Mencerdaskan Kehidupan Bangsa di Tengah Pandemi

17 Agustus 1951 Muhammad Nastir pernah menulis sebuah artikel yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”. Pada tulisan ini beliau ingin mengingatkan kembali kepada bangsa ini bahwa perjuangan belum selesai. Banyak PR yang harus dikerjakan untuk membangun negara ini. Penarikan tentara Belanda dari Negara Indonesia bukan berarti masalah di Indonesia telah berhenti. Namun muncul masalah-masalah baru yang harus disadari.

Perayaan ulang tahun ke-75 Republik Indonesia kali ini harus kita isi dengan semangat yang pernah hadir pada pra kemerdekaan. Semangat yang penuh antusiasme dalam membangun badan dan raga bangsa indonesia. Dalam pidatonya di BPUPKI Mr. Soepomo mengingatkan bahwa pasca merdeka bangsa ini bukan hanya membangun fisik semata, namun juga membangun jiwanya. Jiwa Indonesia, sebagaimana dalam lagu Indonesia Raya, “Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya”.

Satu di antara tujuan bangsa ini didirikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Kata cerdas dalam KBBI memiliki arti sempurna akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dan sebagainya; tajam pikirannya. Dan salah satu aspek guna mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan memberikan pendidikan yang berkualitas kepada segenap rakyat Indonesia.

Keberagaman minat dan bakat tiap anak bangsa harus tetap terlindungi. Masa depan yang lebih kompleks menjadi hal yang serius untuk dipersiapkan. Dengan memberikan pendidikan yang terbaik untuk mengembangkan potensi setiap anak merupakan upaya yang pantas dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ini merupakan hak setiap warga negara. Bukankah merdeka itu ketika setiap anak diberikan hak? termasuk dalam belajar?

Salah satu tokoh yang sangat berpangaruh di negeri ini, beliau adalah Buya Hamka, memiliki pengalaman dalam pengaplikasian merdeka belajar dan berhasil. Menurut Fasli Jalal, Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional 2010-2011, dalam webinar “Paradigma Pendidikan Merdeka Ala Buya Hamka” yang diselenggarakan PSBH-UHAMKA, Buya Hamka dalam proses belajarnya menjalani empat pola belajar, yakni belajar pra sekolah, belajar di sekolah formal, belajar otodidak atau mandiri, dan belajar kepada tohoh dan pesohor.

Adapun di kondisi pandemi saat ini, yang membuat mandeknya proses pendidikan belajar di ruang kelas hendaknya tidak menjadi alasan untuk tidak memberikannya hak-hak pendidikan anak. Pola pendidikan yang telah dialami Buya Hamka sekirannya dapat dipahami bahwa untuk memperoleh ilmu tidak harus datang ke ruang kelas. Buku bacaan di rumah dan keberadaan keluarga hendaknya mampu menjadikan anak memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya.

Sebagaimana judul artikel Pak Natsir, proses belajar hendaknya tidak mandek dengan adanya pandemi ini. Momentum kemerdekaan semestinya mampu membawa semangat merdeka dari kebodohan dengan keterbatasan yang ada. Para pahlawan telah mengajarkan bahwa keterbatasan dalam kondisi keterjajahan bukanlah rintangan untuk dapat belajar.

Sebagaimana isi pidato Mr. Soepomo, memaksimalkan potensi anak bangsa dengan memberikan pendidikan yang terbaik adalah upaya untuk membangun jiwa dan bangsa yang kuat.

Semangat bangsaku, merdeka belajarku !!! Bayt Alfath dakwahku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *