Ada sebuah hadist yang tersebar di tengah-tengah masyarakat dan juga tersebar di media sosial, bahwa menyantuni anak yatim di hari Asyura (10 Muharram) dan mengusap kepalanya, maka Allah akan mengangkat derajatnya pada setiap helai rambut yang dia usap.
Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
حَدَّثَنَا الْحَاكِمُ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ السَّرْدَرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ أَحْمَدُ بْنُ حَاتِمَ، حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ جُنْدُبَ، عَنْ حَامِدِ بْنِ آدَمَ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ الصَّائِغِ، عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
مَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى ثَوَابَ عَشْرَةِ آلافِ مَلَكٍ، وَمَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أُعْطِيَ ثَوَابَ عَشْرَةِ آلَافِ حَاجٍّ وَمُعْتَمِرٍ وَعَشْرَةِ آلافِ شَهِيدٍ، وَمَنْ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ يَوْمَ عَاشُورَاءَ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ دَرَجَةً
Barangsiapa yang berpuasa para hari Asyura (10 Muharam), niscaya Allah akan memberikan 1000 pahala malaikat dan barangsiapa yang berpuasa para hari Asyura, maka Allah akan memberikan pahala 10.000 pahala haji dan umroh dan 10.000 orang yang syahid. Dan barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim pada hari Asyura, niscaya Allah mengangkat derajatnya pada setiap helai rambut yang diusapnya. (Tanbihul Ghafilin Bi Ahaaditsi Sayyidil Anbiya’ wal Mursalin, jilid 1 halaman 331).
Hadist ini dijadikan sandaran oleh banyak kaum muslimin untuk menyantuni anak-anak yatim di hari Asyura (10 Muharram) karena ingin memperoleh pahala yang besar, yaitu Allah akan mengangkat derajatnya pada setiap helai rambut yang diusapnya. MasyaAllah, sekilas ketika membacanya akan membuat diri bersemangat untuk menyantuni anak yatim, namun sebelum itu harus dipastikan dulu, apakah hadist tersebut shahih, hasan ataukah maudhu’ (palsu)?
Komentar ulama tentang Habib bin Abi Habib periwayat hadist di atas :
1. Imam Adz-Dzahabi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-‘Urs :
تفرد به حبيب بن أبي حبيب: قال أحمد بن حنبل ليس بثقة كان يكذب
Habib bin Abi Habib dipisahkan, Imam Ahmad bin Hanbal berkata : dia tidak bisa dipercaya dan dia biasa berbohong. (Al-‘Urs, jilid 2 halaman 132).
2. Syekh Muhahammad Amman ‘Aly berkata di dalam kitab As-Shifaat Al-Ilaahiyyah :
قلت: حبيب بن أبي حبيب هذا الذي روي عنه الأثر السابق هو أبو محمد المصري متروك
Saya berkata : Habib bib Abi Habib ini yang meriwayatkan Atsar terdahulu, dia adalah Abu Muhammad Al-Misry dan hadistnya ditinggalkan. (As-Shifaat Al-Ilaahiyyah, jilid 1 halaman 254).
3. Abdul Muhsin Al-Badr berkata di dalam kitab Tadzkirah Al-Mu’tasy Syarah Aqidah Al-Haafiz ‘Abdil Ghani Al-Maqdisy :
الطريق الأولى من طريق كاتبه حبيب بن أبي حبيب، يقول ابن القيم:”وحبيب هذا غير حبيب، بل كذاب وضاع باتفاق أهل الجرح والتعديل، ولم يعتمد أحد من العلماء على نقله
Jalur yang pertama dari jalur tulisan Habib bin Abi Habib. Imam Ibnul Qayyim berkata : Dan Habib ini bukanlah seorang Habib (kekasih), akan tetapi dia adalah seorang pendusta, dan dia dibuang (tidak dipakai) menurut kesepakatan Ahli Jarh wat Ta’dil, dan tidak seorangpun ulama yang menggunakan nuqilannya. (Tadzkirah Al-Mu’tasy Syarah Aqidah Al-Haafiz ‘Abdil Ghani Al-Maqdisy, jilid 1 halaman 125).
4. Di dalam kitab Mausu’ah Al-Firoqi Al-Muntasibah Lil Islam disebutkan :
فراويها حبيب بن أبي حبيب (218هـ) قال فيه الإمام أحمد: “كان يكذب. وقال أبو داود: “كان يكذب. وقال أبو داود: “كان من أكذب الناس” وقال النسائي وأبو حاتم والأزدي: “متروك الحديث” وقال ابن حبان: “أحاديثه كلها موضوعة، عامة حديثة موضوع المتن مقلوب الإسناد لا يحتشم في وضع الحديث على الثقات، وأمره بين الكذب” وقال النسائي: “يضع الحديث، متروك، أحاديثه موضوعة عن مالك وغيره”. وقال محمد بن سهل: “كتبنا عنه عشرين حديثاً وعرضناها على ابن المديني قال: كله كذب” وقال أبو حاتم: “روي عن ابن أخي الزهري أحاديث موضوعة”، وقال ابن عدي: “أحاديثه كلها موضوعة
Maka perowi yang meriwayatkan hadistnya : Habib bin Abi Habib, Imam Ahmad berkata : dia seorang pendusta. Abu Daud berkata : dia seorang pendusta. Abu Daud berkata : dia adalah salah satu manusia yang pendusta. An-Nasa’i, Abu Hatim dan Al-Adzdy berkata : Hadistnya ditinggalkan. Ibnu Hibban berkata : Hadist-hadistnya semuanya palsu. Keumumam hadist yang dia riwayatkan itu matan hadistnya palsu, sanadnya terbolak-balik dan tidak pantas disebut tsiqah (dipercaya), dan perintah di dalam hadistnya menerangkan kebohongan. An-Nasa’i berkata : dia memalsukan hadist, dia ditinggalkan dan hadist-hadistnya palsu dari Malik dan selainnya. Muhammad bin Sahl berkata ; kami menulis dari Habib bin Abi Habib 20 hadist dan kami kemukakan kepada Ibnul Madiny dan dia berkata : semuanya palsu. Abu Hatim berkata : diriwayatkan dari Ibnu Akhi Az-Zuhri hadist-hadist palsu. Ibnu Ady berkata : Hadist-hadistnya semuanya palsu. (Mausu’ah Al-Firoqi Al-Muntasibah Lil Islam, jilid 2 halaman 467).
Inilah komentar-komentar para ulama tentang perowi yang bernama Habib bin Abi Habib. Dan jika para ulama mengatakan Habib bin Abi Habib seorang pendusta dan memalsukan hadist, maka hadist di atas termasuk hadist palsu, sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum dan semua yang ada di dalam kalimat di atas tidak bisa diamalkan.
Memang, menyantuni anak yatim mempunyai keutamaan yang sangat besar, salah satunya adalah dia akan berkumpul bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam surga, beliau mengisyaratkan seperti jari telunjuk dan jari tengah.
Dari Sahl bin Sa’ad rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ، وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا قَلِيلًا
Saya dan orang yang menanggung hidup anak yatim seperti dua jari ini ketika di surga. Beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah, dan beliau memisahkannya sedikit. (HR. Ahmad, hadist no. 22820).
Syekh Syu’aib Al-Arnauth rohimahullah mengomentari hadist di atas di dalam kitab Musnad Ahmad :
إسناده صحيح على شرط الشيخين
Sanadnya shahih menurut syarat Syaikhon (Bukhari dan Muslim). (Musnad Ahmad, jilid 37 halaman 476).
Dari Sahl bin Sa’ad rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
Kedudukanku dan orang yang menanggung anak yatim di surga bagaikan ini. Beliau merapatkan jari telunjuk dan jari tengahnya. (HR. Bukhari, Adabul Mufrad, hadist no. 135).
Dari Abdul ‘Aziz bin Abu Haazim berkata, ayahku menceritakan, dia berkata, saya mendengar Sahl bin Sa’ad, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda :
أَنَا وَكَافِلُ اليَتِيمِ فِي الجَنَّةِ هَكَذَا وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالوُسْطَى
Kedudukanku dan orang yang menanggung anak yatim di surga bagaikan ini. (Beliau merapatkan jari telunjuk dan jari tengahnya. (HR. Bukhari no. 6005).
Imam Ibnu Bathol rohimahullah mengomentari hadist di atas sebagaimana disebutkan di dalam kitabnya Syarah Shahih Bukhari :
قال المؤلف: حق على كل مؤمن يسمع هذا الحديث أن يرغب فى العمل به ليكون فى الجنة رفيقًا للنبى عليه السلام ولجماعة النبيين والمرسلين – صلوات الله عليهم أجمعين – ولا منزلة عند الله فى الآخرة أفضل من مرافقة الأنبياء
Pengarang kitab berkata : wajib bagi setiap orang yang beriman apabila mendengar hadist ini, hendaknya dia mengamalkan hadist ini, agar dia menjadi teman Nabi (atasnya keselamatan dan bagi seluruh Nabi dan Rasul, Allah bershalawat bagi mereka seluruhnya). Dan tidak ada tempat di sisi Allah di akhirat kelak yang paling utama, melainkan bisa menjadi teman para Nabi. (Syarah Shahih Bukhari, jilid 9 halaman 217).
Akan tetapi, bukan berarti mengkhususkan menyantuni anak yatim di hari Asyura (10 Muharram) karena hadist maudhu’ di atas, sebab mengkhususkan sesuatu harus ada dalil yang mengkhususkannya dikerjakan pada waktu dan keadaan tertentu dan tidak boleh memakai dalil umum untuk mengkhususkan sesuatu.
Kesimpulannya :
1. Hadist tentang pahala dan menyantuni yang tersebar seperti yang disebutkan di atas termasuk hadist maudhu’ (palsu), sehingga tidak bisa diamalkan.
2. Tidak boleh mengkhususkan menyantuni anak yatim di hari dan waktu tertentu, sampai ada dalil yang mengkhususkannya.
3. Jika dia tidak yakin dengan hadist tentang pahala menyantuni anak yatim di hari Asyura, namun dia hanya sekedar ingin bersedekah saja di hari Asyura, maka hukumnya boleh, karena dia tidak meyakini sebagaimana hadist di atas melainkan dia hanya sekedar ingin bersedekah kepada anak yatim untuk memperoleh pahala dari Allah. Maka amalan seperti ini boleh karena dia berarti menyantuni tanpa embel-embel apapun.
Semoga bermanfaat.
Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi