Tak jarang kita dapati dalam keyakinan masyarakat di nusantara ini untuk menunda segala pesta apapun; baik pernikahan, khitanan, bahkan sampai ada yang tidak berani mengawali dalam membangun rumah jika menjumpai bulan Selo atau biasa dikenal bulan Longkang (Dzulqodah) atau bulan Suro (Muharram). Seolah dua bulan ini adalah bulan yang dikeramatkan khususnya dalam keyakinan masyarakat Jawa.
Jika merujuk pada penanggalan Jawa kuno, bulan Selo atau Dzulqodah adalah bulan yang biasa diyakini sebagai bulan apit atau bulan yang terhimpit antara dua bulan besar (bulan Syawal dan bulan Dzulhijjah), sehingga banyak masyarakat Jawa di bulan ini melakukan bersih desa bahkan ada yang menyertainya dengan sedekah bumi dan tradisi-tradisi lainnya. Dalam makna lain juga Selo biasa diartikan sebagai seselane olo atau kesesel barang olo. Kedua makna dalam kereta basa ini menunjukkan bahwa bulan Selo berkaitan dengan barang olo (kejelekan/keburukan).
Samahalnya juga pada bulan Muharam atau biasa disebut bulan Suro yang diyakini sebagai bulan sial bagi setiap orang Jawa yang njawani. Sehingga makna ini juga yang dipercaya oleh kebanyakan masyarakat Jawa bahwa pada dua bulan ini untuk tidak boleh menunaikan segala hajatan apa pun karena dianggap akan mendatangkan bala.
Padahal jika merujuk kembali kepada Islam, keyakinan seperti ini (mendatangkan kesialan pada waktu tertentu) adalah tercela sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, beliau mengatakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَأُحِبُّ الْفَأْلَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْفَأْلُ قَالَ الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada Adwa (keyakinan bahwa penyakit bisa menular, bukan karena takdir dari Allah) atau Thiyarah (kesialan), dan aku menyukai sikap optimis.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu optimis?” beliau menjawab: “Kalimat (anggapan, pen) yang baik. (HR. At-Tirmidzi no. 1540)
Begitu juga dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ الْفَأْلُ الْحَسَنُ وَيَكْرَهُ الطِّيَرَةَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai optimis yang baik dan membenci thiyarah (berkeyakinan sial). (HR. Ibnu Majah no. 3526)
Dua hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyukai sifat optimis dalam segala hal terlebih dalam merencanakan segala macam hajatan atau pesta. Tetapi Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga membenci thiyarah (berkeyakinan sial) baik itu karena tanggalan atau waktu tertentu ataupun karena pristiwa tertentu, karena berkeyakinan sial atau thiyarah bisa termasuk kesyirikan.
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ثَلَاثًا وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik (tiga kali). Tidaklah di antara kita kecuali beranggapan seperti itu, akan tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakal. ( HR. Abu Dawud no. 3411)
Artinya tidak ada masa keburukan dalam melangsungkan apapun, karena semua waktu dan hari adalah kebaikan. Bahkan di dalam hadits lain juga disebutkan tentang haramnya mencela dan menjelekan waktu. Sebab secara tidak langsung, mencela waktu atau menetapkan hari dan bulan lainnya adalah keburukan bagi penyelenggara acara adalah penghinaan kepada Allah Ta’la.
Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang. (HR. Muslim no. 6000)
Dalam lafadz yang lain, beliau Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَقُولُ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَلاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَإِنِّى أَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ فَإِذَا شِئْتُ قَبَضْتُهُمَا
Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan ’Ya khoybah dahr’ [ungkapan mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan ’Ya khoybah dahr’ (dalam rangka mencela waktu, pen). Karena Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan menggenggam keduanya. (HR. Muslim no. 6001)
Malah jika kita melihat jalan dakwah nabi, didapati bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi ibunda Zainab binti Jahsyi Radiyallahu ‘Anha justru di bulan Dzulqa’dah pada tahun kelima hijriyah. Begitu pula Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan Radiyallahu ‘Anha yang dinikahi di bulan Suro atau Muharram pada tahun ketujuh Hijrah. Ini artinya pada dua bulan tersebut bukanlah bulan kesialan dalam melangsungkan hajatan.
Bahkan diantara hikmah mengapa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam menikahi ibunda ‘Aisyah pada bulan Syawal dan mendatanginya (menunaikan hak suami) juga pada bulan Syawal ditahun yang berbeda sebagaimana dikatanakan oleh Ibnu Katsir dalam kitab Bidayah wan Nihayah, bahwasanya pernikahan Rasulullah pada Syawal dimaksudkan sebagai bantahan terhadap keyakinan yang salah pada masyarakat Arab Jahiliah di kala itu, yang mengaggap jika mengadakan pernikahan di dua Ied (Syawal dan Zulhijah) akan mengakibatkan perceraian.
Oleh sebab itu bisa kita kiaskan pada konteks sekarang akan pantangan masyarakat mengadakan segala hajatan pada bulan Selo atau pun bulan Suro. Justru mengadakannya di dua bulan tersebut sangatlah dianjurkan dalam rangka menyelisihi keyakinan mereka sebagaimana Rosulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam lakukan, begitu juga sebagai sarana dakwah dalam memberantas penyelewengan aqidah akan pantangan menyelenggarakan segala hajatan di dua bulan tersebut. Terlebih dua bulan tersebut merupakan dua dari bulan haram (suci).
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban. (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)
Yang mana salah satu bentuk kebaikan jika mengadakan hajatan apalagi Walimatul ‘urs didalamnya dalam rangka ketakwaan. Sebagaimana yang dikatakan Al-Qodhi Abu Ya’la Rahimahullah: “Pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan itu. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” [1]
***
Oleh: Deky Pramana Al-Banjary
[1] Jamaluddin Al-Jauzy, Zaadul Masiir fi ‘Ulumit Tafsir, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Islamy, cet. 1, 1442 H), Juz 2, hal. 157