Sebagai seorang muslimah hendaknya berhati-hati dalam memilih calon imam yang kelak akan membimbingnya dalam membangun rumah tangga, sebab lelaki itu adalah pemimpin dalam rumah tangganya, dan memilih seorang pemimpin tentunya harus berdasarkan ilmu, agar kelak ketika dia memimpin pun juga tidak asal-asalan, akan tetapi sesuai dengan yang diajarkan syari’at Islam.
Bagaimana kriteria memilih calon suami menurut Islam?
1. Baik agama dan akhlaknya
Dari Abu Hatim Al-Muzanni rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ
Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi. (HR. At-Tirmidzi, hadist no. 1085).
Syekh Faishol An-Najdi rohimahullah mengomentari hadist di atas di dalam kitab Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailil Author :
قَالَ الشَّارِحُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: قَوْلُهُ: «مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ» فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى اعْتِبَارِ الْكَفَاءَةِ فِي الدِّينِ وَالْخُلُقِ، وَقَدْ جَزَمَ بِأَنَّ الاعْتِبَارَ الْكَفَاءَةِ مُخْتَصٌّ بِالدِّينِ مَالِكٌ وَنُقِلَ عَنْ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَمِنْ التَّابِعِينَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْله تَعَالَى: {إنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ} وَاعْتَبَرَ الْكَفَاءَةَ فِي النَّسَبِ الْجُمْهُورُ
Para ulama berkata : Sabda Rasulullah (seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya). Ini adalah dalil bahwa menikah hendaknya memilih yang sekufu’ (sepadan) dalam urusan agama dan akhlak, dan sungguh telah ditentukan bahwa pertimbangan kafaah (sepadan) itu khusus dalam urusan agama, dan dinukil dari Umar, Ibnu Mas’ud dan Tabi’in dari Muhammad bin Sirin dan Umar bin Abdul Aziz, bahwa ini menunjukkan atas Firman Allah (Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa diantara kamu). Dan jumhur (mayoritas ulama) juga mempertimbangkan kafaah (sepadan) dalam urusan nasab (keturunan). (Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailil Author, jilid 2 halaman 221).
Para ulama sangat menganjurkan bagi setiap muslim dan muslimah dalam memilih pasangan agar memperhatikan agama seseorang dan para ulama menganjurkan dalam urusan agama dan akhlak harus sekufu’ (sepadan), karena 2 perkara ini sangat penting dalam kehidupan manusia, baik dalam hal kenyamanan setelah menikah maupun dalam berinteraksi dengannya kelak. Apalagi dalam memilih calon suami yang akan menjadi imam dalam kehidupan rumah tangganya kelak, hendaknya seorang wanita memilih lelaki yang baik agama dan akhlaknya.
Bagaimana jika seorang lelaki bagus agamanya, namun akhlaknya buruk?
Pertimbangan seperti ini yang terkadang membuat seorang wanita ragu dalam memilih pasangan hidupnya. Di satu sisi lelaki yang dia cintai ahli dalam ilmu agama, namun di satu sisi akhlak lelaki tersebut jauh dari ajaran Islam dan bertentangan dengan ilmu yang dia miliki.
Apabila seorang wanita disuruh memilih, maka pilihlah lelaki yang baik akhlaknya, karena akhlak sangat berpengaruh ketika dia menjalani kehidupan rumah tangganya kelak dan di samping itu, adab lebih tinggi daripada ilmu.
Yusuf bin Al-Husain rohimahullah berkata :
بِالْأَدَبِ تَفْهَمُ الْعِلْمَ
Dengan mempelajri adab, maka kamu akan mudah memahami ilmu. (Iqtidha’ul Ilmi Al-‘Amali, jilid 1 halaman 31).
Ada sebuah qaidah mengatakan :
الأداب فوق العلم
Adab di atas ilmu.
Misalnya : Ada lelaki yang ahli ilmu agama, namun sering chat-chatan dengan lawan jenis, sering berdekatan dengan lawan jenis bahkan jauh dari ajaran Islam, maka orang seperti ini tidak bisa dipilih menjadi calon imam, sebab bisa menimbulkan mudorot di kemudian hari.
Namun, yang lebih baik lagi adalah memilih lelaki yang baik agamanya dan baik pula secara akhlak. Akan tetapi setiap manusia tidak ada yang sempurna, mesti ada kekurangan dan tidak luput dari kesalahan.
Mencari pasangan tanpa aib sungguh tidak mungkin didapat, sebab tiada satupun manusia di dunia ini yang bebas dari aib.
Imam Ibnu Hibban rohimahullah menuqil perkataan Qadhi Iyad :
من طلب أخا بلا عيب بقي بلا أخ
Barangsiapa yang mencari teman tanpa cela, maka selamanya dia tanpa teman. (Roudhotul ‘Uqola wa Nuzhatul Fudhala, jilid 1 halaman 169).
Pilihlah lelaki yang akan dijadikan calon imam kelak yang ahli ilmu agama dan baik akhlaknya. 2 hal ini harus diperhatikan oleh seorang muslimah agar kelak setelah menikah dia bisa merasakan kenyamanan dan bisa mendapatkan sakinah, mawaddah warohmah dalam rumah tangganya.
2. Lemah lembut (bisa mengontrol diri) baik dalam hal berbicara, marah maupun hal lainnya
Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisa’ : 19).
Imam At-Thobari rohimahullah mengomentari ayat di atas di dalam kitab tafsirnya Jami’ul Bayan Fii Ta’wilil Qur’an :
وعاشروهن بالمعروف، وخالقوا، أيها الرجال، نساءكم وصاحبوهن “بالمعروف”، يعني بما أمرتكم به من المصاحبة، وذلك: إمساكهن بأداء حقوقهن التي فرض الله جل ثناؤه لهنّ عليكم إليهن، أو تسريح منكم لهنّ بإحسان
Dan bergaullah dengan mereka secara patut, ciptakan dan bergaullah dengan istri kalian wahai para lelaki dengan cara yang baik. Yaitu dengan apa yang diperintahkan kepada kalian. Dan tahanlah mereka dengan mengerjakan hak-hak mereka, dan tuntunlah mereka untuk melaksanakan hak-hak mereka yang Allah wajibkan atasmu kepada mereka, atau jika kalian ingin menceraikan mereka, maka hendaklah secara baik-baik. (Jami’ul Bayan Fii Ta’wilil Qur’an, jilid 8 halaman 121).
Untuk itu, seorang wanita bukan hanya memperhatikan lelaki yang akan menjadi calon imamnya kelak dari segi agama dan akhlaknya, namun urusan bisa mengontrol diri juga harus diperhatikan, agar kelak dia tidak seenaknya memarahi setelah menikah, tidak ringan tangan (memukul) walaupun masalahnya tidak fatal dan berbagai kemungkinan lainnya.
Setidaknya lelaki tersebut bisa memposisikan dirinya, ketika dia diajak ngobrol pun bisa nyambung dan tidak membicarakan orang lain yang pada akhirnya jatuh ke dalam ghibah. Ini juga harus diperhatikan oleh seorang wanita dalam mencari dan memilih calon suami yang kelak akan mendampinginya.
3. Mampu menafkahi keluarganya kelak
Ketika Fatimah bintu Qois diceraikan 3 oleh suaminya, dia menjalani masa iddahnya dan setelah seelsai menjalani masa iddah, ada dua orang sahabat yang melamarnya. Yaitu Muawiyah dan Abu Jahm. Dia meminta saran kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ، فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
Adapun Abu Jahm, dia tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya. Sedangkan Muawiyah orang miskin, dia tidak mempunyai harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid. (HR. Muslim, hadist no. 1480).
Syekh Wahbah Az-Zuhaily rohimahullah mengomentari hadist di atas di dalam kitabnya Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuhu :
فهذا يدل على جواز تقدم أكثر من خطيب إذا لم تقبل المرأة الخطبة، لكن يظهر أن ذلك إذا لم يعلم الخاطب أن غيره قد تقدم لخطبة تلك المرأة
Ini menunjukkan bolehnya banyak laki-laki yang melamar apabila Wanita tersebut belum menerima lamaran laki-laki yang melamar sebelumnya. Akan tetapi yang jelas, bahwa laki-laki yang mengkhitbah tidak mengetahui bahwa sebelumnya sudah ada yang maju untuk mengkhitbah perempuan tersebut. (Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuhu, jilid 9 halaman 6494).
Berdasarkan hadist di atas, bahwa baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan seorang wanita muslimah menikah dengan lelaki yang kaya, namun beliau meerintahkan untuk menikah dengan lelaki yang bisa menafkahinya kelak, agar wanita tersebut tidak kelaparan setelah menikah disebabkan suaminya tidak mempunyai apa-apa. Pada zaman ini bisa diartikan dia telah bekerja dan mempunyai penghasilan, sehingga setelah menikah dia bisa menafkahi keluarganya.
Semoga bermanfaat.
Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi