يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَاۗ وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللّٰهِ الْغَرُوْرُ
Wahai manusia! Sungguh, janji Allah itu benar, maka janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan janganlah (setan) yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. (QS. Fatir: 5)
Setiap manusia pasti menginginkan kehidupan dunia yang penuh dengan kenikmatan dan kesenangan. Namun sebagai seorang mukmin hendaknya menyikapi dunia ini dengan tidak melampaui batas. Baik di saat menyikapi kesenangan maupun kesengsaraan kehidupan ini.
Setiap tindak tanduk manusia kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Sang Pencipta. Inilah maksud dari awal ayat di atas, inna wa’dallāhi ḥaqqun dalam tafsir al-munir dijelaskan, sesungguhnya janji Allah tentang ba’ts, hasyr, pembalasan dan hukuman adalah hak, pasti benar dan pasti ditepati.[1]
Meskipun ayat ini ditujukan kepada orang-orang kafir yang mendustakan risalah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Namun ini juga sebagai peringatan kepada kita bahwa setelah kematian di dunia ini masih ada kebangkitan setelahnya untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan selama hidup di dunia.
Lantas, seperti apa kita memandang dunia ini, apakah kita acuh begitu saja dan terus fokus kepada akhirat kita atau kita bersungguh-sungguh dalam mengejar dunia dan menyampingkan akhirat dengan anggapan bahwa akhirat adalah hari esok dan kita jalani ketika kita di akhirat.
Dunia adalah ladang amal. Dengannya manusia akan dinilai untuk mendapatkan tempatnya di akhirat. Ketika di dunia ia meyakini rukun-rukun islam dan melaksanakan rukum-rukun iman maka derajatnya di akhirat adalah kemuliaan. Namun jika ia menafikkan rukun-rukun iman dan menyepelekan rukun-rukun islam, atau memilih salah satu saja maka derajatnya di akhirat adalah kerugian.
Allah berfirman pada ayat di atas, fa lā tagurrannakumul-ḥayātud-dun-yā, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu. Ini adalah pesan singkat namun sarat akan makna. Kilauan dunia janganlah sampai menjadikan kita lalai dan kenikmatan dunia janganlah menjadikan kita lupa bahwa kita di dunia ini hanya sebentar.
Dalam Tafsir Ath-tabari dijelaskan, maksudnya adalah jangalah kehidupan yang kalian rasakan di dunia dan kepemimpinan kalian atas orang-orang lemah itu membuatmu tinggi hati untuk mengikuti Muhammad dan beriman.[2]
Kekayaan harta adalah ladang untuk berbuat kebaikan, yang dengannya dapat digunakan untuk bersedekah, berwakaf, memberikan makanan, membangun masjid, sekolah, dan tempat-tampat umum lainnya. Namun jika harta tidak mampu menjadikan diri kita menjadi lebih dekat kepada Allah maka kita telah terbuaikan dengan kenikmatan dunia ini
Kepintaran dan pemahaman ilmu yang luas adalah kenikmatan dan ujian yang jika keilmuan tersebut digunakan untuk mengentaskan kebodohan di masyarakat dan memajukan kehidupan masyarakat maka orang tersebut merupakan pribadi yang terbaik, karena sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermafaat bagi manusia yang lain. Jika dengan bertambahnya ilmu kita menjadi semakin jauh dari Allah maka kita telah terlalaikan dari ketaatan kepada Allah.
Kekuasaan dan kekuatan yang kita miliki hendaknya mampu diarahkan untuk hal-hal kebaikan dan tidak menjadikan kita terbuai dengan fasilitas yang ada sehingga kita melupakan akhirat kita.
Allah berfirman, wa lā yagurrannakum billāhil-garụr, Dan sekali-kali janganlah syaithan yang pandai menipu memperdayakan kamu tentang Allah. Maksudnya adalah janganlah syaithan menipumu, membisikkan angan-angan kosong kepadamu, menjanjikan kalian dari Allah dengan janji-janji palsu, dan membawa kalian untuk bersikeras mengingkari Allah.[3]
Allahu A’lam
***
Penulis: Achmad Fathoni
Sidoarjo, 23 Dzulqa’dah 1441 H
[1] Wahbah Az-Zuhaili, tafsir Al-Munir, jilid 11 hal. 550
[2] Tafsir Ath-Thabari
[3] Tafsir Ath-Thabari