Do’a Sesuai Sunnah Yang Dibaca Awal Tahun Baru Hijriyah

Ada beberapa do’a yang bisa dibaca oleh seorang muslim ketika berada pada awal bulan Hijriyah, dan do’a-do’anya berstatus Hasan menurut para ulama.

Do’a-do’anya sebagai berikut:

1. Doa pertama

Dari Thalhah bin Ubaidillah rodhiyallahu ‘anhu berkata :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الهِلَالَ قَالَ: «اللَّهُمَّ أَهْلِلْهُ عَلَيْنَا بِاليُمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالإِسْلَامِ، رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ»

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melihat hilal (bulan muda awal permulaan bulan), maka beliau berdoa :

“Allahumma Ahlilhu ‘alaina Bil Yumni, wal Imaani, was salaamati, wal Islaami, robbi wa RobbukaAllah”

Ya Allah, tampakkanlah bulan itu kepada kami dengan membawa keberkahan, keimanan, keselamatan dan Islam. Tuhanku dan Tuhanmu wahai bulan sabit (Allah). (HR. At-Tirmidzi, hadist no. 3451).

Imam At-Tirmidzi rohimahullah mengomentari hadist di atas di dalam kitabnya Sunan At-Tirmidzi :

«هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ»

Hadist ini derajatnya Hasan Gharib. (Sunan At-Tirmidzi, jilid 5 halaman 504).

2. Doa kedua

Imam Abu Bakar bin Sulaiman Al-Haitsami rohimahullah berkata di dalam kitabnya Majma’ Az-Zawaaid wa Manbaul Fawaaid :

Dari Abdullah bin Hisyam rodhiyallahu ‘anhu berkata :

كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَتَعَلَّمُونَ هَذَا الدُّعَاءَ إِذَا دَخَلَتِ السَّنَةُ أَوِ الشَّهْرُ: ” اللَّهُمَّ أَدْخِلْهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ، وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ، وَرِضْوَانٍ مِنَ الرَّحْمَنِ، وَجَوَازٍ مِنَ الشَّيْطَانِ “.

Adalah Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa apabila memasuki awal bulan atau tahun :

“Allahumma Adkhilhu ‘alaina Bil amni wal Imaani, was salaamati wal Islaami, wa ridwaanin minar Rohmani, wa jawaazin minas syaitooni.”

Artinya : Ya Allah, masukkanlah kami pada bulan ini dengan rasa aman, keimanan, keselamatan, dan Islam, dan keridhaan dari yang Maha Pemurah, serta lindungilah kami dari gangguan setan. (Majma’ Az-Zawaaid wa Manbaul Fawaaid, jilid 10 halaman 139).

Imam Abu Bakar bin Sulaiman Al-Haitsami rohimahullah berkata di dalam kitabnya Majma’ Az-Zawaaid wa Manbaul Fawaaid :

رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ، وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ

Hadist ini diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani di dalam kitabnya Al-Ausath, dan sanadnya Hasan. (Majma’ Az-Zawaaid wa Manbaul Fawaaid, jilid 10 halaman 139).

Do’a ini bisa dibaca di awal tahun baru Hijriyah, namun juga bisa dibaca di awal tahun baru Masehi. Tidak ada larangan mengenai itu, bahkan berdo’a dengan do’a apapun sebenarnya boleh, selama tidak mengatakan bahwa do’a tersebut berasal dari Hadist Nabi.

Semoga bermanfaat.

Bolehkah Mendo’akan Orang Kafir Agar Dosanya Diampuni?

Menurut para ulama, ada 2 hal yang harus diperhatikan dalam mendo’akan non muslim :

1. Mendo’akan ampunan untuk non muslim ketika dia sudah meninggal dunia (mati dalam keadaan kafir)

Mendo’akan orang-orang kafir agar dosa-dosanya diampuni ketika dia mati dalam keadaan kafir tidak diperbolehkan di dalam Islam, larangan ini sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qur’an tentang haramnya memintakan ampunan bagi orang-orang musyrik.

Allah berfirman :

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (QS. At-Taubah : 113).

Perkataan ulama mengenai hukumnya :

A. Imam An-Nawawi rohimahullah berkata di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab :

(وَأَمَّا) الصَّلَاةُ عَلَى الْكَافِرِ وَالدُّعَاءُ لَهُ بِالْمَغْفِرَةِ فَحَرَامٌ بِنَصِّ الْقُرْآنِ وَالْإِجْمَاعِ

Adapun menyolati orang kafir, dan mendo’akan agar diampuni dosanya, maka ini merupakan perbuatan haram, berdasarkan nash Al-Qur’an dan Ijma’. (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, jilid 5 halaman 144).

B. Imam Ibnu Taimiyah rohimahullah berkata di dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa :

فَإِنَّ الِاسْتِغْفَارَ لِلْكَفَّارِ لَا يَجُوزُ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ

Sesungguhnya meminta diampunkan dosa untuk orang-orang kafir tidak dibolehkan, hal ini berdasarkan Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’. (Majmu’ Al-Fatawa, jilid 12 halaman 489).

2. Mendo’akan ampunan untuk non muslim ketika masih hidup

Allah berfirman :

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (QS. At-Taubah : 113).

Perkataan ulama mengenai hal ini :

A. Imam At-Tobari rohimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya Jaami’ Al-Bayaan Fii Ta’wiilil Qur’an :

وقد تأوّل قوم قولَ الله: “ما كان للنبي والذين آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا أولى قربى”، الآية، أنّ النهي من الله عن الاستغفار للمشركين بعد مماتهم، لقوله: “من بعد ما تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم”. وقالوا: ذلك لا يتبينه أحدٌ إلا بأن يموت على كفره، وأما وهو حيٌّ فلا سبيل إلى علم ذلك، فللمؤمنين أن يستغفروا لهم

Sekelompok ulama menafsirkan firman Allah : “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, memintakan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (QS. At-Taubah : 113). Bahwa larangan dari Allah untuk memintakan ampun bagi kaum musyrikin adalah setelah matinya mereka (dalam keadaan kafir), karena firman-Nya : “sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni (neraka) jahim”. Mereka mengatakan: “alasannya, karena tidak ada yang bisa memastikan (bahwa dia ahli neraka), kecuali setelah ia mati dalam kekafirannya, adapun saat dia masih hidup, maka tidak ada yang bisa mengetahui hal itu, sehingga dibolehkan bagi Kaum Mukminin untuk memintakan ampun bagi mereka. (Jaami’ Al-Bayaan Fii Ta’wiilil Qur’an, jilid 14 halaman 515).

B. Imam Al-Qurthubi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Jaami’ Li Ahkaamil Qur’an :

وَقَدْ قَالَ كَثِيرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ: لَا بَأْسَ أَنْ يَدْعُوَ الرَّجُلُ لِأَبَوَيْهِ الْكَافِرَيْنِ وَيَسْتَغْفِرَ لَهُمَا مَا دَامَا حَيَّيْنِ. فَأَمَّا مَنْ مَاتَ فَقَدِ انْقَطَعَ عَنْهُ الرَّجَاءُ فَلَا يُدْعَى لَهُ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كَانُوا يَسْتَغْفِرُونَ لِمَوْتَاهُمْ فَنَزَلَتْ فَأَمْسَكُوا عَنِ الِاسْتِغْفَارِ وَلَمْ يَنْهَهُمْ أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْأَحْيَاءِ حَتَّى يَمُوتُوا

Kebanyakan ulama mengatakan : Tidak apa-apa mendoakan kedua orang tuanya yang kafir, dan memintakan ampun bagi keduanya selama mereka masih hidup. Adapun orang yang sudah meninggal, maka telah terputus harapan (untuk diampuni dosanya). Ibnu Abbas mengatakan : “Dahulu orang-orang memintakan ampun untuk orang-orang mati, lalu turunlah ayat, maka mereka berhenti dari memintakan ampun. Namun mereka tidak dilarang untuk memintakan ampun bagi orang-orang yang masih hidup hingga mereka meninggal”. (Al-Jaami’ Li Ahkaamil Qur’an, jilid 8 halaman 274).

Kesimpulan :

1. Mendo’akan agar dosa orang kafir diampuni Allah ketika dia sudah meninggal tidak diperbolehkan di dalam Islam, karena dia mati dalam keadaan tidak beriman kepada Allah. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah di dalam surat At-Taubah ayat 113.

2. Mendo’akan agar dosa orang kafir diampuni ketika masih hidup diperbolehkan oleh ulama.

3. Begitu juga mendo’akan orang kafir dalam urusan dunia ataupun mendapatkan hidayah, hal ini diperbolehkan.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

3 Macam Doa yang Tak Akan Tertolak Oleh Langit

Pada hakikatnya seorang muslim selalu berdoa kepada Allah Subhanallah Wata’ala, dengan berdoa menjadikan seorang hamba semakin dekat dengan-Nya. dan Allah Subhanallah Wata’ala mempunyai cara tersendiri untuk mengabulkan doa hamba-Nya. diantara 3 doa yang tak akan tertolak adalah sebagai berikut:

فعن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ” ثلاث دعوات مستجابات لا شك فيهن، دعوة المظلوم، ودعوة المسافر، ودعوة الوالد على ولده”

(صحيح رواه الترمذي).

Dari Abu Hurairah RA. Sesungguhnya Rasululah Sallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ada 3 doa yang paling mustajab tanpa diragukan lagi: doa orang yang terdzholimi, doa orang yang musafir, dan doa kedua orang tua terhadap anaknya. (HR. Tirmidzi)

1. Doa Orang Yang Terdzholimi

لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا (148)

“Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang didzolimi. Dan Allah maha mendengar , maha mengetahui.” (QS. An-Nisa: 148)

Doa orang yang terdzholimi merupakan salah satu doa yang tak akan tertolak oleh langit. Maka dari itu berhati-hatilah dalam mengucapkan suatu kalimat, karena diantara dirinya dengan Allah tidak ada hijab. Maka segala doa yang telah ia panjatkan Allah Subhanallah Wata’ala akan segera mengabulkannya.

2. Doa Orang Musafir

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ

Safar adalah bagian dari adzhab (siksaan). (HR. Bukhori. No. 1804)

Dikatakan safar bagian dari adzab adalah Ketika dalam keadaan safar seseorang akan menghadapi berbagai kesulitan diataranya perjalanan yang harus menggunakan kesabaran ketika macet, menahan lapar, haus, menahan kantuk, dikarenakan dalam safar memerlukan waktu yang tidak sebentar.

Safar secara mutlak (tidak ada pembatasan), dalam artian selama seseorang melakukan perjalanan dia sudah di katakan dalam keadaan musafir dan doa yang telah ia panjatkan mustajab. Alasan mustajabnya doa ketika safar adalah karena dalam kondisi yang sulit ketika safar, dan hatipun pasrah. Saat itulah doa mudah diijabah oleh Allah Subhanallah Wata’ala.

3. Doa Kedua Orang Tua Terhadap Anaknya

Seorang psikoanalisis berkebangsaan Jerman yang bernama Erich fromm mengungkapkan: seorang ibu mencintai anaknya tanpa syarat, selain itu cinta ibu terhadap anaknya adalah cinta yang “sakit” dalam makna takut akan perpisahan, takut kesepian, takut dipisahkan dengan yang ia cintai. Walapun seorang ibu merasakan sakit berpisah untuk anaknya, ibu akan selalu mengikhlaskan terpisahkan oleh anaknya demi kemandirian dan kebahagian anaknya. Itu dalah hakikat cinta tanpa syarat.

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)

Dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada aku kembalimu. (QS. Luqman : 14)

Ayat di atas menerangkan, agar seorang anak memperlakukan orangtua dengan sebaik-baiknya, beliau adalah seorang pahlawan tanpa pamrih, selalu ikhlas mengasuh, dan mendoakan kita.

Sayangilah ibumu, Karena dia tidak pernah menagih syarat apapun untuk mencintaimu, dia akan selalu mengulurkan tangannya kepada anaknya ketika dalam keterpurukan, dialah seseorang yang selalu menerima dengan segala kekurangan kita. Dan dialah malaikat tak bersayap yang Allah anugrahkan untuk kita.

Kesimpulan:

Ada 3 hal doa yang tidak akan tertolak,. Yaitu: doa orang yang terdzholimi, doa orang yang musafir, dan doa kedua orang tua terhadap anaknya. Semua pasti di dasari dengan keyakinan kepa Allah subhanallah wata’ala, niat yang baik, memakai pakaian dan makanan yang halal. Sebab tidak terkabulkannya doa adalah bisa jadi kita masing sering melakukan maksiat, hati yang belum baik, dsb.

Semoga Allah senantiasa selalu menjaga orang yang kita cintai, dan yang mencintai kita. Amiin…..

Oleh: Khodijah S. al-Khalil

Doa Agar Terhindar dari Marabahaya Seperti Santet, Guna-guna dan Pelet

Santet, pelet dan guna-guna dikirim manusia kepada orang yang dia tuju melalui perantara setan agar orang yang dia tuju berada di bawah kendalinya. Baik untuk memudorotkan orang yang dia tuju maupun untuk mengambil hatinya.

Untuk itu, agar terhindar dari perkara yang bisa memudorotkan, ada doa-doa yang bisa dibaca oleh seorang muslim yang apabila dibaca, insyaAllah akan dilindungi oleh Allah dari gangguan setan dan dari mara bahaya yang menimpanya.

Berikut doa-doanya :

1. Dari Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ عَبْدٍ يَقُولُ فِي صَبَاحِ كُلِّ يَوْمٍ وَمَسَاءِ كُلِّ لَيْلَةٍ: بِسْمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ، وَهُوَ السَّمِيعُ العَلِيمُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ

Tidaklah seorang hamba berdoa pada waktu subuh setiap hari dan waktu sore setiap malam dengan doa :

“Bismillahil Ladzi Laa Yadhurru Ma’a Ismihi Saiun Fil Ardhi wa Laa Fis Samaa-i Wahuwas Sami’ul ‘Alim”

Artinya : Dengan nama Allah bila nama-Nya disebut maka segala sesuatu di bumi dan langit tidak akan memudorotkannya (membahayakannya) Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dibaca 3 kali. (HR. At-Tirmidzi, hadist no. 3388).

Imam At-Tirmidzi rohimahullah mengomentari hadist di atas di dalam kitabnya Sunan At-Tirmidzi :

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ

Hadist ini sanadnya Hasan Shahih Gharib. (Sunan At-Tirmidzi, jilid 5 halaman 330).

2. Dari Khoulah binti Hakim As-Sumaiyyah rodhiyallahu ‘anha berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ، حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ

Barangsiapa yang singgah ke suatu tempat, kemudian membaca doa :

“A’udzubikalimaatillahit Tammati Min Sarri Maa Kholaq”

Artinya : Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakan-Nya.

Maka tidak akan ada yang membahayakannya hingga dia pergi dari tempat itu. (HR. Muslim, hadist no. 2708).

3. Dari Muhammad bin ‘Amr bin Ubay bin Ka’ab dari kakeknya Ubay bin Ka’ab rodhiyallahu ‘anhuma berkata, bahwa dia diajari oleh setan untuk membaca ayat kursi :

إِذَا قَرَأْتَهَا غُدْوَةً أُجِرْتَ مِنَّا حَتَّى تُمْسِيَ، وَإِذَا قَرَأْتَهَا حِينَ تُمْسِي أُجِرْتَ مِنَّا حَتَّى تُصْبِحَ، قَالَ أُبَيٌّ فَغَدَوْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِذَلِكَ، فَقَالَ: «صَدَقَ الْخَبِيثُ»

Barangsiapa yang membacanya (ayat kursi) ketika pagi, maka dia akan dilindungi oleh Allah dari marabahaya hingga petang. Dan barangsiapa yang membacanya ketika petang, maka dia akan dilindungi hingga pagi. Ubay berkata : Saya pergi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan kejadian yang saya alami. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : Telah benar si pendusta. (HR. Al-Hakim, hadist no. 2064).

Imam Al-Hakim rohimahullah mengomentari hadist di atas di dalam kitabnya Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain :

هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ

Hadist ini sanadnya Shahih. (Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain, jilid 1 halaman 749).

4. Dari Mu’adz bin ‘Abdullah bin Khubaib dari ayahnya rodhiyallahu ‘anhuma, bahwa dia berkata :

خَرَجْنَا فِي لَيْلَةِ مَطَرٍ، وَظُلْمَةٍ شَدِيدَةٍ، نَطْلُبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُصَلِّيَ لَنَا، فَأَدْرَكْنَاهُ، فَقَالَ: أَصَلَّيْتُمْ؟ فَلَمْ أَقُلْ شَيْئًا، فَقَالَ: «قُلْ» فَلَمْ أَقُلْ شَيْئًا، ثُمَّ قَالَ: «قُلْ» فَلَمْ أَقُلْ شَيْئًا، ثُمَّ قَالَ: «قُلْ» فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَقُولُ؟ قَالَ: «قُلْ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ حِينَ تُمْسِي، وَحِينَ تُصْبِحُ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ تَكْفِيكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ»

Kami keluar pada malam hujan lagi gelap gulita mencari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat bersama kami, lalu kami menemukannya. Beliau bersabda : Apakah kalian telah shalat? Tapi, aku tidak berkata apa-apa. Beliau bersabda : Katakanlah! aku tidak berkata apa-apa. Beliau bersabda : Katakanlah! Tapi aku tetap tidak berkata apa-apa. Kemudian beliau bersabda : Katakanlah! Hingga aku berkata : Wahai Rasulullah, apa yang harus aku katakan? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Katakanlah Qul Huwallahu Ahad (surat Al-Ikhlas) dan  Al-mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Naas) ketika sore dan pagi sebanyak tiga kali, maka dengan ayat-ayat ini akan mencukupkanmu (dijaga) dari segala keburukan. (HR. Abu Daud, hadist no. 5082).

Inilah doa-doa yang diajarkan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar terhindar dari marabahaya.

Jika seorang muslim membaca doa-doa ini, insyaAllah sekuat apapun santet, pelet ataupun guna-guna, dia tidak akan terkena hal semacam itu insyaAllah, dan tentunya dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Larangan Mendo’akan Anak dengan Do’a Yang Buruk

Sejahat apapun seorang anak, orang tua tidak seharusnya berkata denga nasal-asalan kepada anaknya, karena hal itu bisa saja menjadi kenyataan di kemudian hari. Betapa banyak orang tua khususnya ibu-ibu yang ngomel-ngomel sembarangan kepada anaknya yang nakal, seperti mengatakan : ooo hantu, anak setan, ataupun dengan cacian lainnya.

Kata-kata seperti ini hendaknya dihindari oleh seorang ibu karena jika dia mencaci maki anaknya dengan kata-kata kasar, bisa saja kat-katanya tersebut terjadi pada suatu saat. Karena do’a orang tua kepada anak dikabulkan Allah.

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Ada 3 do’a yang mustajab (dikabulkan) yang tidak diragukan lagi : do’a orang tua, do’a seorang musafir (orang yang sedang dalam perjalanan) dan do’a orang yang terzolimi. (HR. Abu Dawud, hadist no. 1536).

Sebagai orang tua hendaklah berdo’a dengan do’a yang baik, begitu pula alam berkata kepada anak, hendaklah dengan kata-kata yang baik. Ketika anaknya nakal, jangan paىggil dia dengan ‘anak setan’ atau apapun itu yang mengandung perkataan buruk, akan tetapi panggillah dia dengan perkataan yang baik, seperti misalnya : ‘eee calon gubernur’. Bisa jadi Allah kabulkan sang anak suatu saat jadi gubernur sebagaimana kalimat yang diucapkan ibunya tersebut.

Jika sang ibu mendo’akan atau berkata-kata buruk kepada sang anak di saat sang anak nakal, kemudian suatu saat hal itu terjadi, maka ini merugikan masa depan sang anak. Maka berkatalah baik atau diam, begitulah yang diperintahkan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berkata baik atau diam. (HR. Bukhari, hadist no. 6475).

Jika orang tua tidak bisa menegur ataupun menasehati anak dengan perkataan yang baik, maka setidaknya jangan caci maki anak dengan perkataan yang kasar ataupun buruk, karena jika perkataan tersebut dikabulkan Allah, bisa membuat orang tua menyesal di kemudian hari.

Sejahat apapun sang anak, senakal apapun dia terhadap dirinya ataupun orang lain, nasehati baik-baik, do’akan dia kebaikan agar dia berubah, dan jangan menyumpah serapah dia, apalagi sampai berdo’a agar sang anak Allah azab dan tegur. Na’udzubillah, tidaklah patut orang tua, apalagi seorang ibu berdo’a dengan do’a keburukan kepada anaknya. Karena walau bagaimanapun anak tetaplah anak, walau dia melawan atau durhaka sekalipun. Do’akan kebaikan, bukan malah mendo’akan keburukan dan celaka bagi sang anak.

Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kepada setiap orang tua untuk mendo’akan keburukan bagi anaknya.

Dari Jabir bin Abdillah rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَوْلَادِكُمْ، وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ، لَا تُوَافِقُوا مِنَ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيهَا عَطَاءٌ، فَيَسْتَجِيبُ لَكُمْ

Janganlah kalian mendo’akan keburukan untuk diri kalian, atau anak-anak kalian, atau harta kalian. Jangan sampai kalian menepati suatu waktu yang pada waktu itu Allah Subhanahu wa ta’ala diminta sesuatu lantas Dia kabulkan doa kalian itu. (HR. Muslim, hadist no. 3009).

Oleh karnanya berhati-hatilah bagi orang tua dalam berdo’a, berdo’alah yang baik-baik saja bagi sang anak, karena kalau sampai orang tua bedo’a keburukan kepada sang anak di waktu tertentu, lantas Allah kabulkan do’a tersebut, maka orang tua akan menyesal dengan do’a yang diminta tersebut, sebab sesuatu akan terjadi kepada anaknya.

Jangan sampai menyesal di akhir masa, karena menyesal di akhir masa tiada berguna. Sebuah kata bijak Arab menyebutkan :

لن ترجع الأيام التي مضت

Tidak akan kembali hari-hari yang telah berlalu.

Orang tua hendaklah mendo’akan yang baik-baik untuk anaknya dan juga mencontoh do’a-do’a yang dipanjatkan orang-orang sholeh terdahulu.

Allah menyebutkan do’a Nabi Ibrahim di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman :

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku. (QS. Ibrahim : 40).

Allah juga menyebutkan do’a ‘Ibadurrahman di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman :

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Dan orang orang yang berkata : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqan : 74).

Contohlah do’a-do’a yang dilantunkan oleh orang-orang sholeh terdahulu, yang mana orang tua berdo’a untuk kebaikan anaknya, bukan menyumpah serapah atau mendo’akan keburukan bagi sang anak, walau bagaimanapun durhakanya seorang anak. Sedurhaka apapun seorang anak, dia tetaplah anak yang butuh bimbingan dan nasehat serta dari orang tuanya. Jadi jangan salah dalam berdo’a kepada Allah, do’akan anak kebaikan dan jauhi mendo’akan keburukan bagi sang anak.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Hukum Mengangkat Tangan Ketika Berdo’a

Banyak di antara kaum muslimin yang masih mempersoalkan masalah yang bersifat furu’iyyah (cabang), salah satunya adalah mempermalasahkan mengangkat kedua tangan saat berdo’a. Mereka mengatakan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdo’a tidak diperbolehkan oleh para ulama, padahal para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini.

Sebagian ulama bahkan menganjurkan untuk mengangkat kedua tangan ketika berdo’a dikarenakan banyaknya dalil yang menerangkan tentang hal itu.

Allah berfirman :

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ

Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina. (QS. Ghafir : 60).

Dalil-dalil bolehnya mengangkat tangan ketika berdo’a :

1. Dari Salman Al-Farisi rodhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

Sesungguhnya Allah itu sangat pemalu dan Maha Pemurah. Ia malu jika seorang lelaki mengangkat kedua tangannya untuk berdoa kepada-Nya, lalu dia mengembalikannya dalam keadaan kosong dan hampa. (HR. At-Tirmidzi, hadist no. 3556).

2. Dari Abu Musa Al-As’ary rodhiyallahu ‘anhu berkata :

دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ، وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a, kemudian mengangkat kedua tangannya, sehingga aku melihat putih kedua ketiak Beliau. (HR. Bukhari, pada Baabu Rof’il Aydi Fid Du’a-i, jilid 8 halaman 74).

3. Dari Yahya bin Sa’id dan temannya, bahwa mereka mendengar Anas berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ

Mengangkat kedua tangannya, sehingga aku melihat putih kedua ketiak Beliau. (HR. Bukhari, hadist no. 6341).

4. Dari Umar rodhiyallahu ‘anhu berkata :

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَدَّ يَدَيهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a, dia tidak mengembalikannya (menurunkannya) hingga mengusapkan wajahnya dengan kedua tangannya. (HR. At-Tirmidzi, hadist no. 3386).

Imam Ibnu Hajar rohimahullah mengomentari hadist ini sebagai hadist hasan sebagaimana di dalam kitab hadist Subulus Salam.

Imam as-Shon’ani rohimahullah mengomentari hadist ini di dalam kitab Subulus Salam syarah kitab Bulughul Marom min Jam’i Adillatil Ahkaam :

أخرجه الترمذي وله شواهد منها حديث ابن عباس عند أبي داود وغيره ومجموعها يقضي بأنه حديث حسن وفيه دليل على مشروعية مسح الوجه باليدين بعد الفراغ من الدعاء قيل وكأن المناسبة أنه تعالى لما كان لا يردهما صفرا فكأن الرحمة أصابتهما فناسب إضافة ذلك على الوجه الذي هو أشرف الأعضاء وأحقها بالتكريم

Hadist ini diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi rohimahullah, dan ada beberapa hadist lainnya yang semakna dengan hadist ini. Di antaranya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas didalam Sunan Abi Dawud dan lainnya, yang secara keseluruhan yang menyebabkan derajat hadist ini menjadi hadist hasan. (Subulus Salam syarah kitab Bulughul Marom min Jam’i Adillatil Ahkaam jilid 4 halaman 219).

Nah, diantara ulama ada yang menyebutkan hadist mengangkat kedua tangan ketika berdo’a derajatnya hasan (bagus).

Bagaimana pendapat ulama mazhab tentang mengangkat kedua tangan ketika berdo’a?

1. Imam an-Nawawi rohimahullah ulama mazhab Syafi’i berkata di dalam kitab Al-Majmu’ syarah al-Muhadzab :

وَمِنْ آدَابِ الدُّعَاءِ كَوْنُهُ فِي الْأَوْقَاتِ وَالْأَمَاكِنِ وَالْأَحْوَالِ الشَّرِيْفَةِ وَاسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ وَرَفْعُ يَدَيْهِ وَمَسْحُ وَجْهِهِ بَعْدَ فَرَاغِهِ وَخَفْضُ الصَّوْتِ بَيْنَ الْجَهْرِ وَالْمُخَافَتَةِ

Di antara beberapa adab dalam berdoa adalah, adanya do’a dalam waktu-waktu, tempat-tempat dan keadaan-keadaan yang mulia, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, mengusap wajah setelah selesai berdo’a, memelankan suara antara keras dan berbisik. (Al-Majmu’ syarah al-Muhadzab jilid 4 halaman 487).

2. Imam Zainuddin Al-Malibari rohimahullah berkata di dalam kitab Fathul Mu’in :

ورفع يديه الطاهرتين حذو منكبيه ومسح الوجه بهما بعده

Dan di waktu berdo’a disunnahkan mengangkat kedua tangannya yang suci setinggi kedua bahu, dan disunnahkan pula menyapu muka dengan keduanya setelah berdo’a. (Fathul Mu’in, jilid 1 halaman 128).

3. Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahullah mengomentari hadist-hadist di atas di dalam kitabnya Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari :

وَفِي الْحَدِيثِ الْأَوَّلِ رَدُّ مَنْ قَالَ لَا يَرْفَعُ كَذَا إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ بَلْ فِيهِ وَفِي الَّذِي بَعْدَهُ رَدٌّ عَلَى مَنْ قَالَ لَا يَرْفَعُ الْيَدَيْنِ فِي الدُّعَاءِ غَيْرَ الِاسْتِسْقَاءِ أَصْلًا وَتَمَسَّكَ بِحَدِيثِ أَنَسٍ لَمْ يَكُنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَهُوَ صَحِيحٌ لَكِنْ جَمَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحَادِيثِ الْبَابِ وَمَا فِي مَعْنَاهَا بِأَنَّ الْمَنْفِيَّ صِفَةٌ خَاصَّةٌ لَا أَصْلُ الرَّفْعِ وَقَدْ أَشَرْتُ إِلَى ذَلِكَ فِي أَبْوَابِ الِاسْتِسْقَاءِ وَحَاصِلُهُ أَنَّ الرَّفْعَ فِي الِاسْتِسْقَاءِ يُخَالِفُ غَيْرَهُ إِمَّا بِالْمُبَالَغَةِ إِلَى أَنْ تَصِيرَ الْيَدَانِ فِي حَذْوِ الْوَجْهِ مَثَلًا وَفِي الدُّعَاءِ إِلَى حَذْوِ الْمَنْكِبَيْنِ

Pada hadist yang pertama adalah penolakan bagi yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan ketika berdo’a seperti itu kecuali pada shalat istisqo’ saja. Namun hadist setelahnya adalah penolakan bagi mereka yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan ketika berdo’a selain istisqo’. Dan berpegang pada hadist Anas yang meniadakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan ketika berdo’a kecuali pada shalat Istisqo’ saja. Hadistnya shahih. Akan tetapi ketika dikumpulkan kedua hadist tersebut dan hadist-hadist di bab ini dan hadist yang semakna dengannya, bahwa meniadakan sifat khusus tidak ada asal mengangkat tangan, maka aku telah mengutip hal itu pada bab-bab tentang shalat istisqo’, dan hasilnya bahwa mengangkat tangan ketika berdo’a seperti pada shalat istisqo’ menyelisihi hadist-hadist lainnya. Adapun yang dimaksud tidak mengangkat tangan adalah melebih-lebihkan dalam mengangkat tangan, yang menjadikan kedua tangan setinggi wajah misalnya dan dalam berdo’a lainnya tangan diangkat setinggi kedua bahu. (Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari, jilid 11 halaman 141).

Artinya Rasulullah juga mengangkat tangan, namun tidak setinggi seperti saat shalat Istisqo’.

4. Imam Al-Qasthalany rohimahullah berkata di dalam kitabnya Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhari :

وفي الباب أحاديث كثيرة يطول سردها وفيها ردّ على القائل بعدم الرفع إلا في الاستسقاء لحديث أنس الصحيح لم يكن النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء. وأجيب: بأن المنفي صفة خاصة لا أصل الرفع فالرفع في الاستسقاء يخالف غيره إما بالمبالغة إلى أن تصير اليدان في حذو الوجه مثلاً، وفي الدعاء إلى المنكبين ويكون رؤية بياض إبطيه في الاستسقاء أبلغ منها في غيره

Di dalam bab ini banyak hadist-hadist yang menyatakan tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Dan hadist-hadist tersebut sekaligus bantahan bagi mereka-mereka yang meniadakan mengangkat tangan ketika berdo’a selain pada shalat Istisqo’ saja dikarenakan hadist Anas yang shahih, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengangkat tangan ketika berdo’a kecuali pada shalat Istisqo’ saja. Maka saya jawab : Bahwa yang dimaksud adalah meniadakan sifat khusus dalam berdo’a yang tidak ada asalnya. Seperti mengangkat tangan ketika berdo’a seperti pada shalat Istisqo’ menyelisihi hadist-hadist lainnya dan hal ini melebih-lebihkan dalam mengangkat tangan seperti mengangkat kedua tangan setinggi wajah misalnya, atau dalam berdo’a lainnya mengangkat tangan setinggi bahu dan terlihat putih ketiaknya seperti yang dilakukan Rasulullah pada shalat Istisqo’, maka hal ini yang dimaksud jika dilakukan selain pada shalat Istisqo’. (Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhari, jilid 9 halaman 197).

Kesimpulan :

1. Mengangkat tangan hukumnya boleh menurut para ulama di atas.

2. Tidak mengangkat kedua tangan terlalu tinggi kecuali pada shalat Istisqo’.

3. Mengangkat tangan ketika berdo’a merupakan adab seorang muslim dalam berdo’a, memohon pertolongan dan meminta kepada Allah Subhanhu wa Ta’ala.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi