Allah Menguji Hamba-Nya Sesuai Kadar Keimanan

Manusia tidak luput dari ujian, kapanpun dan di manapun dia pasti akan diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berat ataupun ringan ujiannya tergantung kualitas iman seorang manusia. Semakin kuat iman seorang manusia, maka semakin berat pula ujian yang akan dia terima.

Namun yang luput dari pikiran manusia selama ini adalah mereka tidak tau bahwa sebenarnya ujian yang Allah timpakan pada mereka sesuai dengan kemampuan mereka, bukan di luar batas kemampuan mereka, dan Allah sudah pasti punya tujuan dengan menguji hamba-Nya tersebut. Seberat apapun ujian yang diterima seorang manusia, maka yakinlah bahwa itu semua sesuai dengan kadar keimananya dan sesuai dengan kemampuannya.

Allah berfirman :

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah : 286).

Imam Al-Baidhowi rohimahullah mengomentari ayat di atas di dalam kitab tafsirnya Anwaarut Tanzil wa Asroorut Ta’wil :

لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَها إلا ما تسعه قدرتها فضلاً ورحمةً، أو ما دون مدى طاقتها بحيث يتسع فيه طوقها ويتيسر عليها

Allah tidak membebani suatu jiwa di luar kesanggupannya kecuali apa yang ada dalam kekuatannya, dengan rahmat dan kasih sayang, atau apa yang di bawah batas kekuatannya, yang kerahnya mengembang dan menjadi mudah baginya. (Anwaarut Tanzil wa Asroorut Ta’wil, jilid 1 halaman 166).

Itulah suatu tanda Maha besarnya Allah. Bahwa Dia tidak memberikan ujian di luar kesanggupan hamba-Nya. Allah memberikan ujian kepada hamba-Nya justru sudah tau bahwa hamba-Nya tersebut sanggup menjalaninya. Dan sering kali manusia lemah dengan ujian dan akhirnya berprasangka buruk kepada Allah. Padahal ujian tersebut sudah sesuai dengan tingkat keimanannya dan Allah pasti punya solusi dari masalah atau ujian yang dia hadapi.

Percayalah, bahwa tidak ada manusia yang berat ujiannya selain para Nabi dan Rasul dan seorang manusia diuji sesuai kualitas agamanya. Semakin tinggi keimanan seorang muslim, tentunya tidak sama ujiannya dengan seseorang yang tingkat keimanannya berada di bawahnya.

Dari Mus’ab bin Sa’ad, dari ayahnya berkata :

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ البَلَاءُ بِالعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

Saya berkata : “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka dia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa. (HR. At-Tirmidzi, hadits no. 2398).

Imam At-Tirmidzi rohimahullah mengomentari hadits di atas :

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Hadits ini Hasan Shahih. (Sunan At-Tirmidzi, jilid 4 halaman 601).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلاَءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Sesungguhnya balasan terbesar dari ujian yang berat. Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Barangsiapa ridho, maka Allah pun ridho. Dan barangsiapa murka (tidak suka pada cobaan tersebut), maka baginya murka Allah. (HR. At-Tirmidzi, hadits no. 2396).

Salah satu hikmah Allah menguji hamba-Nya adalah agar dosa manusia berkurang bahkan gugur dengan adanya ujian tersebut. Namun manusia banyak yang tidak sadar bahkan tidak ridho dengan ujian tersebut. Jikalau manusia itu ridho dengan ujian yang Allah berikan, maka dia akan mendapatkan ridho dari Allah, sebaliknya jika manusia tersebut mengeluh dan berprasangka buruk terhadap Allah dengan ujian yang datang kepadanya, maka Allah akan murka kepadanya.

Jika Allah mengujimu, maka itu suatu pertanda Allah sedang mencintaimu dan menginginkan dosa-dosamu hilang serta menginginkan kebaikan pada dirimu yang kamu sendiri tidak mengetahuinya. Seberat apapun masalahmu, seberat apapun ujian yang kau hadapi, itu semua ada jalan keluarnya dan Allah pasti akan menolongmu. Yakinlah bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya selama hamba-Nya tidak meninggalkan-Nya.

Allah berfirman :

مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ

Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (QS. Ad-Duha : 3).

Maka dari itu bersabarlah dalam menghadapi ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ambil hikmahnya karena setiap ujian pasti ada pelajaran yang bisa dipetik dan pasti ada kebaikan yang Allah inginkan pada diri hamba-Nya. Jika dia ridho dengan ujian Allah, maka tentunya Allah juga akan ridho kepadanya, tapi jika dia mengeluh dan berprasangka buruk terhadap Allah karena ujian tersebut, maka Allah akan murka kepadanya. Maka bersabarlah dengan semua ujian yang menimpamu.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Iman dan Cinta

Rasa cinta dan mencintai sangatlah lumrah untuk dirasakan setiap manusia. Karena bumi ini pun tercipta karena ada cinta, cinta antara nabi adam dan hawa. Maka bumi ini diperuntukkan bagi orang yang punya rasa kasih sayang dan mencintai.

Kalau kita membahas tentang makna cinta, sesungguhnya ia memiliki beribu makna, karena setiap individu yang merasakan cinta berbeda dalam menyimpulkannya.

Dalam Islampun mengajarkan kita untuk saling menyayangi dan saling mencintai. Cinta kepada Allah SubhanaAllah Wata’ala, cinta kepada Rasulnya, cinta kepada al-Qur’an dan mencintai sesama umat muslim. Dalam artikel singkat ini kita akan membahas hakekat cinta dalam pandangan Islam.

Cinta itu dasarnya berada dalam hati, sedangkan ia mengungkapkannya dengan lisan dan menampakkannya memalui perbuatan. Iman dan cinta merupakan anugerah dari Allah subhanaAllah Wata’ala yang dimasukkan pada hati seorang hamba.

وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS. Al-Anfal : 63)

Dalam sebuah ayat diatas diterangkan Sesunggunya Allah Mahaperkasa, sehingga tidak ada seorang pun yang mampu menandingi-Nya, Mahabijaksana atas segala kebijakan-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa persatuan dan kesatuan atas dasar cinta dan kasih sayang yang hakiki tidak mungkin terwujud hanya dengan harta kekayaan, akan tetapi harus didasarkan atas keluhuran budi dan ketulusan jiwa.

Sesungghunya manusia tidak mampu membeli keimanan cinta dengan kekayaan hartanya. Ketika Allah telah menitipkan cinta kepada hati seorang hamba yang Ia kehendaki, maka akan tumbuh rasa ketaatan dalam beribadah, menjalankan semua perintahnya dengan keihlasan hati. Dengan adanya cinta, iman yang ada dalam diri kita akan semakin kokoh dan tidak akan mudah digoyahkan meski seiring dengan perkembangan zaman.

وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ فِيْكُمْ رَسُوْلَ اللّٰهِ ۗ لَوْ يُطِيْعُكُمْ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنَ الْاَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ حَبَّبَ اِلَيْكُمُ الْاِيْمَانَ وَزَيَّنَه فِيْ قُلُوْبِكُمْ وَكَرَّهَ اِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الرّٰشِدُوْنَ

Dan ketahuilah olehmu bahwa di tengah-tengah kamu ada Rasulullah. Kalau dia menuruti (kemauan) kamu dalam banyak hal pasti kamu akan mendapatkan kesusahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. (QS. Al-Hujurat: 7)

Kalau kita membahas masalah cinta, sedangkan timbulnya cinta dari hati, pemilik hati adalah yang maha kuasa yaitu Allah SubhanaAllah Wata’ala. Ia mampu membolak-balikkan hati manusia. Ketika Allah telah menitipkan cinta bersarang pada hati kita, maka akan terhubung pula antara roh dan keimanan. Dan sesulit apapun kondisi kita, apabila cinta itu telah hadir, maka ketaatan itu akan selalu ada melekat pada jiwa.

Semoga kita termasuk seorang hamba yang dititipkan sebuah cinta dalam hati, hingga roh kita bisa terhubung dan menyatu dengan kenikmatan dalam beribadah… Amiin…

Semoga Bermanfaat…..

Oleh: Khodijah Khalil

Penyebab Iman Bisa Bertambah dan Berkurang

Manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah, lemah fisiknya, lemah imannya dan lemah segala-galanya. Maka tidak heran ada manusia yang beriman dan ada yang tidak beriman kepada Allah disebabkan lemah imannya.

Syekh ‘Abdurrahman Al-Khomis menuqil perkataan Syekhul Islam Abu ‘Usman Ismail As-Shobuni :

أن الإيمان قول وعمل ومعرفة يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية

Iman itu adalah ucapan, amalan dan pengetahuan. Bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kemaksiatan. (I’tiqhodu Ahlis Sunnah, jilid 1 halaman 103).

Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS. Al-Anfal : 2).

Imam Al-Mawardi rohimahullah mengomentari ayat di atas di dalam tafsirnya An-Nukat wal ‘Uyun :

{زَادَتْهُمْ إِيمَاناً} فيه وجهان: أحدهما: تصديقاً. الثاني: خشية

(Bertambahlah iman mereka), mengenai ini ada 2 pandangan : Pertama : Yakin. Kedua : Takut. (An-Nukat wal ‘Uyun, jilid 2 halaman 295).

Oleh sebab itu, hendaknya selalu taat pada perintah Allah agar keimanan selalu bertambah. Karena jika iman berkurang dikhawatirkan melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bisa mendatangkan murka Allah.

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ – أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ – شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ

Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan “Laa ilaaha illallah”, sedangkan yang paling rendah adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan. (HR. Muslim, hadist no. 35).

Ibnu Manduh rohimahullah berkata :

فجعل الإيمان شعبا بعضها باللسان وبعضها بالقلب وبعضها بسائر الجوارح

Allah menjadikan iman itu bercabang, sebagiannya dengan lisan, sebagiannya dengan hati dan sebagaiannya dengan anggota badan. (Al-Iman, jilid 1 halaman 332).

Iman itu ibarat batre hp, ketika batre hp lowbat maka harus di cas kembali supaya hp tidak sampai mati dan fresh seperti sediakala. Begitu juga dengan iman manusia, ketika imannya lemah, maka cas kembali dengan memperbanyak ibadah kepada Allah. Bisa dengan memperbanyak amalan sholeh, berkumpul dengan orang-orang sholeh ataupun mendengarkan kajian para ustadz, agar keimanan terisi kembali.

Jangan biarkan iman lowbat, ketika merasa iman di dalam diri sudah lowbat, maka cepatlah cas dengan amalan-amalan sholeh, sebab ketika iman dibiarkan terus-terusan lowbat bisa melakukan larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bisa mendatangkan murka Allah. Untuk Itu, senantiasalah mengisi kembali iman yang sudah lemah seperti mengisi batre hp yang lowbat, agar bertahan lama dan kekuatannya menjadi full seperti sediakala.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Makna Hadist Iman akan Kembali ke Madinah seperti Kembalinya Ular ke Sarangnya

Sering sekali kita melihat pendakwah dadakan di media sosial yang menafsirkan hadist sekehndak hatinya, terutama hadist tentang “Iman yang kembali ke Madinah seperti ular yang kembali ke dalam sarangnya”.

Hadist ini sering digunakan oleh kelompok tertentu untuk menyerang ormas lain, dengan anggapan bahwa akidah dan tauhid serta negara tertentu rusak aqidahnya dan hanya ulama Madinah saja yang lurus aqidahnya.

Tentu saja pemahaman ini adalah pemahaman yang keliru lagi batil, sebab tafsiran sesungguhnya bukanlah seperti itu. Jika hanya membaca terjemahan dari hadist tersebut memang seakan-akan Madinah lah tempat orang-orang yang benar imannya dan yang lain keimanannya tidak benar, bukan begitu maksud hadist yang ditafsirkan oleh para ulama.

Berikut hadist yang dimaksud :

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الإِيمَانَ لَيَأْرِزُ إِلَى المَدِينَةِ كَمَا تَأْرِزُ الحَيَّةُ إِلَى جُحْرِهَا

Sesungguhnya Iman itu akan kembali ke Madinah sebagaimana kembalinya ular ke dalam sarangnya. (HR. Bukhari, hadist no. 1876 dan Muslim, hadist no. 147).

Tafsiran ulama hadist mengenai hadist di atas :

1. Imam Ibnu Bathol rohimahullah menuqil perkataan Al-Muhlib di dalam kitabnya Syarah Shahih Bukhari :

قال المهلب: فيه أن المدينة لا يأتيها إلا المؤمن، وإنما يسوقه إليها إيمانه ومحبته فى النبى (صلى الله عليه وسلم) فكأن الإيمان يرجع إليها كما خرج منها أولا، ومنها ينتشر كانتشار الحية من جحرها، ثم إذا راعها شىء رجعت إلى جحرها، فكذلك الإيمان لما دخلته الدواخل لم يقصد المدينة إلا مؤمن صحيح الإيمان

Al-Muhlib berkata : Hadist ini menunjukkan bahwa Madinah tidak didatangi kecuali orang-orang yang beriman, dan yang mendorongnya untuk mendatangi Madinah adalah karena kerinduan, keimanan dan kecintaanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan seakan-akan iman itu kembali lagi ke Madinah sebagaimana waktu keluarnya pertama kali dari Madinah. Dan darinya iman menyebar seperti menyebarnya ular yang keluar dari sarangnya, kemudian jika ada yang melindunginya, maka dia akan Kembali ke sarangnya. Begitu juga iman, ketika memasuki bagian dalam kota Madinah, maka tidak ada yang bisa memasukinya kecuali seorang mukmin yang benar keimanannya. (Syarah Shahih Bukhari, jilid 4 halaman 548).

2. Imam An-Nawawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

وهو يأرز إلى المدينة معناه أن الإيمان أولا وآخرا بهذه الصفة لأنه في أول الإسلام كان كل من خلص إيمانه وصح إسلامه أتى المدينة إما مهاجرا مستوطنا وإما متشوقا إلى رؤية رسول الله صلى الله عليه وسلم ومتعلما منه ومتقربا

Iman itu akan kembali ke sarangnya. Artinya, bahwasanya Iman semenjak awalnya hingga akhirnya dengan sifat ini (terjaga). Karena di masa awal Islam setiap yang murni keimanannya dan benar keislamannya datang ke Madinah sebagai orang yang berhijrah atau memang penduduk setempat. Atau juga sebagai orang yang rindu ingin melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, belajar dari Rasulullah, dan ingin lebih dekat dengannya. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 2 halaman 176).

3. Imam Badruddin Al-‘Ainy rohimahullah berkata di dalam kitabnya ‘Umdatul Qary Syarah Shahih Al-Bukhari :

قلت: هَذَا إِنَّمَا كَانَ فِي زمن النَّبِي، صلى الله عَلَيْهِ وَسلم، وَالْخُلَفَاء الرَّاشِدين إِلَى انْقِضَاء الْقُرُون الثَّلَاثَة، وَهِي تسعون سنة، وَأما بعد ذَلِك فقد تَغَيَّرت الْأَحْوَال وَكَثُرت الْبدع خُصُوصا فِي زَمَاننَا هَذَا على مَا لَا يخفى

Saya mengatakan : Hadist ini menceritakan tentang keimanan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khulafaur Rasyidin sampai akhir qurun (abad) ke 3 selama 90 tahun. Adapun setelah itu maka telah berubah keadaannya dan banyak perkara baru terutama di zaman kita sekarang ini yang sudah tidak menjadi rahasia lagi. (‘Umdatul Qary Syarah Shahih Al-Bukhari, jilid 10 halaman 240).

Inilah tafsiran yang benar mengenai hadist “Iman akan kembali ke Madinah seperti kembalinya ular ke dalam sarangnya”.

Artinya, sebelum menulis atau menyebarkan informasi, hendaknya membaca tafsiran ulama terdahulu mengenai itu, jangan sampai menafsirkan sendiri, apalagi mengarang cerita dengan mengatakan bahwa hanya ulama Madinah lah yang benar aqidahnya, atau mislnya hanya orang yang belajar di Universitas di Madinah lah yang selamat aqidahnya.

Semua butuh dalil dan pendapat ulama, ketika menulis dan menyebarkan sesuatu, pastikan yang disampaikan itu adalah perkataan ulama. Jadi tidak ngawur, karena yang disampaikan itu adalah pendapat ulama yang benar-benar berkompeten di bidangnya, bukan pendapat sendiri.

Nah, itulah yang terjadi sekarang di media sosial, banyak yang menafsirkan sendiri hanya untuk menjatuhkan ormas atau orang yang tidak sependapat dengannya. Padahal, Islam memerintahkan kita untuk berlaku Tasaamuh (toleransi). Jika tidak sependapat, maka hormati pendapat orang lain, bukan lantas memaksa orang lain harus mengikuti pendapat seperti yang kita yakini.

Untuk itu, mari amalkan yang kita sepakati bersama, namun ketika kita berbeda pendapat, maka mari berlapang dada dalam menyikapinya, bukan lantas menyerang satu sama lain.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Lihat : Berita Islami Terpercaya dan Konsultasi Agama Via WA

Iman Kepada Kitab-Kitab Allah

Iman Kepada Kitab Allah

Satu di antara rukun Iman dalam ajaran Islam adalah Iman kepada Kitab-Kitab Allah. Kitab-kitab Allah ini sering disebut juga dengan kitab samawiyah atau kitab langit. Artinya kitab-kitab ini pada asalnya turun dari sisi Allah, bukan buatan manusia atau jin. Sehingga ajaran yang terkandungan dapat dipastikan terbebas dari kesalahan dan kekeliruan.

Penyebutan Iman kepada kitab-kitab telah banyak disinggung dalam Alquran kadang dengan kalimat perintah dan kadang pula dalam bentuk pensifatan orang-orang muknin. Dan keimanan ini bersifat utuh alias tidak boleh hanya mengimani satu kitab saja dan menolak kitab lainya. Sebab, jika hal ini dilakukan maka keimanan kepada kitab-kitab Allah menjadi batal.

Dalil Iman Kepada Kitab-Kitab Allah

Penyebutan iman kepada kitab-kitab Allah terekam jelas pada beberapa ayat berikut:

1. Surah Al-Baqarah: 136

قُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَمَآ اُنْزِلَ اِلٰٓى اِبْرٰهِمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَمَآ اُوْتِيَ مُوْسٰى وَعِيْسٰى وَمَآ اُوْتِيَ النَّبِيُّوْنَ مِنْ رَّبِّهِمْۚ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْهُمْۖ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُوْنَ

“Katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.’”

2. Surah Ali-Imran: 84

قُلْ اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ عَلَيْنَا وَمَآ اُنْزِلَ عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَمَآ اُوْتِيَ مُوْسٰى وَعِيْسٰى وَالنَّبِيُّوْنَ مِنْ رَّبِّهِمْۖ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْهُمْۖ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.”

3. Surah An-Nisa’: 136

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهِ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلٰى رَسُوْلِهِ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا

Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh.

4. Surah Al-Baqarah: 1-4

الۤمّۤ ()  ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ() الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ () وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ

Alif Lam Mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat.

5. Surah Al-Baqarah: 90-91

بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِٓ اَنْفُسَهُمْ اَنْ يَّكْفُرُوْا بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ بَغْيًا اَنْ يُّنَزِّلَ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلٰى مَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ فَبَاۤءُوْ بِغَضَبٍ عَلٰى غَضَبٍۗ وَلِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ () وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ اٰمِنُوْا بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا نُؤْمِنُ بِمَآ اُنْزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُوْنَ بِمَا وَرَاۤءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَهُمْ ۗ قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُوْنَ اَنْۢبِيَاۤءَ اللّٰهِ مِنْ قَبْلُ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

Sangatlah buruk (perbuatan) mereka menjual dirinya, dengan mengingkari apa yang diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Karena itulah mereka menanggung kemurkaan demi kemurkaan. Dan kepada orang-orang kafir (ditimpakan) azab yang menghinakan. Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an),” mereka menjawab, “Kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami.” Dan mereka ingkar kepada apa yang setelahnya, padahal (Al-Qur’an) itu adalah yang hak yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah (Muhammad), “Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika kamu orang-orang beriman?”

Hukum Beriman Kepada Kitab-Kitab Allah

Dari beberapa dalil di atas para ulama sepakat bahwa mengimani kitab-kitab Allah adalah wajib bagi tiap mukmin. Salah satu tiang dalam keimanan kepada kitab-kitab Allah adalah At-Tashdiq, Percaya. Sebab jika ada keraguan walau hanya satu huruf dari kitab Allah, maka keimanan ini menjadi tidak sah.

Lebih mudahnya, di dalam hati seorang mukmin ada Iman kepada Allah dan iman kepada kitab-kitab Allah yakni ia membenarkan kitab-kitab yang diturunkan dari-Nya kepada para Nabi dan Rasul. Dan inilah sikap seorang mukmin dalam menerjemahkan Iman kepada Kitab-Kitab Allah.

Persamaan Kandungan Kitab-Kitab Allah

Kandungan kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para rasul memiliki kesamaan yakni menyeru untuk beribadah kepada Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dengan yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ اَنَّهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.[1]

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَۚ

Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah tagut”.[2]

Selain itu, semua kitab Allah juga berisi tentang peringatan tentang Hari Pembalasan. Sebagaimana firman Allah,

رَفِيْعُ الدَّرَجٰتِ ذُو الْعَرْشِۚ يُلْقِى الرُّوْحَ مِنْ اَمْرِهِ عَلٰى مَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهِ لِيُنْذِرَ يَوْمَ التَّلَاقِۙ () يَوْمَ هُمْ بَارِزُوْنَ ۚ لَا يَخْفٰى عَلَى اللّٰهِ مِنْهُمْ شَيْءٌ ۗلِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ ۗ لِلّٰهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ () اَلْيَوْمَ تُجْزٰى كُلُّ نَفْسٍۢ بِمَا كَسَبَتْ ۗ لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ ۗاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

(Dialah) Yang Mahatinggi derajat-Nya, yang memiliki ’Arsy, yang menurunkan wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, agar memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari Kiamat), (yaitu) pada hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tidak sesuatu pun keadaan mereka yang tersembunyi di sisi Allah. (Lalu Allah berfirman), “Milik siapakah kerajaan pada hari ini?” Milik Allah Yang Maha Esa, Maha Mengalahkan. Pada hari ini setiap jiwa diberi balasan sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.[3]


[1] QS. Al-Anbiya’: 25

[2] QS. An-Nahl: 36

[3] QS. Ghafir: 15-17