Pertama kali yang harus dilakukan seseorang jika ingin memeluk agama Islam adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Tentunya tidak hanya sebatas ucapan di bibir saja, tetapi juga harus merealisasikan konsekuensinya. Maka merupakan suatu amal yang agung ketika seorang itu mempelajari tentang makna kalimat syahadat dan konsekuensinya. Syahadat pertama yaitu laa ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah) atau biasa disebut kalimat tauhid juga memiliki konsekuensi yang sangat penting untuk dikaji.
Konsekuensi dari kalimat tauhid adalah tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Kalimat ini meniadakan hak peribadahan yang sejati kepada selain Allah dan menetapkannya hanya untuk Allah semata.
Dan inilah dua rukun laa ilaha illallah, yaitu an-nafyu(النفي) yaitu meniadakan segala hak peribadatan kepada selain Allah. Dan al-itsbaat(الإثبات) menetapkan hak peribadatan hanya kepada Allah.
As-Syaikh Shalih alu asy-Syaikh berkata, “Tauhid mengumpulkan antara al-itsbaat (menetapkan) dan an-nafyu (meniadakan), (yaitu) mengumpulkan antara beriman kepada Allah dan kufur terhadap thagut (semua yang disembah selain Allah, -pen). Siapa saja yang mengumpulkan dua perkara ini (al-itsbaat dan an-nafyu) maka dia benar-benar memahami apa itu tauhid.”[1]
Diantara ayat Al Quran yang berbicara tentang al-itsbaat dan an-nafyu adalah
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah(saja), dan jauhilah Thaghut (An Nahl: 36)
As-Syaikh Hamad bin ‘Aliy berkata, “Sebagaimana kandungan kalimat laa ilaha illallah, di dalam firman Allah (sembahlah Allah saja) mengandung al-itsbaat, dan firman Allah (dan jauhilah thagut) mengandung an-nafyu.”[2]
Datang juga dari hadits tentang al-nafyu dan al-itsbaat
من قال لا إله إلا الله وكفر بما يعبد من دون الله حرم ماله ودمه وحسابه على الله
“Barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallah dan mengingkari semua yang disembah selain Allah, haramlah harta dan darahnya dan hisabnya tergantung kepada Allah.” (HR. Muslim no. 23)
Dan juga hadits
من وحد الله وكفر بما يعبد من دون الله حرم ماله ودمه
“Barangsiapa mentauhidkan Allah dan mengingkari semua yang disembah selain Allah maka haramlah harta dan darahnya.” (HR. Muslim no. 23)
Tapi masalah zaman sekarang, ada orang yang mengucapkan kalimat tauhid tetapi melanggar konsekuensinya. Bahkan, mereka mentapkan tuhan-tuhan yang sudah dinafikan oleh kalimat tauhid, secara tidak sadar mereka melakukan peribadatan kepada selain Allah (wal ‘iyyadzu billah).
Ini berawal dari jauhnya sebagian umat Islam dari ilmu agamanya. Sehingga masalah yang sangat mendasar dalam Islam pun ada yang tidak faham, padahal ketika masuk Islam, tauhidlah yang pertama kali harus dipelajari, difahami, dikuatkan dan dijaga benar benar.
Dan awal dari itu semua karena mereka tidak faham makna kalimat tauhid dan konsekuensinya. Lalu tidak faham makna ibadah yang seharusnya kita khususkan hanya pada Allah Subhanahu wa Ta’aalaa.
Maka penting sekali memahami makna ibadah, agar kita terhindar dari kesyirikan, atau menyekutukan Allah dengan makhuk di dalam peribadatan kita.
Definisi Ibadah adalah nama yang mencakup apa saja yang Allah cintai dan ridai dari perkataan dan perbuatan baik yang nampak maupun tersembunyi (dalam hati).[3]
Dapat diketahui dari definisi diatas kalau ibadah itu mencakup segala yang diridai Allah, baik berupa perkataan seperti berzikir, perbuatan seperti salat, yang nampak ataupun tersembunyi dalam hati seperti tawakal.
Ada beberapa ibadah yang merupakan perbuatan yang nampak, yang itu dipalingkan kepada selain Allah oleh sebagian orang, misalnya doa.
Doa adalah ibadah yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
الدُّعَاءُ هُوَ العِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah.” (HR. Tirmidzi no. 2969. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).
Karena doa adalah ibadah, maka tidak boleh kita berdoa kepada siapa pun kecuali hanya kepada Allah. Tidak boleh kita berdoa kepada malaikat, para nabi, atau para wali yang telah wafat.
Lalu ada yang bilang, bahwa yang mereka lakukan bukanlah berdoa, tetapi menjadikan orang orang salih itu sebagai perantara yang menyampaikan doa mereka kepada Allah. Tentu pernyataan ini salah.
Yang pertama, karena bukan kemampuan makhluk yang telah meninggal mendengar doa kita
إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ
Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat mengabulkan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Allah Yang maha Mengetahui. (Faathir: 14)
Kedua, menjadikan makhluk sebagai perantara agar menyampaikan doa kita pada Allah Subhanahu wa ta’aalaa adalah kesyirikan.
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya“ (Az Zumar: 3)
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yakni sesungguhnya hal yang mendorong mereka menyembah berhala-berhala itu hanyalah karena berhala-berhala tersebut mereka pahat dengan rupa malaikat-malaikat yang terdekat (dengan Allah) menurut dugaan mereka. Lalu mereka sembah patung-patung itu yang mereka anggap sebagai malaikat-malaikat yang terdekat, agar malaikat-malaikat tersebut mau meminta pertolongan bagi mereka di sisi Allah Subhanahu wa ta’alaa. untuk menolong mereka, memberi mereka rezeki, dan melepaskan mereka dari masalah duniawi yang menimpa diri mereka. Adapun terhadap hari kemudian, maka mereka mengingkari dan kafir terhadapnya.”[4]
Itu contoh ibadah yang nampak mata yang dipalingkan oleh sebagian orang kepada selain Allah. Ada lagi ibadah batin (dalam hati) yang dipalingkan kepada selain Allah. Misalnya tawakal.
Definisi tawakal menurut imam Ahmad adalah Menyerahkan segala perkara kepada Allah dan percaya kepadanya.[5]
Dari definisi imam Ahmad Rahimahullah dapat kita fahami bahwa di dalam tawakal ada rasa bergantung pada Allah setelah proses ikhtiar (usaha). Lalu bagaimana jika kita bergantung pada makhluk sebagaimana kita bergantung pada Allah ‘azza wa jalla? Kepada dukun atau jimat misalnya. Bukankah ini sebuah kesyirikan? Orang yang datang ke dukun ingin dipenuhi hajatnya, mereka benar benar bergantung pada dukun, atau jimat yang diberikan dukun itu. Oleh karena itu ada yang rela melakukan apa saja yang diperintahkan dukun itu, karena mereka meyakini bahwa dukun itu bisa memenuhi hajat dan cita-cita mereka. Bukankah ini namanya tawakal kepada dukun? Maka dari itu agama Islam benar benar memperingatkan secara keras tentang bahaya perdukunan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Barangsiapa mendatangi paranormal, lalu bertanya tetang sesuatu, maka tidak diterima salatnya selama 40 malam. (HR. Muslim No. 2230)
Ini jika iseng bertanya saja, tanpa mempercayai perkataan dukun, dosanya tidak diterima salatnya selama 40 malam.
Di hadits lain disebutkan
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَعَلَى مُحَمَّد
Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal, lalu ia mempercayai ucapan dukun atau peramal tersebut maka ia telah kafir terhadap (Alqur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam. (HR. Imam Ahmad No. 9536)
Dan ini dosa bagi mereka yang datang ke dukun dan mempercayai ucapan atau ramalan dukun tersebut.
Semoga Allah Subhanahu wa ta’aalaa menjauhkan kita dari dosa dosa syirik.
Allahu A’lam
***
Oleh: Virdaus
Surabaya, 12 rabi’ul akhir 1440 H
[1] At tamhiid lisyarhi kitaab at tauhiid hal. 166
[2] Ibthaalu at tandiid bikhtishaari syarhi kitaab at tauhiid hal. 19
[3] Kitaab al ‘ubuudiyyah hal. 1
[4] Tafsiir Al Quran Al ‘Adzhiim jilid 4 hal. 45
[5] Shahih al jaami’ al mushannif li syu’abil iimaan jilid. 1 hal. 228