Di antara asmaul husna adalah Al-Hakim, yang maknanya adalah Allah Maha Bijaksana, Tepat, dan Bagus dalam menetapkan semua hukumnya. Tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’aalaa menciptakan semua ini sia-sia belaka, melainkan ada hikmah dan tujuan agung di setiap syariatnya. Semua yang Allah perintahkan pasti ada maslahat besar di dalamnya, begitupun apa yang Allah larang pasti ada mudarat di dalamnya.
Hikmah yang agung, yang ada pada setiap hukum-Nya akan semakin nampak bilamana kita mengkaji lebih dalam tentang maqashid asy-syari’ah. Untuk itu, salah satu ilmu yang agung untuk dipelajari adalah tentang maqashid asy-syari’ah, dimana iman akan semakin bertambah tatkala mengkaji dan mengetahui betapa sempurnanya Allah meletakkan syariat yang cocok bagi makhluk-Nya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’aalaa yang menciptakan manusia, maka Dia pulalah yang paling mengetahui syariat yang paling sesuai dengan makhluk ciptaan-Nya.
Tetapi yang amat disayangkan, ada sebagian orang yang berlebihan dalam maqashid asy-syariah, walhasil mereka menentang syariat yang sempurna ini dengan cara yang halus atas nama maqashid asy-syari’ah. Mengubah-ubah hukum Allah tanpa disadari. Untuk itu harus memperhatikan rambu-rambu saat menyimpulkan hukum dengan mengatasnamakan maqashid asy-syari’ah.
Sebelum masuk ke pembahasan bagaimana bentuk melampaui batas dalam maqashid asy-syari’ah, kita mulai dengan definisi terlebih dahulu agar kita mendapatkan gambaran yang baik tentang apa yang akan dibahas.
Definisi maqashid dan syari’ah
Maqashid secara etimologi adalah bentuk jamak dari maqshad(مقصد) diambil dari fi’il qashada(قصد), dan dalam bahasa Arab digunakan untuk beberapa makna, diantaranya:
1) Jalan yang lurus
وَعَلَى ٱللَّهِ قَصْدُ ٱلسَّبِيلِ وَمِنْهَا جَآئِرٌ
Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. (An-Nahl: 9)
2) Adil dan pertengahan
وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ
dan di antara mereka ada yang pertengahan. (Faathir: 32)
3) Dekat
لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا
Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang dekat. (At-Taubah: 42)
4) Maksud atau tujuan
فقصدت لعثمان حتى خرج من الصلاة
Maka aku bermaksud menanti ‘Utsman hingga dia keluar untuk salat. (HR. Al-Bukhari 3420)
Dan makna yang keempat inilah yang menjadi asal dari istilah maqashid asy-syari’ah. Ibnu Jinni berkata
أصل ق ص د ومواقعها في كلام العرب: الاعتزام والتوجه والنهود والنهوض نحو الشيء
Asal kata yang terdiri dari huruf qaf shad dal dan kedudukannya dalam bahasa Arab bermakna: maksud, menuju, menyongsong, bangkit menuju sesuatu. (Taajul ‘Aruus min Jawaahiril qaamuus jilid 9 hal. 36)
Syariah secara etimologi memiliki dua makna, yaitu:
1) Jalan yang lurus
ثُمَّ جَعَلْنَٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ ٱلْأَمْرِ فَٱتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas jalan yang lurus dari perkara itu, maka ikutilah jalan itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Al-Jatsiyah: 18)
2)
مورد الماء، الذي تَشْرَع فيه الدَّوابُّ
Mata air yang binatang ternak minum darinya (Taajul ‘Aruus min Jawaahiril qaamuus jilid 6 hal. 81)
Sedangkan syariah (islamiyah) secara terminologi adalah
ما نَزل به الوَحي على مُحمّد صلى الله عليه وسلّم من الأحكام التي تُصلِح أحوال الناس في الدنيا والآخرة سواءً في ذلك الأحكام العقائديّة، أو الأحكام العمليّة، أو الأخلاق
Wahyu yang turun kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi was sallam yang berupa hukum-hukum yang memperbaiki perihal manusia di dunia dan akhirat, sama saja hukum itu berkaitan dengan akidah, amaliyah(fikih), maupun akhlak. (Diraasaat fii tamyiizil ‘ummah al-islamiyyah wa mauqifil musytasriqiin minhu jilid 1 hal. 304)
Definisi Maqashid Asy-Syari’ah
Maqashid dan syariah adalah dua kata yang tatkala digabung akan melahirkan terminologi baru di sisi para ulama. Berikut definisi maqashid asy-syari’ah dari beberapa ulama:
Al-Aamadi
المقصود من شرع الحكم: إما جلب مصلحة أو دفع مضرة أو مجموع الأمرين
Tujuan dari disyariatkannya hukum, entah itu untuk mengambil manfaat, atau menolak mudarat atau gabungan dari kedua hal tersebut. (Al-Ihkaam jilid 3 hal. 271)
‘Ilaal Al-Faasi
المراد بمقاصد الشريعة: الغاية منها، والأسرار التي وضعها الشارع عند كل حكم من أحكامه
Yang dimaksud dengan maqashid asy-syari’ah adalah tujuan dari syariah, dan rahasia yang diletakkan oleh syaari’[1] di dalam setiap hukum dari hukum-hukum-Nya. (Maqaashid Asy-Syarii’ah hal. 3)
Dr. Yusuf Al-‘Aalim
هي المصالح التي تعود إلى العباد في دنياهم وأخراهم، سواء أكان تحصيلها عن طريق جلب المنافع، أو عن طريق دفع المضار
(Maqashid asy-syari’ah) adalah maslahat-maslahat yang kembali kepada hamba dalam urusan dunia dan akhiratnya, sama saja cara memperolehnya dengan cara menarik manfaat ataupun menolak mudarat. (Al-Maqaashid Al-‘Aamah hal. 79)
Ar-Riisuuni
هي الغايات التي وضعت الشريعة لأجل تحقيقها، لمصلحة العباد
Yaitu tujuan-tujuan yang syariat dibuat untuk merealisasikannya untuk kemaslahatan para hamba. (Nadzhariyatul Maqaashid hal. 19)
Inilah definisi maqashid asy-syari’ah di sisi ulama, sedikit berbeda redaksinya, tapi intinya sama yaitu: tujuan yang agung, dimana syariat dibuat untuk merealisasikan tujuan tersebut, baik dengan cara menarik manfaat maupun menolak mudarat.
Kesalahan Dalam Memahami Syariat
Kesalahannya sangat mendasar, yaitu mengagungkan akal dan memberikan akal tugas di luar kapasitasnya dalam menentukan hukum, serta memandang syariat ini terbatas. Al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah merinci kesalahan-kesalahan yang membuat seorang melampaui batas dalam menyimpulkan hukum (I’laamul Muwaqqi’iin jilid hal. 115-116), dan kesalahan tersebut ada lima sisi:
Pertama: persangkaan mereka bahwa nas-nas terbatas dalam menjelaskan hukum atas seluruh kasus yang terjadi
Kedua: banyak mempertentangkan antara nas-nas dengan akal dan kias
Ketiga: keyakinan mereka pada banyak hukum syariat bahwasanya menyelisihi timbangan dan kias, timbangan yang dimaksud adalah keadilan, mereka mengira bahwa keadilan bertentangan dengan hukum-hukum (syariat, -pent).
Keempat: pertimbangan mereka atas ilat[2] dan sifat-sifat yang tidak diketahui bahwa syaari‘ menganggapnya (sebagai ilat dan sifat untuk dasar hukum, -pent), dan pembatalan mereka atas ilat dan sifat-sifat yang justru dianggap oleh syaari‘
Kelima: kontradiksi mereka dalam kias
Inilah lima kesalahan yang biasa terjadi pada seorang yang melampaui batas dalam menyimpulkan hukum. Sedangkan ahlussunah wal jama’ah berkeyakinan bahwa ada tiga poin yang harus dipahami hingga pemahaman kita benar terhadap syariat, yaitu:
- Nas-nas ini lengkap dan menyeluruh sebagai dasar-dasar hukum
- Gugur dan batalnya akal dan ijtihad dan kias di saat ada nas[3]
- Bahwa hukum-hukum syariat semuanya sesuai dengan kias yang benar, tidak ada wahyu yang turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan dengan keadilan dan kias yang benar
Untuk itu para ulama Rahimahumullah memberikan batasan-batasan pada maslahat maupun mudarat agar seorang tidak melampaui batas saat menyimpulkan hukum, mengklaim bahwa suatu itu mengandung maslahat ataupun mudarat kemudian merubah hukum Allah, Allahul musta’aan.
Batasan-Batasan Maslahat:
Dr. Thariq Abdul Halim merinci batasan-batasan untuk maslahat (Al-Maslahah fii Asy-Syarii’ah Al-Islaamiyyah hal. 21-23) sebagai berikut:
Batasan pertama: bahwa maslahat tersebut adalah nyata bukan sekedar persangkaan yang lemah.
Batasan kedua: Maslahat tersebut tidak bertentangan dengan nas baik dari Alquran maupun hadis
Batasan ketiga: Maslahat tersebut tidak bertentangan dengan maslahat yang lebih besar dan lebih penting, atau tidak mendatangkan mafsadat yang lebih besar dari maslahatnya
Batasan keempat: derajat pasti dan sangkaan, karena kepastian akan adanya suatu maslahat dan sangkaan akan maslahat lainnya akan berguna dalam penjelasan mana yang lebih didahulukan dari yang lainnya. Karena yang dihasilkan dari sesuatu yang pasti lebih didahulukan dari yang sekedar persangkaan
Begitupun juga keadaan darurat, para ulama memberikan batasan-batasan sehingga seorang tidak bermudah-mudahan dalam mengklaim dengan darurat untuk menghalalkan hal-hal yang dilarang.
Dr. Muhammad Husain Al-Baizaani menjelaskan batasan-batasan tersebut (Ad-Dharurah Asy-Syar’iyyah wa Tathbiiqaatuhaa Al-Mu’aashirah hal. 66) sebagai berikut:
- Tegaknya mudarat yang merusak atau diprediksi terjadinya secara yakin atau dengan persangkaan kuat (bakal terjadi, -pent)
- Mustahil mendapatkan sarana yang mubah untuk menghilangkan mudarat tersebut, maka saat itu ditentukan untuk melakukan hal yang terlarang oleh syariat untuk menghilangkannya
- Dibatasi darurat tersebut sesuai dengan kadarnya: dari sisi kuantitas maupun durasinya.
- Meninjau konsekuensinya: agar melakukan suatu mudarat tidak menghasilkan mudarat yang sama atau lebih besar dari mudarat yang terjadi.
Empat batasan ini harus dipenuhi sebelum seseorang melakukan hal-hal yang terlarang dengan alasan kondisi darurat, tidak boleh tertinggal satupun diantaranya.
Dengan Contoh Akan Menjadi Jelas
Berikut adalah contoh bentuk melampaui batas dalam maqashid asy-syari’ah, yaitu merubah hukum Allah dengan cara yang halus.
Misalkan di suatu daerah yang mayoritas bekerja adalah para wanita, dengan alasan maslahat maka warisan dibagi sama rata antara anak laki-laki dan perempuan, meskipun ada ahli waris yang tidak rida dengan pembagian seperti ini.
Tentu saja hal ini keliru dari beberapa sisi.
Pertama, pembagian seperti ini jelas menyelisihi syariat, karena pembagian yang benar sesuai syariat adalah bagian warisan anak perempuan adalah setengah dari anak laki-laki
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (An-Nisaa: 11)
Kedua, di dalam Islam yang diwajibkan bekerja mencari nafkah keluarga adalah seorang lelaki. Jika dalam suatu daerah yang bekerja keluar rumah adalah para wanita sedangkan para lelaki tinggal di rumah, maka yang benar adalah memberikan pemahaman bahwa harusnya lelakilah yang harus bekerja keluar rumah, sebab jika wanita bekerja keluar rumah akan ada potensi mudarat yang timbul.
إِنَّ الْمَرْأَةَ عَوْرَةٌ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ فَتَقُولُ: مَا رَآنِي أَحَدٌ إِلا أَعْجَبْتُهُ، وَأَقْرَبُ مَا تَكُونُ إِلَى اللَّهِ إِذَا كَانَتْ فِي قَعْرِ بَيْتِهَا
“Sesungguhnya perempuan itu aurat, Jika dia keluar rumah maka setan menyambutnya. Keadaan perempuan yang paling dekat dengan Allah adalah ketika dia berada di dalam rumahnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1685 dan Tirmidzi no. 1173)
Dr. Shalih Al-Fauzan merinci syarat-syarat jika wanita ingin bekerja keluar rumah.
- Pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang ia butuhkan atau pekerjaan yang dibutuhkan masyarakat karena tidak mungkin digantikan oleh laki-laki.
- Bekerja di luar rumah dilakukan setelah pekerjaan pokok di rumah beres.
- Pekerjaan yang dilakukan berada di lingkungan para wanita seperti sebagai pengajar bagi murid-murid perempuan dan merawat pasien wanita dan terpisah dengan para lelaki.
Maka menyamakan warisan antara anak laki-laki dan perempuan bukanlah solusi yang tepat. Karena membiarkan wanita bekerja keluar rumah saja (jika tidak memenuhi syarat) sudah satu kesalahan, kemudian menyamakan warisan antara anak laki-laki dan perempuan adalah kesalahan lagi karena menyelisihi syariat.
Dan mari kita kita perhatikan lagi batasan maslahat yang dijabarkan oleh Dr. Thariq Abdul Halim bahwa maslahat tersebut tidak boleh bertentangan dengan nas baik dari Alquran maupun hadis, sedangkan menyamakan warisan antara anak laki-laki dan perempuan jelas bertentangan dengan nas Alquran, Allahul musta’aan.
Surabaya, 9 Zulkaidah 1441 H
oleh: Virdaus
[1] Syaari‘ ialah Allah atau Rasulullah Shallallhu ‘alaihi was sallam karena Allah berfirman “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah”(An-Nisaa :80) pada asalnya Syaari‘ adalah Allah ‘Azza wa Jalla “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya“(Asy-Syuuraa : 13) “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang”(Al-Maaidah : 48) tetapi Rasul yang menyampaikan(syariat) dari Allah dan syaari‘ untuk hamba-hamba Allah.
[2] Definisi Ilat: وصف ظاهر منضبط دل الدليل على كونه مناطا للحكم
“Sifat yang nampak pada sesuatu, dimana dalil menunjukan bahwa eksistensinya adalah sebab munculnya sebuah hukum” (Ushuulul fiqhi alladzi laa yasi’u al faqiih jahluhu hal. 146) Misal: memabukan adalah sifat yang nampak yang dimana dalil menunjukan bahwa eksistensinya menimbulkan hukum haram pada sesuatu tersebut.
[3] إنا نأخذ بالرأي ما لم يجيء الأثر، فإذا جاء الأثر تركنا الرأي وأخذنا بالأثر
Sungguh kami mengambil pendapat (hasil ijtihad, -penj) saat kita tidak mendapati asar(hadis), jika telah sampai asar(hadis) kita akan tinggalkan pendapat dan kami ambil asar (Al-Ibhaaj fii Syarhil Minhaaj)
لا يحل القياس، والخبر موجود كما يكون التيمم طهارة في السفر عند الإعواز من الماء، ولا يكون طهارة إذا وجد الماء، إنما يكون طهارة في الإعواز
Tidak halal kias saat terdapat hadis, seperti tayamum untuk bersuci di saat safar di saat sulit mendapatkan air, dan tidak bisa digunakan bersuci saat terdapat air, karena (tayamum) untuk bersuci saat kesulitan mendapatkan air. (Al-I’tisham)
إن هذا التعبير يقصد به أن الإنسان إذا أراد أن يعرف حكما شرعيا ينبغى أن يرجع إلى الكتاب والسنة، فإن وجد فيها الحكم اقتنع به وأراح نفسه ولا يكلفها البحث عنه فى مصادر أخرى يقوم عليها الاجتهاد كالقياس ونحوه.
Sesungguhnya ungkapan ini (tidak ada ijtihad pada saat adanya nas, -penrj) dimaksud dengannya adalah jika seorang ingin mengetahui hukum syariat hendaknya merujuk kepada Alquran dan hadis, jika sudah mendapatkan hukum di dalamnya maka telah tercukupkan dan beristirahat dirinya, serta tidak membebani dirinya untuk mencari di sumber-sumber lain yang dibangun diatasnya ijtihad seperti kias dan semisalnya. (www.saffar.org)
Perkataan para ulama diatas menunjukkan bahwa ketika sudah terdapat nas yang jelas lagi tegas menunjukkan sebuah hukum, maka tidak boleh berijtihad, terlebih hasil ijtihad tersebut menyelisihi nas, maka batal ijtihad tersebut. Allahu a’lamu.