Para ulama melarang seorang muslim meniup makanan dan minuman yang masih panas, hal ini sebagaimana hadist yang diriwayatkan dari Abu Qatadah rodhiyallahu ‘anhu.
Dari Abu Qatadah dari Ayahnya berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فِي الإِنَاءِ، وَإِذَا أَتَى الخَلاَءَ فَلاَ يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ، وَلاَ يَتَمَسَّحْ بِيَمِينِهِ
Apabila kalian minum, janganlah bernafas di dalam gelas, dan ketika buang hajat, janganlah menyentuh kemaluan dengan tangan kanan dan jangan pula membasuhnya dengan tangan kanannya. (HR. Bukhari, hadist no. 153).
Pendapat Yang Melarang :
1. Imam Ibnu Bathol rohimahullah mengomentari hadist di atas di dalam kitabnya Syarah Shahih Al-Bukhari :
قال المؤلف: التنفس فى الإناء منهى عنه كما نُهى عن النفخ فى الإناء، وإنما السنة إراقة القذى من الإناء لا النفخ فيه، ولا التنفس، لئلا يتقذره جلساؤه. وقوله: تمت لا يمس ذكره بيمينه -، فهو فى معنى النهى عن الاستنجاء باليمين، لأن القبل والدبر عورة، وموضع الأذى
Pengarang berkata : Bernafas di dalam bejana dilarang sebagaimana meniup di dalam bejana. Sebaliknya, sunnah adalah menumpahkan lebih banyak dari bejana, bukan meniup ke dalamnya dan bukan pula bernafas agar jangan sampai mengotori tempat duduknya. Dan Adapun perkataan : Jangan menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya, maknanya adalah larangan membersihkan kotoran dengan yang kanan, karena qubul dan dubur adalah aurat dan tempat kotoran. (Syarah Shahih Al-Bukhari, jilid 1 halaman 243).
2. Imam An-Nawawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :
(ولا يتنفس في الإناء) معناه لا يتنفس في نفس الإناء وأما التنفس ثلاثا خارج الإناء فسنة معروفة قال العلماء والنهي عن التنفس في الإناء هو من طريق الأدب مخافة من تقذيره ونتنه وسقوط شئ من الفم والأنف فيه ونحو ذلك والله أعلم
(Dan jangan bernafas di dalam bejana), artinya adalah jangan bernafas di dalam satu bejana. Adapun bernafas di luar 3 kali di luar bejana, maka sunnah yang dikenal. Para ulama berkata : Dan larangan bernafas di dalam gelas ketika minum termasuk adab. Karena dikhawatirkan akan mengotori air minum atau ada sesuatu yang jatuh dari mulut atau dari hidung atau semacamnya. Wallahu a’lam. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 3 halaman 160).
3. Imam Ibnul Qayyim rohimahullah berkata di dalam kitabnya Zaadul Ma’ad :
وَأَمَّا النَّفْخُ فِي الشَّرَابِ، فَإِنَّهُ يُكْسِبُهُ مِنْ فَمِ النَّافِخِ رَائِحَةً كَرِيهَةً يُعَافُ لِأَجْلِهَا، وَلَا سِيَّمَا إِنْ كَانَ مُتَغَيِّرَ الْفَمِ. وَبِالْجُمْلَةِ: فَأَنْفَاسُ النَّافِخِ تُخَالِطُهُ؛ وَلِهَذَا جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَيْنَ النَّهْيِ عَنِ التَّنَفُّسِ فِي الْإِنَاءِ وَالنَّفْخِ فِيهِ
Meniup minuman bisa menyebabkan air itu terkena bau yang tidak sedap dari mulup orang yang meniup. Sehingga membuat air itu menjijikkan untuk diminum. Terutama ketika terjadi bau mulut. Kesimpulannya, nafas orang yang meniup akan bercampur dengan minuman itu. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan larangan bernafas di dalam gelas dengan meniup isi gelas. (Zaadul Ma’ad, jilid 4 halaman 216).
Pendapat Yang Membolehkan jika makan sendiri atau dengan istri dan anak :
Satu pendapat dalam mazhab Maliki dan Hanbali mengatakan bahwa meniup makanan jika dia makan sendiri tidak dimakruhkan.
Di dalam kitab Al-Masu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan :
وَفِي قَوْلٍ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ: إِنَّهُ لاَ يُكْرَهُ النَّفْخُ فِي الطَّعَامِ لِمَنْ كَانَ وَحْدَهُ. وَقَال الآْمِدِيُّ – مِنَ الْحَنَابِلَةِ -: إِنَّهُ لاَ يُكْرَهُ النَّفْخُ فِي الطَّعَامِ إِذَا كَانَ حَارًّا، قَال الْمِرْدَاوِيُّ: وَهُوَ الصَّوَابُ إِنْ كَانَ ثَمَّ حَاجَةٌ إِلَى الأْكْل حِينَئِذٍ
Satu pendapat di dalam Mazhab Maliki mengatakan bahwa tidak dimakruh meniup makanan bagi orang yang makan sendiri. Al-Amidi dari Mazhab Hanbali mengatakan bahwa peniupan makanan tidak makruh bila makanan itu panas. Al-Mirdawi mengatakan bahwa, ini yang benar, (tidak makruh) jika ada keperluan untuk mengonsumsinya saat itu. (Al-Masu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid 41 halaman 24).
Kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang meniup makanan dan minuman yang panas?
Imam Al-Munawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Faidhul Qadir :
(نهى عن النفخ في الطعام) لأنه يؤذن بالعجلة وشدة الشره وقلة الصبر قال المهلب: ومحل ذلك إذا أكل مع غيره فإن أكل وحده أو مع من لا يتقذر منه شيئا كزوجته وولده وخادمه وتلميذه فلا بأس أو نحو ذلك
(Larangan peniupan makanan) karena itu mengisyaratkan ketergesa-gesaan, kerakusan dan kurang sabar. Al-Mahlab berkata : letak larangan itu terdapat ketika seseorang makan bersama orang lain pada satu wajan. Jika seseorang makan sendiri atau bersama orang yang tidak menganggap kotor apa pun yang keluar dari dirinya, seperti istri, anak, pembantu, dan muridnya, maka tidak apa-apa atau yang semisalnya. (Faidhul Qadir, jilid 6 halaman 324).
Lalu jika menyejukkan makanan dan minuman dengan meniup dari mulut dilarang, bagaimana hukum menyejukkan makanan dan minuman dengan kipas angin? Bolehkah?
Sebuah qoidah ushul fiqh menyebutkan :
الحكم يدور مع العلة، وجودا وعدما
Hukum itu berputar bersama illatnya (sebabnya), baik ketika illatnya ada maupun tidak ada.
Nah, sebelum menghukumi sesuatu, dilihat dulu apa illatnya (sebabnya), barulah kemudian bisa mengambil kesimpulan tentang hukumnya.
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi dan Imam Ibnul Qoyyim di atas, bahwa illat (sebab) dilarangnya menyejukkan makanan dengan meniupnya adalah, karena dikhawatirkan ada kotoran yang jatuh dari mulut dan hidungnya, dan jika makanan atau minuman itu ditiup, bisa menimbulkan bau yang tidak sedap.
Jadi, jika makanan atau minuman itu disejukkan dengan menggunakan kipas angin, dan kipas angin tersebut bersih dan terhindar dari debu, maka hukumnya boleh berdasarkan apa yang disampaikan oleh Imam An-Nawawi dan Imam Ibnul Qoyyim di atas. Karena jika bebas dari debu, makanan dan minuman tersebut tidak kotor sehingga terhindar dari penyakit.
Kesimpulan :
1. Seorang muslim dilarang meniup makanan dan minuman yang panas di dalam Islam
2. Salah satu hikmah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang meniup makanan dan minuman yang panas adalah karena nafas orang yang meniup akan masuk ke makanan atau minuman sehingga makanan atau minuman bisa menjadi kotor dan bisa menyebabkan gangguan pada Kesehatan.
3. Menurut satu pendapat dalam mazhab Maliki dan Hanbali bahwa dibolehkan meniup makanan atau minuman jika dia dalam keadaan makan sendiri ataupun dengan istri, anak, pembantu dan muridnya jika mereka tidak jijik.
4. Namun Mayoritas ulama melarang meniup makanan dan minuman yang panas, baik ketika dia makan sendiri maupun makan bersama orang lain.
5. Di dalam Islam ada satu bab yang dinamakan Al-Ihtiyath (kehati-hatian), berhati-hati dalam perkara apapun sangat dianjurkan, termasuk dalam perkara meniup makanan dan minuman. Daripada di kemudian hari bisa mengganggu Kesehatan diri sendiri, maka lebih baik tidak meniupnya sebagai bentuk kehati-hatian seorang muslim terhadap kemudorotan dan dalam mencegah kemudorotan tersebut datang kepadanya.
Dari Abu Sa’id Al-Khudry rodhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. (HR. Al-Hakim, Al-Mustadrak, hadist no. 2345).
Imam Al-Hakim rohimahullah mengomentari hadist di atas :
هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ
Hadist ini sanadnya Shahih sesuai dengan syarat Muslim, akan tetapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan di dalam kitab mereka berdua. (Al-Mustadrak, jilid 2 halaman 66).
Sebuah qoidah ushul fiqh menyebutkan :
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menolak kemudorotan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.
Oleh karnanya tidak meniup makanan dan minuman tentu lebih selamat sebagai bentuk kehati-hatian seorang muslim dalam menjaga Kesehatan tubuhnya.
6. Bolehnya menyejukkan makanan dan minuman yang masih panas dengan kipas angin, dengan syarat kipas angin itu terhindar dari kotoran sehingga kotoran tidak masuk ke dalam makanan atau minuman yang disejukkan tersebut.
Semoga bermanfaat.
Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi