ISLAM DAN PEMIMPIN IDEAL

Sebuah stereotype di masyarakat telah terbentuk dengan mendisfungsikan politik terhadap nilai esensialnya.  Pembahasan tentang politik berarti berbicara tentang entitas yang tidak bisa dinafikan keberadaannya dalam setiap lini kehidupan manusia. Sebut saja di sektor organisasi dan pendidikan misalnya, politik merupakan suatu pondasi yang mendasari pergerakan yang ada di dalamnya. Terjun dalam politik praktis yang saat ini menjadi momen utama kemunculannya, tentu tidak akan terlepas dari persaingan, gesekan, yang berakar pada permasalahan seputar pemimpin dan yang akan dipimpin (Ar Ra’I wa Ar Ra’iyyah).

Pesta demokrasi terbesar negeri ini akan berlangsung tak lebih dari hitungan bulan, tepatnya pada 14 Februari 2024 mendatang. Bukan hanya pemilihan Presiden RI periode 2024-2029 yang akan diselenggarakan, namun juga pemilihan calon-calon wakil rakyat di legislatif pun menjadi satu paket dengan pesta demokrasi tersebut. Pertanyaan yang harusnya menjadi basis ideologi setiap individu adalah, Siapakah di antara mereka yang lebih ideal untuk dipilih? Lantas muncul pertanyaan lainnya bagi seorang muslim, Bagaimanakah Islam memandang pemimpin yang ideal?

Sudah sepatutnya masyarakat menyadari bahwa seroang pemimpin yang akan menjadi ujung tombak rakyatnya haruslah pemimpin yang memiliki kekuatan dan kemampuan besar yang mumpuni, baik lahir maupun batin. Maka, modal besar dan ketenaran tidak sepatutnya dijadikan alasan utama dalam memilih mereka. Terlebih bila pemimpin yang terpilih nanti ternyata pemimpin yang tidak kompeten dalam pelbagai bidang permasalahan rakyat. Ujung-ujungnya masyarakat secara umum yang menjadi korbannya, dan mereka hanya akan menyalah-nyalahkan keadaan karena cacatnya pilihan mereka. 1 menit memilih, bisa berakibat 5 tahun kesengsaraan hanya karena iming-iming janji manis yang menggiurkan.

Dalam sebuah hadis Riwayat Muslim, Rasulullah SAW mengingatkan:

Abu Dzar berkata: Ya Rasulallah! Tidakkah kau memberikan jabatan kepadaku? Maka Rasulullah memukul bahuku sambil berkata: Wahai Abu Dzar! Engkau seorang yang lemah, dan jabatan itu merupakan amanat yang pada hari qiyamat hanya akan menjadikan seseorang mendapatkan kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mendapatkannya dengan hak dan dapat menunaikan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab (HR. Muslim No. 4823).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa amanah yang akan diemban oleh seorang pemimpin itu sungguh sangat berat. Abu Dzar pernah suatu waktu meminta mengemban jabatan kepada Rasulullah SAW, lantas beliau tidak memberikannya, kemudian beliau mengingatkan kepada Abu Dzar bahwa pada dirinya ada kelemahan dalam mengemban amanat tersebut.

Lebih lanjut Rasulullah SAW mengatakan bahwa jabatan itu merupakan amanat yang berat, dan kelak pada hari kiamat suatu jabatan hanya akan mendatangkan penyesalan bahkan kehinaan, kecuali bila orang yang mendapatkan amanah jabatan itu benar-benar memiliki kemampuan, kapasitas dan kapabilitas sehingga ia dapat menunaikan hak dan kewajibannya dengan baik.

Untuk menjadi seorang pemimpin ideal, Allah mengisyaratkan adanya empat kreteria yang harus dimilikinya, coba simak ayat berikut :

﴿إِنَّمَا وَلِیُّكُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱلَّذِینَ یُقِیمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُمۡ رَ ا⁠كِعُونَ﴾ )المائدة: 55)

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka rukuk (QS. Al-Maidah, 55).

Berdasarkan Surat al-Maidah ayat 55 tersebut, ada empat kreteria seseorang yang layak menjadi pemimpin ideal. Pertama, pemimpin ideal harus beriman kepada Allah  mukmin dan muslim yang baik. Dalam hal ini tidak cukup dengan pengakuan sebagai seorang muslim, tetapi harus beriman kepada Allah dan memiliki sifat serta kepribadian sebagai seorang pemimpin handal, yaitu hafidz dan ‘aliim. Mengambil arti dari surat Yusuf “Inni hafiidzun ‘Aalim” artinya seorang yang pandai menjaga, memiliki integritas, kepribadian yang kuat, amanah, jujur dan berakhlak mulia, sehingga patut menjadi teladan bagi orang lain atau rakyat yang dipimpinnya. Adapun “’Aliim”, artinya adalah seorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai untuk memimpin rakyatnya dan membawa mereka pada kehidupan yang sejahtera

Dalam sebuah hadist disebutkan :

وَ قَالَ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ : اَلْأَمَانَةُ تَجْلِبُ اَلرِّزْقَ وَ اَلْخِيَانَةُ تَجْلِبُ اَلْفَقْرَ.   تخريج :  تحف العقول عن آل الرسول علیهم السلام، الجزء۱، الصفحة۴۵

(Kepemimpinan yang) amanah itu akan membawa kecukupan rizki (keberkahan), sedangkan yang khianat itu akan membawa kepada kefakiran (Dikutip dari Tahful ‘Uquul Juz 1, Hal 25)

            Kedua, pemimpin ideal harus rajin menegakkan shalat یُقِیمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ . Sebab, shalat adalah barometer akhlak manusia. Shalat dapat menumbuhkan sikap tanggung jawab dan kedisiplinan. Shalat dapat menyadarkan dirinya selalu dalam pengawasan Allah. Salat juga dapat menumbuhkan optimisme, karena dengan semakin dekatnya kepada Allah, ia akan mudah untuk mendapatkan bimbingan berupa ilham.

            Ketiga, pemimpin ideal harus gemar menunaikan zakat وَیُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ Sedekah zakat itu bukan sekedar membersihkan harta yang kotor, melainkan membersihkan harta (harta yang bersih) dari hak orang lain. Seorang pemimpin yang rajin berzakat dan berinfak dengan penuh kesadaran, ia akan berhati-hati dengan hartanya, ia tidak mau hartanya dikotori dengan yang lain, karena itu ia tidak mungkin melakukan korupsi.

Keempat, pemimpin ideal harus senantiasa melaksanakan shlat berjamaah وَهُمۡ رَاكِعُونَ. Ibn Taymiyah menerangkan bahwa melakukan rukuk adalah gambaran shlat berjamaah. Karena orang yang salat berjamaah dianggap mendapatkan satu rakaat apabila sempat mengikuti ruku bersama imam. Berbeda dengan orang yang hanya mendapatkan sujud saat bergabung dalam salat berjamaah, maka ia tidak mendapatkan satu rakaat (Ibn Taimiyah, al-Imamah Fi Dou’ alKitab Wa al-Sunnah, I/16). Pemimpin yang suka berjamaah artinya suka bergaul dengan masyarakat, berusaha mengetahui keadaan rakyatnya dengan sebaik-baiknya, kemudian mencarikan jalan keluar atas persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakatnya.

Memilih pemimpin ideal dalam Islam merupakan hal dasar yang wajib diketahui ilmunya oleh semua elemen. Dalam Islam, memilih pemimpin tidak hanya berkaitan dengan kemampuan administratif atau kebijakan semata, tetapi juga mencakup karakter moral dan ketaqwaan. Pemimpin ideal dalam Islam adalah individu yang memiliki sifat-sifat seperti kejujuran, amanah, keadilan, dan tawakkal (bertawakal kepada Allah). Sunnah Nabi Muhammad SAW memberikan pedoman tentang kriteria pemimpin yang baik. Seorang pemimpin ideal adalah yang paham dan menjalankan tugasnya dengan adil, tanpa memihak pada kelompok atau individu tertentu.

Umat Islaim dianjurkan untuk terlibat dalam proses pemilihan, menyuarakan pendapat, dan memilih pemimpin yang akan mewakili aspirasi dan kepentingan umat. Pemimpin yang terpilih harus mampu memimpin dengan penuh kebijaksanaan, mendengarkan suara rakyat, dan bekerja untuk kepentingan bersama. Kesimpulannya, dalam Islam, pemilihan pemimpin ideal adalah suatu peristiwa yang membutuhkan pemikiran serius dan pertimbangan hati-hati. Pemimpin yang memiliki nilai nilai Islam, kejujuran, keadilan, dan dedikasi untuk melayani umat adalah pemimpin yang dapat membawa kemajuan dan keberkahan bagi masyarakat Islam.

Oleh: Al-Ustadz Sahlan Muhammad Minullah El-Dompu

Memaknai Peran Khalifah Di Muka Bumi

Membicarakan pemimpin adalah sesuatu yang sangat menarik untuk diperbincangkan, dan tidak akan pernah habis untuk dibahas oleh masyarakat luas, karena paradigma kepemimpinan adalah sesuatu yang sangat dinamis dan memiliki kompleksitas yang tinggi.

Pemimpin saat ini di Indonesia sangatlah krisis menghadapi suatu kebijakan-kebijakan, apalagi di masa menghadapi pandemi seperti saat ini, banyak sekali pemimpin yang memanfaatkan bantuan uang sosial untuk dimasukkan ke kantong pribadinya. Dibilang miris, sungguh sangat miris melihat mereka yang membutuhkan bantuan tapi tak kunjung diberikan. Donasi yang seharusnya disalurkan kepada orang yang berhak mendapatkan, malah tak kunjung tersalurkan. Di media-media malah lebih rame memberitakan beberapa pejabat penting tertangkap atas kasus suap dan penggelapan dana. Dengan ini menunjukkan kurangnya moral menjadi seorang pemimpin sehingga mengedepankan kepentingan pribadi dari pada kepentingan masyarakat. Seperti yang kita lihat, di negara kita Indonesia, tidak kurang mendapatkan orang-orang yang pintar, banyak diantaranya lulusan doctor ataupun menyandang gelar prof setiap tahunnya, hanya sedikit diantara kita yang berani mengatakan kejujuran dan bertindak untuk menyuarakan kebenaran.

Disisi lain banyak juga diantara pemimpin-pemimpin yang menyalurkan sebagian hartanya untuk membantu mereka yang terdampak pandemi. Ini menunjukkan bahwasannya manusia adalah makhluk sosial, saling bahu membahu dan saling membantu. Yang dimana sifat ini muncul secara alami dalam diri manusia yang disebut dengan prososial. Menjadi seorang pemimpin bukanlah perkara yang mudah, harus ada pengorbanan harta, tenaga dan pikiran untuk menciptakan suatu tatanan negara agar lebih maju dan makmur sentosa.

Dalam tausiah Ustadz HM. Irzal Fadholi, S.Thi., M.Pd., M.Pdi  selaku pengurus KOMAS (Komunitas Masyarakat Santri) sebagai ketua II ekonomi keumatan menerangkan tentang peran penting bagaimanakah seharusnya menjadi khalifah atau menjadi seorang pemimpin di muka bumi ini? Video tersebut diunggah oleh KOMAS TV pada 17 april 2021. Beliau menjelaskan berdasarkan pedoman yang ada dalam al-Qur’an dan hadits agar manusia tidak tersesat dalam menghadapi kehidupan di dunia ini.

Dalam isi video yang berdurasi 12:53 yang berisikan: Allah menciptakan manusia tak lain adalah untuk menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, dengan pedoman suri tauladan Muhammad SAW yang dimana nabi Muhammad telah memberikan uswah, kudwah yang baik , bagaimana caranya menjadi manusia sejati, menjadi manusia yang sebenar-benarnya, dan menjadi manusia yang tau diri bahwasannya manusia adalah makhluk yang lemah yang diciptakan Allah SWT dengan beberapa keunggulan atau kelebihan.

Dasar-dasar kepemimpinan

Dengan adanya nabi Muhammad SAW melalui ajaran-ajarannya yaitu sunnaturrosul atau yang sering kita sebut dengan hadits, agar manusia bisa hidup dengan penuh keberkahan, kebaikan dan mengambil banyak hikmah dari kehidupan ini.

Sebagaimana wasiat Rasulullah SAW untuk umatnya:

أَنَّ رَسُلُ اللّهِ ص. ل قَالَ : تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللّه وَ سُنّةَ رَسُوْلِهِ.

“Aku tinggalkan kepada kamu (umatku) dua perkara. Jika kamu berpegang teguh kepada keduanya, maka niscaya kamu tidak akan tersesat untuk selama-lamanya. Dua perkara itu adalah Al-Qur’an dan sunnah,” (HR. Muslim)

Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa al-Qur’an dan hadits merupakan pegangan hidup setelah Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum, permasalahan-permasalah dalam suatu kepemimpinan sudah jelas diterangkan.

Karakter Kepemimpinan Dalam Islam

Manusia tercipta dan diciptakan oleh Allah sebagai kholifah untuk menata alam jagad raya ini yang diberikan ruang kehidupan yakni berupa planet bumi. Seperti yang telah kita ketahui kondisi alam sebelum datangnya nabi Muhammad SAW. Yang telah mejadikan alam jagad raya ini dari sebuah keterpurukan sehingga munculnya hidayah kalam ilahi petunjuk Allah yang telah di diwahyukan kepada nabi Muhammad yaitu berupa al-Qur’anul karim, yang bisa kita rasakan saat ini.

Surah ali imron 104

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (104)

Artinya:

“Dan hendaklah di antara kamu ada golongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali-Imron 104)

Maka hendaklah jadilah diantara sebagian orang diantara kamu, atau sekelompok orang diantara kamu yang mau untuk mengajak untuk berbuat kebaiakan dan mengajak untuk meninggalkan sebuah kemungkaran. Ayat ini menjadi pondasi untuk kita semuanya, bagaimana cara menjadi manusia yang khoiru ummah, menjadi sekelompok yang terbaik.

خَيْرُ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً وَ أَنْفَعُهُمْ لِنَّاسِ

 Artinya:

Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bagus budi pekertinya dan yang paling bermanfaat bagi orang lain.

Jadikanlah kalimat menjadi motivasi yang besar, di Indonesia ini ada sebuah gejolak yang luar biasa, antara kepentingan satu dengan kepentingan yang lain yang menyatakan dirinya sebuah kebenaran, yang tanpa mau kita koreksi apa yang harus kita perbuat demi kemaslahatan umat.

Banyak kasustik yang dimana kita harus banyak belajar, ketika seorang punya kepentingan, jabatan atau kedudukan yang dimana dia harus berbuat ma’ruf,  untuk menata  dirinya, bagaimana dia harus berbuat atau melakukan sesuatu sebagai seorang pemimpin, bagaimana dirinya punya kedudukan untuk mengajak kepada lingkunganya untuk berbuat baik, yang dimana berbuat baik harus dilandasi dengan kebenaran, sedangkan kebenaran harus dilandasi dengan dasar, dan dasar ini adalah al-Qur’an sebagai petunjuk kehidupan.

Pesan Ustadz HM. Irzal Fadholi, S.Thi., M.Pd., M.Pdi  untuk manusia yang lainnya adalah: Teruslah menyebarkan pundi-pundi kebaikan untuk kemaslahatan bangsa kita ini. berilah yang terbaik yang kamu miliki, karena disitulah kamu akan mendapatakan keberkahan dari Allah SAW.

Penutup

Dalam paparan beliau diatas: sebagai seorang pemimpin hendaklah selalu berupaya bersandar dalam memegang teguh atas pondasi dalam al-Qur’an dan Hadits, apabila seseorang sudah menjadikan kehidupannya berlandaskan dengan al-Qur’an dan hadits, dan tertanam erat dalam dirinya maka hati seorang pemimpin akan bersih dan berani mengatakan kebenaran dan akan selalu menjadi barisan terdepan dalam membela yang benar. Sehingga pemimpin yang bijak akan menjadi suri tauladan untuk masyaratnya luas.

Penulis : Khodijah al-Khalil