Hukum Kredit dalam Islam, Benarkah Harga Kredit Lebih Mahal daripada Harga Tunai Termasuk Riba?

Kredit merupakan permasalah fiqih yang banyak dipersoalkan oleh orang-orang pada zaman sekarang ini, ketika mereka mengetahui satu hukum dan satu pendapat tentang hukum kredit, maka mereka mengklaim seolah-olah hanya pendapat yang dia peganglah yang benar, pendapat yang lain salah. Mereka mengungkit kembali masalah furu’iyyah pada zaman ini, padahal pendapat ini sudah dibahas oleh para ulama ratusan tahun yang lalu.

Bagaimana pendapat ulama mengenai hukum kredit? Di mana harga kredit lebih mahal daripada harga tunainya.

1. Imam An-Nawawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Roudhotut Tholibin :

أَمَّا لَوْ قَالَ: بِعْتُكَ بِأَلْفٍ نَقْدًا، وَبِأَلْفَيْنِ نَسِيئَةً، أَوْ قَالَ: بِعْتُكَ نِصْفَهُ بِأَلْفٍ، وَنِصْفَهُ بِأَلْفَيْنِ، فَيَصِحُّ الْعَقْدُ

Jika dia berkata : Jika tunai, saya jual kepadamu 1000 dirham, jika kredit 2000 dirham. Atau dia berkata : Ku jual separohnya dengan harga 1000 dirham, dan separohnya lagi 2000 dirham. Maka akad seperti ini sah. (Roudhotut Tholibin, jilid 3 halaman 399).

2.  Imam Ibnu Qudamah rohimahullah berkata di dalam kitabnya As-Syarhul Kabir ‘ala Matnil Muqni’ :

وقد روي عن طاوس والحكم وحماد أنهم قالوا لا بأس ان يقول أبيعك بالنقد بكذا وبالنسيئة بكذا فيذهب إلى أحدهما

Diriwayatkan dari Thawus, Al-Hakam, dan Hammad, mereka berkata : Tidak mengapa penjual mengatakan : saya jual harga tunai sekian dan harga kredit sekian. Kemudian pembeli sepakat dengan salah satu harga. (As-Syarhul Kabir ‘ala Matnil Muqni’, jilid 4 halaman halaman 33).

3. Imam Badruddin Al-‘ainy rohimahullah menuqil perkataan Imam At-Tirmidzi rohimahullah di dalam kitabnya Al-Binayah Syarah Al-Hidayah, Imam At-Tirmidzi berkata :

قال بعض أهل العلم أن يقول الرجل: أبيعك هذا الثوب نقدا بعشرة ونسيئة بعشرين فلا مفارقة على أحد البيعتين، فإذا فارقه على أحدهما فلا بأس إذا كانت العقدة على واحد منهما

Sebagian ulama berkata, jika seorang lelaki mengatakan : Baju ini aku jual kepadamu secara tunai seharga 10 dirham, dan jika kredit harganya 20 dirham. Dan ketika mereka berpisah belum menentukan harga mana yang dipilih. Akan tetapi, jika mereka berpisah dan telah menentukan salah satu harga yang ditawarkan, maka akad seperti ini dibolehkan, jika keduanya menyepakati pada salah satu harga. (Al-Binayah Syarah Al-Hidayah, jilid 8 halaman 186).

Lalu bagaimana dengan hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang 2 transaksi dalam satu jual beli?

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua transaksi jual beli dalam jual beli. (HR. Ahmad, hadist no. 9584).

Imam At-Tirmidzi rohimahullah menuqil perkataan Imam Syafi’i rohimahullah di dalam kitabnya Sunan At-Tirmidzi :

قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَمِنْ مَعْنَى نَهْيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ أَنْ يَقُولَ: أَبِيعَكَ دَارِي هَذِهِ بِكَذَا عَلَى أَنْ تَبِيعَنِي غُلاَمَكَ بِكَذَا، فَإِذَا وَجَبَ لِي غُلاَمُكَ وَجَبَ لَكَ دَارِي

Imam As-Syafi’i berkata : Makna larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan 2 jual beli dalam satu jual beli adalah penjual mengatakan : ‘Saya jual rumahku ini dengan harga sekian dengan syarat kamu harus menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Jika saya boleh membeli budakmu, maka kamu boleh membeli rumahku. (Sunan At-Tirmidzi, jilid 2 halaman 524).

Inilah yang dimaksud melakukan 2 transaksi dalam satu jual beli menurut Imam Syafi’i rohimahullah. Adapun hukum kredit diperbolehkan oleh para ulama dengan mengacu pada hadist di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi.

Dari Ummul Mukminin Aisyah rodhiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan cara kredit dan beliau juga menggadaikan perisai kepadanya. (HR. Bukhari, hadist no. 2096).

Berdasarkan hadist di atas, maka para ulama membolehkan sistem kredit. Karena baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melakukan kredit kepada orang yahudi.

Lembaga fatwa As-Syabakah Al-Islamiyyah mengomentari hadist di atas :

فإن الأصل جواز التعامل مع الكفار في البيع والشراء بما في ذلك بيع الدور لهم

Hukum asal melakukan transaksi jual beli dengan orang kafir itu boleh, termasuk menjual rumah kepada mereka. (Fatawa As-Syabakah Al-Islamiyyah, jilid 12 halaman 568).

Kesimpulan :

1. Kredit secara syari’at hukumnya boleh berdasarkan transaksi yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang yahudi, di mana Rasulullah melakukan transaksi secara kredit.

2. Kredit yang dilarang itu adalah apabila barangnya sejenis, seperti uang dengan uang, emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, ataupun garam dengan garam. Namun jika barangnya tidak sejenis seperti uang dengan sepeda motor atau uang dengan emas, maka boleh, karena barangnya tidak sejenis serta emas dan perak bukan lagi menjadi alat tukar seperti zaman dulu, emas dan perak menjadi barang ribawi selama menjadi alat tukar, namun ketika sudah tidak menjadi alat tukar, maka tidak lagi termasuk barang ribawi sehingga statusnya sama dengan barang lainnya. Kebolehan ini sebagaimana yang dilakukan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadist di atas.

Imam Ibnul Qoyyim rohimahullah berkata di dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in :

أَنَّ الْحِلْيَةَ الْمُبَاحَةَ صَارَتْ بِالصَّنْعَةِ الْمُبَاحَةِ مِنْ جِنْسِ الثِّيَابِ وَالسِّلَعِ، لَا مِنْ جِنْسِ الْأَثْمَانِ، وَلِهَذَا لَمْ تَجِبْ فِيهَا الزَّكَاةُ، فَلَا يَجْرِي الرِّبَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْأَثْمَانِ كَمَا لَا يَجْرِي بَيْنَ الْأَثْمَانِ وَبَيْنَ سَائِرِ السِّلَعِ، وَإِنْ كَانَتْ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهَا، فَإِنَّ هَذِهِ بِالصِّنَاعَةِ قَدْ خَرَجَتْ عَنْ مَقْصُودِ الْأَثْمَانِ، وَأُعِدَّتْ لِلتِّجَارَةِ

Perhiasan yang diperbolehkan itu ketika diproduksi dengan cara yang boleh juga, berubah statusnya menjadi jenis pakaian dan barang. Bukan lagi mata uang. Karena itu, tidak wajib dizakati dan tidak berlaku hukum barang ribawi, ketika ditukar antara perhiasan dengan uang. Sebagaimana tidak berlaku aturan ibawi antara uang dengan barang lainnya, meskipun tidak sejenis. Karena, dengan proses produksi menyebabkan fungsi emas tidak lagi mata uang tapi menjadi barang dagangan. (I’lamul Muwaqqi’in, jilid 2 halaman 108).

3. Jika kedua belah pihak sudah menyetujui transaksi, seperti misalnya pembayaran dilakukan secara kredit selama 10 juta selama setahun. Maka si pemberi kredit tidak boleh menaikkan harga di luar kesepakatan di awal.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *