambar ataupun ada coraknya, lambat-laun masyarakat Indonesia akhirnya terbiasa dengan hal itu dan tidak lagi memikirkan kekhusyu’an karena sudah terbiasa.
Maka jika ada yang melarangnya bahkan sampai mengharamkannya, maka tentu ini perbuatan yang berlebih-lebihan. Karena untuk melarang ataupun mengharamkan sesuatu butuh dalil yang shorih. Jika tidak ada dalil yang melarangnya, maka tidak bisa dijadikan pegangan.
Untuk itu, selagi agama tidak mempersulit pengkiutnya, janganlah dipersulit atau terlalu ekstrim dalam agama ini sehingga pikiran akan menjadi sempit dan seolah-olah Islam itu memberatkan, padahal bukan begitu, merekalah yang mempersulit dirinya sendiri.
Maka dari itu baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ، قَالَهَا ثَلَاثًا
Binasalah Al-Mutanathi’un (berlebih-lebihan dalam urusan). Beliau mengucapkanya tiga kali. (HR. Muslim, hadist no. 2670).
Imam An-Nawawi rohimahullah mengomentari hadist di atas di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :
(هلك المتنطعون) أي المتعمقون الغالون المجاوزون الحدود في أقوالهم وأفعالهم
Binasalah Al-Mutanathi’un (berlebih-lebihan dalam urusan). Artinya : orang yang terlalu mendalam, mempersulit urusan yang mudah, dan melampui batas dalam ucapan dan perbuatan mereka. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 16 halaman 220).
Allah berfirman :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj : 78).
Allah berfirman :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-Baqarah : 185).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا تشددوا على أنفسكم فيشدد الله عليكم فإن قوما شددوا على أنفسهم فشدد الله عليهم، فتلك بقاياهم في الصوامع والديار، وَرَهْبَانِيَّةً ابتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ
Janganlah kamu memberat-beratkan dirimu sendiri, sehingga Allah akan memberatkan dirimu. Sesungguhnya suatu kaum telah memberatkan diri mereka, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberatkan mereka. Sisa-sisa mereka masih dapat kamu saksikan dalam biara-biara dan rumah-rumah peribadatan, mereka mengada-adakan ketuhanan/kerahiban, padahal Kami tidak mewajibkannya atas mereka. (HR. Abu Dawud, hadist no. 4904).
Jangan terlalu berlebih-lebihan dalam agama, selagi tidak ada dalil yang melarangnya, maka jangan mempersulit diri sendiri. Terkadang banyak sekali yang agama saja memudahkan, pemeluknya malah mempersulit keadaan dirinya sendiri.
Namun jika gambar di sajadah itu bisa mengganggu shalatnya, maka hendaknya tidak menggunakan sajadah yang bergambar tersebut. Akan tetapi masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan hal seperti itu karena rata-rata sajadah yang digunakan masyarakat di Indonesia adalah sajadah yang bergambar atau bercorak, maka hal semacam ini sudah tidak menjadi permasalahan bagi mereka karena sudah terbiasa.
Ada fatwa yang tidak memperbolehkan hal itu. Tentunya beda negara beda tradisi, maka jangan samakan kondisi Arab Saudi dengan Indonesia, tentu akan jauh berbeda. Dan tidak cocok jika menanyakan kondisi Indonesia kepada ulama Arab Saudi, karena mereka tidak tau keadaan di Indonesia seperti apa.
Dan jika menganggap gambar di sajadah termasuk merendahkan kemuliaan ka’bah, hal ini juga justru tidak ada dasarnya sama sekali dan cenderung su’udzon kepada niat orang yang membuatnya. Boleh jadi pembuatnya menginginkan kaum muslimin mengingat bahwa ka’bah adalah simbol persatuan ummat Islam di dunia ini. Sebagaimana halnya banyak yang tidak menyadari di sajadah ada masjid Aya Sophia yang secara langsung mungkin pembuat menginginkan kaum muslimin mengingat kembali sejarah Aya Sophia menjadi masjid.
Sekali lagi, selama tidak ada dalil yang melarang atau mengharamkannya, maka tidak apa-apa shalat di atas sajadah yang ada gambar ka’bah ataupun yang ada coraknya. Dan sama sekali bukan termasuk menghinakan dan sama sekali tidak ada unsur penghinaannya. Karena boleh jadi pembuatnya menginginkan kaum muslimin mengingat bahwa ka’bah adalah simbol persatuan ummat Islam di dunia ini.
Jangan mempermasalahkan hal yang seperti ini, jika tidak khusyu’ tinggalkan dan cari sajadah yang polos. Jika sudah terbiasa dan tidak mengganggu shalat, maka lanjutkan shalat dengan sajadah tersebut. Sesungguhnya agama tidak memberatkan kaum muslimin dalam menjalankannya.
Semoga bermanfaat.
Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi