Keutamaan Puasa Sya’ban

Islam memerintahkan kepada setiap pemeluknya untuk memperbanyak amalan di bulan Sya’ban sebagaimana yang dicontohkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu amalan yang bisa dilakukan adalah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban.

Banyak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menganjurkan untuk berpuasa di bulan Sya’ban. Hadits-hadits yang memerintahkan puasa di bulan Sya’ban sebagai berikut :

Dari Ummul Mukminin Aisyah rodhiyallahu ‘anha berkata :

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. (HR. Bukhari, hadits no. 1970).

Apakah Rasulullah selalu berpuasa sebulan penuh pada bulan Sya’ban?

Imam Az-Zarqani rohimahullah menuqil pendapat imam Ibnul Mubarok di dalam kitabnya Syarah Az-Zarqoni ‘ala Muwatta Al-Imam Maalik :

وَقَدْ قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ: جَائِزٌ فِي كَلَامِ الْعَرَبِ إِذَا صَامَ أَكْثَرَ الشَّهْرِ أَنْ يَقُولَ: صَامَ الشَّهْرَ كُلَّهُ

Ibnul Mubarak berkata : Dibolehkan dalam pembicaraan orang Arab jika dia banyak berpuasa di sebagian besar bulan untuk mengatakan : Dia berpuasa sebulan penuh. (Syarah Az-Zarqoni ‘ala Muwatta Al-Imam Maalik, jilid 2 halaman 290).

Dari pendapat Imam Az-Zarqani sudah jelas bahwa yang dimaksud berpuasa seluruhnya adalah banyak berpuasa di bulan tersebut dan boleh bagi orang Arab jika dia banyak berpuasa di bulan tersebut dengan mengatakan dia berpuasa sebulan penuh.

Dalam riwayat lain Ummul Mukminin Aisyah rodhiyallahu ‘anha juga berkata :

كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: قَدْ صَامَ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: قَدْ أَفْطَرَ، وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ، أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا

Beliau biasanya berpuasa sampai kami mengatakan sungguh telah berpuasa (terus-menerus). Dan beliau berbuka sampai kami mengatakan sungguh beliau telah berbuka. Dan aku tidak melihat beliau   berpuasa  yang lebih banyak dibandingkan pada bulan Sya’ban. Biasanya beliau berpuasa pada bulan Sya’ban semuanya, dan biasanya beliau berpuasa pada bulan sya’ban kecuali sedikit. (HR. Muslim, hadits no. 1156).

Imam An-Nawawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

فِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يُخَلِّيَ شَهْرًا مِنْ صِيَامٍ وَفِيهَا أَنَّ صَوْمَ النَّفْلِ غَيْرُ مُخْتَصٍّ بِزَمَانٍ مُعَيَّنٍ

Dalam hadits-hadits ini dianjurkan untuk tidak mengosongkan puasa selama sebulan, dan di dalamnya puasa sunnah tidak dibatasi pada waktu tertentu. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 37).

Imam An-Nawawi rohimahullah mengatakan bahwa dalam sebulan hendaknya tidak mengosongkan puasa, dan hendaklah dia berpuasa sunnah walaupun jumlahnya tidak banyak.

Pernahkah Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh?

Imam An-Nawawi rohimahullah melanjutkan :

الثَّانِي تَفْسِيرٌ لِلْأَوَّلِ وَبَيَانٌ أَنَّ قَوْلَهَا كُلَّهُ أَيْ غَالِبَهُ وَقِيلَ كَانَ يَصُومُهُ كُلَّهُ فِي وَقْتٍ وَيَصُومُ بَعْضَهُ فِي سَنَةٍ أُخْرَى

Tafsiran yang kedua untuk penjelasan yang pertama adalah bahwa pengertian “kullahu” artinya lebih banyak. Ada ulama yang mengatakan : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpuasa penuh selama sebulan pada satu waktu dan pernah berpuasa sebagiannya pada waktu (tahun) yang lain. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 37).

Berdasarkan tafsiran Imam An-Nawawi rohimahullah pada hadits di atas, bahwa baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpuasa sebulan penuh dan pernah juga berpuasa separohnya.

Berpuasa di bulan Sya’ban adalah latihan sebelum puasa di bulan Ramadhan. Karna jika seorang muslim sudah terbiasa berpuasa sebelum bulan Ramadhan, maka dia akan lebih kuat untuk mengerjakan puasa di bulan Ramadhan.

Imam An-Nawawi rohimahullah melanjutkan :

وَقِيلَ فِي تَخْصِيصِ شَعْبَانَ بِكَثْرَةِ الصَّوْمِ لِكَوْنِهِ تُرْفَعُ فِيهِ أَعْمَالُ الْعِبَادِ

Dan dikatakan bahwa Sya’ban dikhususkan untuk memperbanyak puasa, karena amal manusia diangkat ketika itu. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 37).

Inilah alasan kenapa seorang muslim dianjurkan untuk memperbanyak berpuasa di bulan Sya’ban, karena pada bulan Sya’ban amalan manusia diangkat atau dilaporkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dari Usamah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu berkata :

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: «ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Wahai Rasulullah, aku belum pernah melihatmu berpuasa di bulan manapun sebagaimana kamu berpuasa di bulan Sya’ban. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Tuhan semesta alam. Dan aku sangat suka ketika amalanku dinaikkan sementara aku sedang berpuasa. (HR. An-Nasa’i, hadits no. 2357).

Derajat hadits di atas :

Syekh Al-Mubaarokfury berkata di dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi syarah Jaami’ At-Tirmidzi :

قُلْتُ حَدِيثُ رَفْعِ الْأَعْمَالِ فِي شعبان أخرجه النسائي وأبو داود وصححه بن خُزَيْمَةَ مِنْ حَدِيثِ أُسَامَةَ

Saya berkata : Hadits diangkatnya amalan pada bulan Sya’ban dikeluarkan oleh Imam An-Nasa’i, Abu Dawud dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah yang diriwayatkan dari Usamah. (Tuhfatul Ahwadzi syarah Jaami’ At-Tirmidzi, jilid 3 halaman 375).

Kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak terus-menerus berpuasa penuh pada bulan Sya’ban?

Imam An-Nawawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

قَالَ الْعُلَمَاءُ وَإِنَّمَا لَمْ يستكمل غير رمضان لئلا يظن وجوبه

Para ulama berkata : Alasan kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan puasa selain Ramadhan adalah agar tidak dikira wajib. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 37).

MasyaAllah, berdasarkan hadits-hadits dan keterangan para ulama di atas, puasa di bulan Sya’ban memiliki keutamaan yang mulia, di mana di bulan Sya’ban amalan manusia diangkat atau dilaporkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tentunya seorang muslim akan merasa senang ketika amalannya dilaporkan sementara dia sedang berpuasa, sebagaimana yang dicontohkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Yuk puasa Sya’ban sebagai latihan puasa sebelum Ramadhan, agar ketika sudah masuk Ramadhan, maka seorang muslim akan menjadi kuat, karena sudah dilatih berpuasa sebelum bulan Ramadhan.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Keutamaan Puasa Asyura

Bulan Muharram adalah salah satu bulan yang dimuliakan di dalam Islam. Dan berpuasa di dalamnya merupakan puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan.

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الْفَرِيضَةِ، صَلَاةُ اللَّيْلِ

Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah (Muharram). Dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam. (HR. Muslim,, hadits no. 1163).

Ganjaran Puasa pada 10 Muharram (‘Asyura)

Dari Abu Qatadah Al-Anshari rodhiyallahu ‘anhu berkata :

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ؟ فَقَالَ: «يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ» قَالَ: وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ؟ فَقَالَ: «يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ»

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab : ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Dan beliau juga ditanya tentang keutamaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab : ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu. (HR. Muslim, hadits no. 1162).

Dianjurkan Puasa Tasu’a (9 Muharram) untuk menyelisihi orang-orang Yahudi

Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma berkata, ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, ada diantara para sahabat yang berkata :

يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ» قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Apabila tiba tahun depan, insyaAllah kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas berkata : Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam keburu meninggal dunia. (HR. Muslim, hadits no. 1134).

Imam An-Nawawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

قال الشافعي وأصحابه وأحمد وإسحاق وآخرون يستحب صوم التاسع والعاشر جميعا لأن النبي صلى الله عليه وسلم صام العاشر ونوى صيام التاسع

Imam Syafi’i dan muridnya, Ahmad, Ishaq, dan yang lainnya berkata : Dianjurkan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram secara berturut-turut, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpusa pada tanggal 10 dan berniat untuk puasa pada tanggal 9. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 12).

Puasa tanggal 9 Muharram dilaksanakan untuk menyelisihi orang-orang Yahudi, karena orang-orang Yahudi juga memuliakan hari Asyura, karena di hari Asyura Nabi Musa ‘alaihis salam menang menang melawan Fir’aun.

Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma berkata :

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ وَاليَهُودُ تَصُومُ عَاشُورَاءَ، فَقَالُوا: هَذَا يَوْمٌ ظَهَرَ فِيهِ مُوسَى عَلَى فِرْعَوْنَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ: «أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصُومُوا»

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, orang-orang yahudi berpuasa ‘Asyura. Mereka berkata : Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat : “Kalian lebih berhak untuk bangga terhadap Musa dari pada mereka (orang-orang yahudi), maka dari itu berpuasalah. (HR. Bukhari, hadits no. 4680).

Maka ikuti dengan puasa pada tanggal 9 Muharram agar berbeda dengan orang-orang Yahudi.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Bolehkah Puasa Syawal Tidak Berurutan?

Puasa Syawal hukumnya sunnah di dalam Islam dan orang-orang yang mengerjakan puasa Syawal setelah mengerjakan puasa Ramadhan dengan penuh, maka dia seperti berpuasa sepanjang tahun. MasyaAllah, begitu luar biasanya keutamaan puasa Syawal di dalam Islam.

Akan tetapi, bolehkah jika seorang muslim tidak mengerjakan puasa Syawal secara berurutan? Artinya dia tidak mengerjakan puasa Syawal 6 hari secara berurutan, namun mengerjakannya secara terpisah, mungkin dia mengerjakan puasa Syawal 4 hari, kemudian karena ada udzur seperti sakit dan lainnya, maka dia kerjakan yang 2 hari lagi di akhir Syawal, bolehkah?

Imam An-Nawawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

قال أصحابنا والأفضل أن تصام الستة متوالية عقب يوم الفطر فإن فرقها أو أخرها عن أوائل شوال إلى أواخره حصلت فضيلة المتابعة لأنه يصدق أنه أتبعه ستا من شوال

Ulama mazhab kami berkata : Yang paling afdol (utama) adalah puasa 6 hari berturut-turut setelah hari raya Idul Fitri. Dan jika dia memisahkannya atau mengakhirkannya dari awal Syawal sampai akhir Syawal, maka dia tetap mendapatkan keutaman mengikuti, karena diyakini dia berpuasa 6 hari di bulan Syawal. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 56).

Berdasarkan pendapat Imam An-Nawawi rohimahullah di atas, bahwa bolehnya seorang muslim mengerjakan puasa Syawal secara terpisah atau tidak berurutan karena mungkin ada udzur lainnya seperti sakit, dalam perjalanan dan lain sebagainya.

Puasa Ramadhan setara dengan berpuasa 10 bulan dan puasa 6 di bulan Syawal setara dengan puasa 2 bulan

Imam An-Nawawi rohimahullah melanjutkan perkataan di atas di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

قال العلماء وإنما كان ذلك كصيام الدهر لأن الحسنة بعشر أمثالها فرمضان بعشرة أشهر والستة بشهرين

Para ulama berkata : Alasan disebut seperti berpuasa sepanjang tahun adalah karena satu kebaikan dilipatgandakan menjadi 10 kebaikan. Maka Ramadhan terhitung seperti berpuasa 10 bulan sedangkan puasa 6 di bulan Syawal terhitung seperti berpuasa selama 2 bulan. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 56).

Maka dari itu, beruntunglah bagi orang-orang yang mengerjakan puasa Ramadhan dengan penuh kemudian dia iringi dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, dia akan mendapatkan keutamaan yang luar biasa, yaitu dia seperti berpuasa sepanjang tahun.

Kesimpulan :

1. Puasa Syawal boleh dikerjakan tidak berurutan, boleh dikerjakan secara terpisah. Misalnya dia mengerjakan puasa 4 hari terlebih dahulu, kemudian karena ada udzur dia kerjakan 2 hari lagi di akhir Syawal, maka ini dibolehkan oleh para ulama

2. Jika dia mengerjakan puasa Syawal secara terpisah, dia tetap mendapatkan keutamaannya yaitu seperti berpuasa sepanjang tahun, karena dia berpuasa 6 hari di bulan Syawal

3. Afdolnya seorang muslim mengerjakan puasa Syawal secara berurutan, namun jika dia mengerjakannya secara terpisah, maka tidak apa-apa

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Keutamaan Puasa Syawal

Puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal hukumnya sunnah di dalam Islam dan mempunyai keutamaan yang sangat besar.

Dari Abu Ayyub Al-Anshari rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puiasa 6 hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa sepanjang setahun (setahun penuh). (HR. Muslim, hadits no. 1164).

Imam An-Nawawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

فيه دلالة صريحة لمذهب الشافعي وأحمد وداود وموافقيهم في استحباب صوم هذه الستة وقال مالك وأبو حنيفة يكره ذلك قال مالك في الموطأ ما رأيت أحدا من أهل العلم يصومها قالوا فيكره لئلا يظن وجوبه ودليل الشافعي وموافقيه هذا الحديث الصحيح الصريح وإذا ثبتت السنة لا تترك لترك بعض الناس أو أكثرهم أو كلهم لها وقولهم قد يظن وجوبها ينتقض بصوم عرفة وعاشوراء وغيرهما من الصوم المندوب

Ini adalah dalil yang jelas bagi mazhab Syafi’i, Ahmad, Daud dan kesepakatan mereka bahwa dianjurkannya puasa 6 di bulan Syawal. Imam Malik dan Abu Hanifah berkata : Dimakruhkan puasa 6 hari di bulan Syawal. Imam Malik rohimahullah berkata di dalam Al-Muwattho’ : Saya tidak melihat seorang pun dari ulama puasa 6 hari di bulan syawal ini, mereka berkata : Dimakruhkan karena mereka menyangka hukumnya wajib. Dan dalil Imam Syafi’i dan kesepakatan tentang ini adalah hadits shahih yang jelas ini. Dan jika telah ditetapkan sunnah, maka janganlah meninggalkannya dikarenakan sebagian manusia, atau kebanyakan dari mereka atau semua mereka meninggalkannya. Dan perkataan mereka : kadang-kadang mereka menyangka hukumnya wajib, maka maka pendapat ini batal disebabkan puasa Arafah, Asyura dan selain keduanya dari puasa yang juga dianjurkan. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 56).

Bagaimana jika seseorang puasa 6 di bulan Syawal di akhir bulan Syawal? Apakah masih terhitung berturut-turut dan mendapatkan keutamaan puasa setahun penuh?

Imam An-Nawawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

قال أصحابنا والأفضل أن تصام الستة متوالية عقب يوم الفطر فإن فرقها أو أخرها عن أوائل شوال إلى أواخره حصلت فضيلة المتابعة لأنه يصدق أنه أتبعه ستا من شوال

Ulama mazhab kami berkata : Yang paling afdol (utama) adalah puasa 6 hari berturut-turut setelah hari raya Idul Fitri. Dan jika dia memisahkannya atau mengakhirkannya dari awal Syawal sampai akhir Syawal, maka dia tetap mendapatkan keutaman mengikuti, karena diyakini dia berpuasa 6 hari di bulan Syawal. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 56).

Puasa Ramadhan setara dengan berpuasa 10 bulan dan puasa 6 di bulan Syawal setara dengan puasa 2 bulan

Imam An-Nawawi rohimahullah melanjutkan perkataan di atas di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

قال العلماء وإنما كان ذلك كصيام الدهر لأن الحسنة بعشر أمثالها فرمضان بعشرة أشهر والستة بشهرين

Para ulama berkata : Alasan disebut seperti berpuasa sepanjang tahun adalah karena satu kebaikan dilipatgandakan menjadi 10 kebaikan. Maka Ramadhan terhitung seperti berpuasa 10 bulan sedangkan puasa 6 di bulan Syawal terhitung seperti berpuasa selama 2 bulan. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 56).

Niat Puasa Syawal :

Niat dalam bahasa Arab :

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلهِ تَعَالَى

Latin : Nawaitu Shouma Ghodin ‘An Adaa-i Sunnatis Syawwali Lillahi Ta’ala

Artinya : Aku berniat puasa sunnah Syawal esok hari karena Allah Ta’ala

Namun niat puasa Syawal bisa berbahasa Indonesia dan tidak harus berbahasa Arab, lafazdnya adalah : “Aku berniat puasa sunnah Syawal esok hari karena Allah Ta’ala.”

Maka dari itu puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal sangat dianjurkan di dalam Islam karena mempunyai keutamaan yang dahsyat. Dan sangatlah rugi apabila seorang muslim meninggalkan puasa 6 hari di bulan Syawal ini.

Jika kita bisa mengambil sunnahnya, kenapa harus meninggalkannya? Jika kita bisa mendapatkan pahala dari mengerjakannya kenapa tidak dikerjakan hanya dikarenakan banyak manusia yang tidak mengerjakan puasa tersebut?

Yuk puasa 6 hari di bulan Syawal agar mendapatkan keutamaan seperti berpuasa sepanjang tahun (setahun penuh) dan semoga Allah menerima semua amal ibadah kita. Aamiin Ya Allah Ya Robbal ‘Aalamiin.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Na’udzubillah! Rajin Shalat dan Puasa, Tapi Masuk Neraka

Siapa yang tidak mau masuk surga, semua manusia yang mengaku dirinya beriman kepada Allah pasti menginginkan masuk ke dalam surga tanpa terkecuali.

Betapa banyak orang yang menyangka bahwa masuk ke dalam surga karena banyak beramal shaleh. Memang, beramal shaleh diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Namun seorang muslim masuk surga bukan karena amal yang dia kerjakan, melainkan karena rahmat Allah.

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الجَنَّةَ، قَالُوا: وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: ” لاَ، وَلاَ أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ

Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga. Engkau juga tidak wahai Rasulullah? tanya beberapa sahabat. Beliau menjawab : Aku pun tidak. Semua karena karunia dan rahmat Allah. (HR. Bukhari, hadist no. 5673).

Oleh sebab itu, amalan banyak yang dia kerjakan itu bukan penyebab dia masuk surga, tapi hanya sebagai sarana yang bisa mengantarkannya mendapatkan rahmat Allah. Ketika sudah mendapatkan rahmat Allah, maka dia akan dimasukkan ke dalam surga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Namun, ada di antara ummat Islam, dia rajin shalat, puasa, zakat dan mengerjakan amalan shaleh lainnya sewaktu di dunia, namun ketika di akhirat dia masuk ke dalam neraka. Kenapa?

Salah satu penyebab seorang muslim yang rajin beribadah tapi masuk surga adalah karena dia mengghibah, menzalimi, menumpahkan darah, dan menyakiti hati orang lain, dan dia belum sempat meminta maaf kepada orang yang bersangkutan. Maka ketika dia berada di akhirat, kebaikannya akan diberikan kepada orang-orang yang dia zalimi, sampai apabila kebaikannya sudah habis, sementara kezalimannya belum tertebus semua, maka dia akan mengambil kesalahan-kesalahan orang yang dia zalimi dan ditimpakan kepadanya, kemudian dia dicampakkan ke dalam neraka. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah.

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا: الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ. فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ، أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu? Mereka menjawab : “Orang yang bangkrut di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta. Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa,dan zakat. Namun dia juga datang dengan membawa dosa kedzaliman.” Dia pernah mencela si ini, menuduh tanpa bukti terhadap si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah orang ini dan memukul orang itu. Maka sebagai tebusan atas kedzalimannya tersebut, diberikanlah di antara kebaikannya kepada si ini,si ini dan si itu. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi bagikan kepada orang-orang yang dizaliminya sementara belum semua kedzalimannya tertebus, diambillah kejelekan (kesalahan) yang dimiliki oleh orang yang didzaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian dia dicampakkan ke dalam neraka. (HR. Muslim, hadist no. 2581).

Sungguh merugilah orang-orang yang rajin mengerjakan ibadah sewaktu di dunia, namun dia dimasukkan ke dalam neraka karena menyakiti orang lain dan belum meminta maaf kepada orang yang dia sakiti tersebut.

Padahal, hubungan yang harus kita perbaiki bukan hanya kepada Allah semata, namun juga memperbaiki hubungan dengan sesama manusia.

Allah berfirman :

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (QS. An-Nisa’ : 36).

Imam As-Samarqandi rohimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya Bahrul ‘Ulum :

وَاعْبُدُوا اللَّهَ قال بعضهم: هذا الخطاب للكفار، واعبدوا الله يعني وحدوا الله وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً أي لا تثبتوا على الشرك. ويقال: الخطاب للمؤمنين اعبدوا الله، يعني اثبتوا على التوحيد ولا تشركوا به

(Sembahlah Allah), sebagian ulama berkata : Ini ditujukan untuk orang-orang kafir. Dan sembahlah Allah, artinya : Esakanlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, artinya : jangan tetap dalam kesyirikan. Dikatakan juga : Ini ditujukan bagi orang-orang beriman, sembahlah Allah! Artinya : tetaplah meng-Esakan Allah dan jangan menyekutukan-Nya. (Bahrul ‘Ulum, jilid 1 halaman 301).

Imam Al-Mawardi rohimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya An-Nukat wal ‘Uyun :

{وَالْجَارِ الْجُنُبِ} فيه قولان: أحدهما: الجار البعيد في نسبه الذي ليس بينك وبينه قرابة , وهو قول ابن عباس ومجاهد. والثاني: أنه المشرك البعيد في دينه

(dan tetangga yang jauh), tentang ini ada pendapat :

Pertama : tetangga yang jauh secara keturunan, yang di mana antara kamu dan dia tidak berdekatan. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas dan Mujahid.

Kedua : bahwa dia adalah orang-orang musyrik yang jauh di dalam agamanya.

(An-Nukat wal ‘Uyun, jilid 1 halaman 484).

Dalil di atas menerangakan bahwa seorang muslim harus memperbaiki hubungannya dengan Allah dan kepada manusia, bahkan kepada orang-orang kafir sekalipun seorang muslim harus berbuat baik.

Oleh karnanya hendaknya seorang muslim menjauhi dari menzalimi dan menyakiti hati sesama muslim ataupun yang bukan muslim, karena hal itu dilarang di dalam Islam.

Dari Abdullah bin ‘Umar rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ

Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menelantarkannya. (HR. Bukhari, hadist no. 2442).

Untuk itu, jauhilah dari mengghibah, menyakiti,serta menumpahkan darah orang lain, karena semua itu akan dimintai pertnggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun amalan banyak yang dia kerjakan sewaktu di dunia tidak bisa menjaminnya masuk surga, semua itu akan sia-sia belaka, jika dia juga membawa segudang dosa karena sewaktu di dunia pernah menyakiti orang lain dan belum meminta maaf kepada yang bersangkutan.

Jauhilah perbuatan tercela ini dan jika pernah menyakiti atau menzalimi orang lain, segeralah meminta maaf sebelum nanti dimintai pertanggungjawaban di akhirat dan amalan yang dikerjakan sewaktu di dunia menjadi sia-sia karna diberikan kepada orang yang dia sakiti. Na’udzubillah.

Semoga ummat Islam menjauhi sifat tercela ini dan meminta ampun kepada Allah serta berdo’a agar dijauhkan dari jalan-jalan orang yang tersesat.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Hukum Puasa 10 Muharram Saja Tanpa Puasa Sebelum dan Sesudahnya

Puasa Asyura (10 Muharram) hukumnya sunnah bagi setiap muslim yang apabila dikerjakan, maka akan menghapus dosa setahun yang lalu.

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الْفَرِيضَةِ، صَلَاةُ اللَّيْلِ

Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah (Muharram). Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam. (HR. Muslim, hadist no. 1163).

Imam An-Nawawi rohimahullah mengomentari hadist di atas di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

تصريح بأنه أفضل الشهور للصوم

Hadist di atas menjelaskan bahwa Muharram adalah sebaik-baik bulan untuk berpuasa. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 55).

Namun, selain puasa tanggal 10 Muharram, para ulama juga menganjurkan untuk berpuasa pada tanggal 9 atau jika dia tidak sempat berpuasa pada tanggal 9, maka dia berpuasa tanggal 11 Muharram berdasarkan hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Anjuran puasa Tasu’a tanggal 9 Muharram

Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma berkata :

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ» قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa, ada yang mengatakan kepada beliau : Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : Kalau begitu, jika datang tahun depan, kita akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram. Ibnu Abbas berkata : Belum sempat menjumpai Muharram tahun depannya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat. (HR. Muslim, hadist no. 1134).

Imam An-Nawawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

قال الشافعي وأصحابه وأحمد وإسحاق وآخرون يستحب صوم التاسع والعاشر جميعا لأن النبي صلى الله عليه وسلم صام العاشر ونوى صيام التاسع

Imam Syafi’i dan muridnya, Ahmad, Ishaq, dan yang lainnya berkata : Dianjurkan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram berturut-turut, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpusa pada tanggal 10 dan berniat untuk puasa pada tanggal 9. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 12).

Anjuran puasa tanggal 11 Muharram

Imam Ibnu Taimiyah rohimahullah berkata di dalam kitabnya Iqtidha As-Shiroth Al-Mustaqim, Imam Ahmad rohimahullah meriwayatkan dari Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

صوموا يوم عاشوراء وخالفوا فيه اليهود وصوموا قبله يوما أو بعده يوما

Berpuasalah pada hari Asyura (10 Muharram) dan dan selisihilah orang Yahudi. Berpuasalah sehari sebelumnya (9 Muharram) atau sehari setelahnya (11 Muharram). (HR. Ahmad). (Iqtidha As-Shiroth Al-Mustaqim, jilid 1 halaman 283).

Lalu bagaimana jika seorang muslim hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja tanpa puasa tanggal 9 dan 11, bolehkah?

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami rohimahullah berkata di dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj :

وَعَاشُورَاءُ وَلَا بَأْسَ بِإِفْرَادِهِ

Dan puasa Asyura tidak mengapa dikerjakan secara sendirian (tanpa berpuasa sebelum dan sesudahnya). (Tuhfatul Muhtaj, jilid 3 halaman 455).

Lembaga Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah pernah ditanya :

هل يجوز صيام عاشورا يوما واحدا فقط؟

Apakah boleh jika hanya puasa Asyura saja?

يجوز صيام يوم عاشوراء يوما واحدا فقط، لكن الأفضل صيام يوم قبله أو يوم بعده، وهي السنة الثابتة عن النبي صلى الله عليه وسلم بقوله: لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع

Boleh melakukan puasa Asyura saja. Akan tetapi yang lebih utama adalah puasa sehari sebelumnya atau setelahnya. Dan ini merupakan sunnah yang diajarkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau : “Jika saya masih hidup tahun depan, saya akan puasa di tanggal 9 Muharram.” (HR. Ahmad). (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, jilid 10 halaman 401).

Inilah hukum puasa 10 Muharram saja tanpa dibarengi dengan puasa sebelumnya (9 Muharram) dan setelahnya (11 Muharram).

Namun yang lebih utama menurut para ulama di atas adalah berpuasa sehari sebelumnya atau sesudahnya agar tidak sama dengan puasa orang-orang Yahudi, karena orang-orang Yahudi hanya berpuasa pada hari Asyura (10 Muharram) saja dan tidak puasa sebelumnya dan sesudahnya.

Akan tetapi, jika dia hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, maka diperbolehkan oleh para ulama.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Keutamaan Puasa Muharram

Muharram merupakan awal bulan Hijriah dan merupakan kalendernya ummat Islam. Namun bukan hanya sekedar awal bulan saja, di dalam bulan Muharram ada beberapa hari yang disunnahkan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa.

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الْفَرِيضَةِ، صَلَاةُ اللَّيْلِ

Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah (Muharram). Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam. (HR. Muslim, hadist no. 1163).

Imam An-Nawawi rohimahullah mengomentari hadist di atas di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

تصريح بأنه أفضل الشهور للصوم

Hadist di atas menjelaskan bahwa Muharram adalah sebaik-baik bulan untuk berpuasa. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 55).

Lalu kenapa Rasulullah memperbanyak berpuasa pada bulan Sya’ban, bukan Muharram?

Imam An-Nawawi rohimahullah melanjutkan :

وذكرنا فيه جوابين

Telah kami sebutkan ada 2 jawabannya. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 55).

أحدهما لعله إنما علم فضله في آخر حياته

Salah satunya adalah boleh jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui keutamaan banyak berpuasa pada bulan Muharram di akhir hidupnya. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 55).

والثاني لعله كان يعرض فيه أعذار من سفر أو مرض أو غيرهما

Yang kedua, bisa jadi baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki udzur di bulan Muharram seperti safar (bepergian), sakit atau selain keduanya. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 55).

Puasa pada bulan Muharram ada 3 :

1. Puasa Asyura

Dari Abu Qatadah Al-Anshory rodhiyallahu ‘anhu berkata :

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ؟ فَقَالَ: «يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ» قَالَ: وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ؟ فَقَالَ: «يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ»

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Puasa Arafah menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ditanya mengenai keutamaan puasa Asyura? Beliau menjawab : Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu. (HR. Muslim, hadist no. 1162).

Puasa Asyura dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram

2. Puasa Tasu’a (puasa di tanggal 9 Muharram)

Memang, puasa Tasu’a (puasa di tanggal 9 Muharram) ini tidak dilakukan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan jika tahun depan masih hidup, maka beliau akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram. Tapi Allah berkehendak lain, baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal terlebih dahulu sebelum sempat melakukan puasa pada tanggal 9 Muharram.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin melakukan puasa pada tanggal 9 Muharram dalam rangka menyelisihi orang-orang kafir yang juga berpuasa Asyura pada tanggal 10 Muharram. Nah, untuk menyelisihi orang-orang kafir, maka baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharrram di tahun berikutnya.

Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma berkata :

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ» قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa, ada yang mengatakan kepada beliau : Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : Kalau begitu, jika datang tahun depan, kita akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram. Ibnu Abbas berkata : Belum sempat menjumpai Muharram tahun depannya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat. (HR. Muslim, hadist no. 1134).

Imam An-Nawawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

قال الشافعي وأصحابه وأحمد وإسحاق وآخرون يستحب صوم التاسع والعاشر جميعا لأن النبي صلى الله عليه وسلم صام العاشر ونوى صيام التاسع

Imam Syafi’i dan muridnya, Ahmad, Ishaq, dan yang lainnya berkata : Dianjurkan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram berturut-turut, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpusa pada tanggal 10 dan berniat untuk puasa pada tanggal 9. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 12).

Maksudnya adalah sebelum berpuasa pada tanggal 10 Muharram, maka lakukan puasa pada tanggal 9 nya terlebih dahulu dan dilakukan secara berturut-turut. Setelah melakukan puasa pada tanggal 9, besoknya melakukan puasa pada tanggal 10 Muharram.

Kenapa harus berpuasa pada tanggal 9 Muharram?

Imam An-Nawawi rohimahullah melanjutkan :

قال بعض العلماء ولعل السبب في صوم التاسع مع العاشر أن لا يتشبه باليهود في إفراد العاشر

Sebagian ulama berkata : Bisa jadi alasan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram adalah agar tidak menyerupai orang-orang Yahudi yang hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 8 halaman 13).

Nah, inilah alasan kenapa seorang muslim dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram terlebih dahulu, agar tidak menyerupai orang-orang kafir yang hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja.

Lalu bagaimana jika seorang muslim hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja?

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami rohimahullah berkata di dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj :

وَعَاشُورَاءُ وَلَا بَأْسَ بِإِفْرَادِهِ

Dan puasa Asyura tidak mengapa dikerjakan secara sendirian (tanpa berpuasa sebelum dan sesudahnya). (Tuhfatul Muhtaj, jilid 3 halaman 455).

Lembaga Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah pernah ditanya :

هل يجوز صيام عاشورا يوما واحدا فقط؟

Apakah boleh jika hanya puasa Asyura saja?

يجوز صيام يوم عاشوراء يوما واحدا فقط، لكن الأفضل صيام يوم قبله أو يوم بعده، وهي السنة الثابتة عن النبي صلى الله عليه وسلم بقوله: لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع

Boleh melakukan puasa Asyura saja. Akan tetapi yang lebih utama adalah puasa sehari sebelumnya atau setelahnya. Dan ini merupakan sunnah yang diajarkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau : “Jika saya masih hidup tahun depan, saya akan puasa di tanggal 9 Muharram.” (HR. Ahmad) (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, jilid 10 halaman 401).

3. Puasa tanggal 11 Muharram

Lalu bagaimana pendapat ulama tentang puasa di tanggal 11 Muharram sehari setelah puasa Asyura?

Syekh Muhammad Syatha Ad-Dimyathi rohimahullah berkata di dalam kitab I’anatut Thalibin ‘ala Halli Alfaadzi Fathil Mu’in :

(قوله: بل وإن صامه) أي بل يسن صيام الحادي عشر، وإن صام التاسع

(قوله: لخبر فيه) أي لورود خبر في صيامه الحادي عشر مع ما قبله من صيام العاشر والتاسع، وهو ما رواه الإمام أحمد: صوموا يوم عاشوراء، وخالفوا اليهود، وصوموا قبله يوما، وبعده يوما

Perkataan (sekalipun dia telah berpuasa) artinya, dia tetap disunnahkan puasa di tanggal 11 Muharram sekalipun dia telah berpuasa pada tanggal 9 Muharram.

Perkataan (untuk memberitahukan kepadanya) artinya, karena adanya hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan berpuasa pada tanggal 11 setelah puasa tanggal 9 dan 10 Muharram. Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad : berpuasalah kalian pada hari Asyura (10 Muharram), dan selisihilah Yahudi, dan puasalah kalian sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya. (HR. Ahmad). (I’anatut Thalibin ‘ala Halli Alfaadzi Fathil Mu’in, jilid 2 halaman 301).

Jadi, menurut Syekh Muhammad Syatha Ad-Dimyathi rohimahullah, sekalipun dia telah berpuasa pada tanggal 9, maka dia boleh berpuasa di tanggal 11.

Oleh sebab itu seorang muslim bisa berpuasa 3 hari di bulan Muharram, yaitu tanggal 9, 10 dan 11 Muharram.

Namun, jika dia puasa di hari Asyura saja (10 Muharram), maka para ulama di atas mengatakan tidak apa-apa.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Dahsyatnya Keutamaan Puasa 6 hari di Bulan Syawwal

Dari Abi Ayyub Al-Anshory rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

عن أبي أيوب الأنصاري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : ((من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر)) رواه مسلم، بلوغ المرام،كتاب : الصيام، باب : صوم التطوع و ما نهي عن صومه، رقم : ٦٤٤/٢

Barangsiapa yang berpuasa pada bulan ramadhan kemudian dia mengiringinya dengan puasa 6 hari di bulan syawwal maka dia seperti berpuasa sepanjang masa (tahun). (HR. Muslim).

Penjelasan :

Imam As-Shon’ani rohimahullah berkata di dalam kitab Subulus Salaam syarah Bulughul Maroom min Jam’i Adillati Ahkaam :

فيه دليل على استحباب صوم ستة أيام من شوال وهو مذهب جماعة من الآل و أحمد و الشافعي

Bahwa hadist ini adalah dalil disunnahkan nya puasa 6 hari dibulan syawwal dan ini adalah disetujui oleh mazhab jama’ah. (Subulus Salaam syarah Bulughul Maroom min Jam’i Adillati Ahkaam, jilid 2 halaman 177).

Imam As-Shon’ani rohimahullah melanjutkan :

و اعلم أن أجر صومه يحصل لمن صامها متفرقة أو متوالية و من صامها عقيب العيد أو في أثناء الشهر

Dan adapun pahala puasanya adalah baik yang langsung mengiringi dengan puasa atau secara terpisah pisah maka tetap lah sama dan dianggap seperti berpuasa sepanjang masa (tahun).

Beliau rohimahullah melanjutkan : Di dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ibnul Mubaarok bahwasanya dia memilih berpuasa 6 hari pertama di bulan Syawwal, dan diriwayatkan dari Ibnul Mubaarok dia berkata : “Barangsiapa yang berpuasa 6 hari di bulan Syawwal secara terpisah pisah maka boleh hukumnya”.

Dan sebab dia serupa dengan berpuasa sepanjang masa (tahun) adalah karena satu kebaikan akan dibalas dengan 10 kebaikan. Maka Ramadhan sama dengan 10 bulan sedangkan 6 hari di bulan Syawwal sama dengan 2 bulan jadi jika digabungkan maka 12 bulan dan seperti berpuasa sepanjang masa (tahun).

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Cara Melatih Anak Kecil Untuk Berpuasa

Memang pada hakikatnya berpuasa hanya diwajibkan kepada orang Islam yang sudah baligh dan berakal. Namun sebagai orang tua, hendaknya dia mendidik anaknya untuk berpuasa di usia dini, agar ketika sudah dewasa bisa menjalankan ibadah puasa sebagaimana mestinya. Karena masih ada di antara anak-anak kaum muslimin yang ketika sudah baligh dan berakal, dia merasa tidak mampu melaksanakan ibadah puasa, sebab tidak dilatih dari kecil.

Para sahabatpun dahulu melatih anak-anak mereka untuk berpuasa dengan berbagai metode, agar anak tersebut mau berpuasa serta kuat dalam menjalani ibadah puasa yang dia laksanakan tersebut.

Bagaimana cara sahabat mendidik anak mereka berpuasa?

Dari Ar-Rubai binti Mu’awwidz Ibnu ‘Afra berkata :

أَرْسَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ، الَّتِي حَوْلَ الْمَدِينَةِ: «مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا، فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ» فَكُنَّا، بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللهُ، وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الْإِفْطَارِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusannya pada siang hari ‘Asyura (10 Muharam) ke perkampungan kaum Anshar di sekitar Madinah untuk memberitahukan : “Barangsiapa telah berpuasa sejak pagi hari, hendaklah dia menyempurnakan puasanya. Barangsiapa yang pagi harinya tidak berpuasa, maka hendaknya puasa pada sisa harinya.” Maka setelah itu kami berpuasa, dan kami membiasakan anak-anak kecil kami untuk berpuasa insyaAllah. Kami pergi ke Masjid, lalu kami buatkan untuk   mereka (anak-anak) mainan dari kapas yang berwarna. Kalau salah satu di antara mereka menangis karena kelaparan. Kami berikan kepadanya mainan tersebut sampai berbuka puasa. (HR. Muslim, hadist no. 1136).

Imam As-Syaukani rohimahullah mengomentari hadist di atas sebagaimana disebutkan di dalam kitabnya Nailul Author :

الحديث استدل به على أن عاشوراء كان فرضا قبل أن يفرض رمضان، وعلى أنه يستحب أمر الصبيان بالصوم للتمرين عليه إذا أطاقوه وقد قال باستحباب ذلك جماعة من السلف منهم ابن سيرين والزهري والشافعي وغيرهم. واختلف أصحاب الشافعي في تحديد السن التي يؤمر الصبي عندها بالصيام، فقيل: سبع سنين، وقيل: عشر، وبه قال أحمد وقيل: اثنتا عشرة سنة، وبه قال إسحاق. وقال الأوزاعي: إذا أطاق صوم ثلاثة أيام تباعا لا يضعف فيهن حمل على الصوم، والمشهور عن المالكية أن الصوم لا يشرع في حق الصبيان

Hadist ini menjadi dalil bahwa puasa Asy-Syura itu wajib sebelum diwajibkannya Ramadhan. Dan juga disunnahkan memerintahkan anak kecil untuk berpuasa untuk melatihnya apabila dia sanggup menahan. Dan dikatakan ; Hal itu disunnahkan oleh banyak ulama salaf, di antara mereka adalah Ibnu Sirin, Az-Zuhairi, Asy-Syafi’i dan selain mereka. Dan ulama mazhab Syafi’i berbeda pendapat tentang batasan umur anak yang diperintahkan untuk berpuasa. Dikatakan : 7 tahun, dikatakan juga 10 tahun, dan ini adalah perkatan Imam Ahmad. Dikatakan : 12 tahun, dan ini perkataan Ishaq. Imam Al-Auza’i berkata : Apabila dia telah sanggup berpuasa 3 hari berturut-turut, tidak melemahkannya ketika berpuasa. Dan Adapun pendapat yang terkenal di kalangan ulama mazhab Maliki adalah bahwa puasa tidak disyari’atkan untuk anak yang masih kecil. (Nailul Author, jilid 4 halaman 235).

Oleh karnanya, melatih anak kecil sangatlah perlu dan tentunya dengan metode-metode yang benar dalam mendidiknya.

Beberapa metode mendidik dan melatih anak untuk berpuasa adalah :

1. Menerangkan kepada sang anak hakikat puasa dan keutamaan berpuasa. Dan menjelasakan bahwa dengan berpuasa, seseorang bisa memperoleh surga.

2. Mengajak anak untuk sahur di akhir malam, agar mengurangi rasa laparnya di siang hari.

3. Mengajaknya jalan-jalan di siang atau sore harinya untuk sekedar menyenangkan hatinya dan agar dia melupakan rasa lapar saat berpuasa.

4. Janjikan kepadanya hadiah jika puasanya full ataupun janjikan hadiah dia bisa berpuasa beberapa hari dan sebagainya.

5. Mengajak anak berpuasa harus pelan-pelan, misalnya : Hari ini puasa sampai jam 11 dulu, besok sampai zuhur, dan besoknya lagi full dari subuh sampai Maghrib kalo dia kuat. Artinya bertahap agar dia tidak terkejut dalam menjalankan ibadah puasa tersebut.

6. Memasakkan makanan kesukaan sang anak jika puasanya full.

7. Serta orang tua selalu menyemangatinya dalam menjalankan ibadah puasa, jika sekiranya dia merasa lapar ketika berpuasa, maka hibur dia dan jelaskan kembali keutamaan berpuasa, orang yang berpuasa mendapat pahala dan bisa masuk surga, ataupun menyuruhnya tidur agar dia tidak terlalu merasa lapar saat puasa ataupun melakukan hal-hal yang lain yang sekiranya sang anak bisa melupakan rasa lapar saat berpuasa.

Itulah beberapa tips yang bisa dilakukan untuk melatih anak berpuasa, dan tentunya semua ada tahapan-tahapannya. Jika sang anak benar-benar tidak kuat, maka jangan dipaksa, biarkan terlebih dahulu dia berbuka, besoknya coba lagi sampai dia berhasil melaksanakan puasanya full dari terbit fajar sampai adzan Maghrib.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Berbohong Saat Puasa, Apakah Membatalkan Puasanya?

Puasa pada bulan Ramadhan adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah yang sudah baligh dan berakal. Menahan dari makan dan minum, hawa nafsu, serta semua yang bisa membatalkan puasa.

Namun, puasa bukan hanya sekedar menahan makan dan minum serta syahwat, ada hal-hal yang perlu dijaga oleh seorang muslim dan muslimah yang walaupun tidak membatalkan puasa, tapi bisa merusak pahala puasa, seperti berbohong, ghibah, mencuri dan sebagainya. Semua perbuatan itu memang tidak membatalkan puasa menurut para ulama, namun bisa merusak pahala puasa. Jika pahala puasa rusak, maka dia akan rugi, karena dia menahan lapar dari pagi sampai petang, namun pahala puasanya rusak gara-gara dia melakukan maksiat, tentunya hal ini harus dihindari oleh seorang muslim dan muslimah.

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan. (HR. Bukhari, hadist no. 1903).

Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahullah menuqil perkataan Imam Al-Baidhowi, beliau berkata :

وَقَالَ الْبَيْضَاوِيُّ لَيْسَ الْمَقْصُودُ مِنْ شَرْعِيَّةِ الصَّوْمِ نَفْسَ الْجُوعِ وَالْعَطَشِ بَلْ مَا يَتْبَعُهُ مِنْ كَسْرِ الشَّهَوَاتِ وَتَطْوِيعِ النَّفْسِ الْأَمَّارَةِ لِلنَّفْسِ الْمُطْمَئِنَّةِ فَإِذَا لَمْ يَحْصُلْ ذَلِكَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ نَظَرَ الْقَبُولِ

Imam Al-Baidhowi berkata : Bukanlah maksud syari’at puasa adalah menahan lapar dan dahaga saja. Dalam puasa haruslah bisa mengendalikan syahwat dan menaklukkan diri agar memiliki hati yang tenang. Maka apabila dia tidak melakukan seperti itu, maka Allah tidaklah menerima puasanya. (Fathul Baari, jilid 4 halaman 117).

Perkataan ulama jika seorang muslim bermaksiat kepada Allah seperti berbohong, ghibah dan lain sebagainya, maka puasanya rusak, tidak sampai batal.

Syekh Hisamuddin berkata di dalam kitabnya Fatawa Hisam :

وخلاصة الأمر أن تزكية الأنفس من مقاصد الصوم وأن فعل المعاصي والآثام يخل بذلك ولكنه لا يبطل الصيام بل ينقص الأجر والثواب. فعلى الصائم أن يجتنب كل المحرمات ويلتزم بكل ما أمر الله سبحانه وتعالى به حتى تتحقق فيه معاني الصوم الحقيقية، وإن لم يفعل ذلك فإنه لا ينتفع بصومه ويكون نصيبه من صومه مجرد الجوع والعطش، والعياذ بالله

Kesimpulan perintah bahwa menyucikan jiwa dari tujuan puasa, bahwa melakukan kemaksiatan dan dosa melanggar ketentuan puasa, akan tetapi tidak membatalkan puasa, hanya saja mengurangi pahala. Orang yang berpuasa harus menjauhi setiap yang diharamkan dan wajib mengerjakan setiap yang Allah perintahkan, hingga terealisasi makna puasa yang sesungguhnya. Dan jika dia tidak melakukan itu, maka puasanya tidak bermanfaat, dan puasa yang dia lakukan hanya semata-mata menahan lapar dan haus saja. Semoga Allah lindungi kita dari semua itu. (Fatawa Hisam, jilid 9 halaman 69).

Beliau (Syekh Hisamuddin) juga menuqil perkataan Imam An-Nawawi rohimahullah, beliau berkata :

قال الإمام النووي: [وقول المصنف ينبغي للصائم أن ينزه صومه عن الغيبة والشتم، معناه يتأكد التنزه عن ذلك في حق الصائم أكثر من غيره للحديث وإلا فغير الصائم ينبغي له ذلك أيضاً ويؤمر به في كل حال، والتنزه التباعد فلو اغتاب في صومه عصى ولم يبطل صومه عندنا وبه قال مالك وأبو حنيفة وأحمد والعلماء كافة إلا الأوزاعي فقال يبطل الصوم بالغيبة ويجب قضاؤه] المجموع 6/357.وقال السفاريني: الفروع: ولا يفطر بالغيبة ونحوها، نقله الجماعة اتفاقاً. وقال الإمام أحمد رضي الله عنه: لو كانت الغيبة تفطر ما كان لنا صوم. وذكره الموفق إجماعاً، لأن فرض الصوم بظاهر القرآن الإمساك عن الأكل والشرب والجماع، وظاهره صحته إلا ما خصه دليل

Imam An-Nawawi berkata : (Perkataan pengarang, seharusnya bagi orang yang berpuasa menjauhkan dirinya dari Ghibah dan Menghina (menyumpah serapah). Artinya : dia meyakinkan dirinya untyuk menjauhi itu untuk kebaikan dia berpuasa lebih banyak manfaatnya dari yang lainnya berdasarkan hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sekalipun dia tidak sedang mengerjakan puasa, maka dia juga harus menjauhi hal itu, dan dia diperintahkan untuk menjauhi hal-hal yang buruk tersebut di setiap waktu. Dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa merusak puasa, sekalipun dia memfitnah dalam keadaan berpuasa, durhaka, maka puasanya tidak batal di sisi kami, dan ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan ulama seluruhnya, kecuali Imam Al-Auza’i, maka dia berkata : puasanya batal apabila dia melakukan ghibah dan wajib baginya mengqodho’ puasanya. (Al-Majmu’, jilid 6 halaman 357). Imam As-Safarini berkata : Tidak membatalkan puasa apabila dia melakukan ghibah dan semacam itu, dan ini dinuqil dari perkataan banyak ulama dan menjadi kesepakatan. Imam Ahmad rodhiyallahu ‘anhu berkata : Seandainya ghibah itu membatalkan puasa, lebih-lebih lagi tidur di menurut kami. Dan disebutkan ada kesepakatan ulama, kewajiban puasa yang tertulis di dalam Al-Qur’an adalah menahan dari makan, minum dan jima’. Itulah zohirnya yang tertulis di dalam Al-Qur’an, kecuali ada dalil yang mengkhususkannya. (Fatawa Hisam, jilid 9 halaman 69).

Oleh karnanya, jauhilah perbuatan-perbuatan yang tercela ketika sedang puasa, agar tidak merusak pahala puasa. Begitu juga di luar puasa, maka dia tetap harus menjauhi perbuatan-perbuatan tercela, karena semua itu tidak disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi