Wanita Harus Minta Izin Suami Jika Melakukan Puasa Sunnah

Mungkin di beberapa kalangan wanita merasa bahwa ketika dia ingin melakukan sesuatu, sekalipun sudah berumah tangga, maka dia bebas melakukan sekehendaknya, baik melakukan aktivitas rumah ataupun berupa ibadah. Namun itulah indahnya Islam, di mana Islam mengajarkan nilai-nilai luhur dan adab kepada setiap pemeluknya, tak terkecuali adab bagi seorang istri kepada suaminya.

Ketika seorang wanita menikah, maka dalam pengawasan suaminya, artinya dia ingin melakukan apapun, ingin keluar rumah, ataupun ingin melakukan apapun yang nanti dipertanyakan oleh suaminya, maka dianjurkan untuk meminta izin kepada suaminya. Salah satu ibadah yang dianjurkan kepada seorang wanita untuk meminta izin kepada suaminya adalah apabila seorang wanita hendak puasa sunnah. Seperti puasa sunnah Syawwal, Puasa Senin Kamis, Puasa Ayyamul Bidh dan puasa sunnah lainnya.

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya. Dan tidak halal bagi seorang wanita memasukkan seseorang ke rumahnya, kecuali atas izin suaminya. (HR. Bukhari, hadist no. 5195).

Imam Syihabuddin rohimahullah mengomentari hadist di atas sebagaimana disebutkan di dalam kitabnya Irsyadus Saari Lisyarhi Shahihil Bukhari :

لأن حقه في الاستمتاع بها في كل وقت، فلو كان مريضًا بحيث لا يستطيع الجماع أو مسافرًا جاز لها

Karena hak seorang suami menikmati rasa senangnya kepada istri setiap waktu. Maka jikalau suami sakit sedemikian rupa yang menyebabkan dia tidak mampu jima’ atau bepergian, maka boleh bagi seorang istri tersebut melaksanakan puasa sunnah. (Irsyadus Saari Lisyarhi Shahihil Bukhari, jilid 8 halaman 96).

Ketika seorang suami berada di rumah, baik libur kerja ataupun yang lainnya, maka seorang istri hendaknya meminta izin apabila hendak melakukan puasa sunnah, karena suaminya berada di rumah, dan tentunya seorang suami apabila berada di rumah, dia menginginkan bersenang-senang dengan istrinya, baik berupa jima’ dan lain sebagainya. Jika seorang istri melakukan puasa sunnah dan suaminya tidak tau, kemudian misalnya sang suami ingin melakukan jima’, maka akan membuat urusan menjadi rumit, kecuali istrinya menjelaskan bahwa dia sedang berpuasa dan suaminya mau mengerti. Nah, kejadian seperti inilah yang dimaksud oleh Rasulullah kenapa seorang istri harus meminta izin terlebih dahulu untuk melaksanakan puasa sunnah.

Kenapa seorang wanita tidak boleh sembarangan memasukkan orang ke dalam rumahnya?

Imam Ibnu Bathol rohimahullah menuqil perkataan Al-Muhlib di dalam kitabnya Syarah Shahih Bukhari Libni Bathol, beliau berkata :

قال المهلب: قوله: (لا تأذن فى بيت زوجها إلا بإذنه) ، يعنى لا لرجل ولا لامرأة يكرهها زوجها، فإن ذلك يوجب سوء الظن، ويبعث الغيرة التى هى سبب القطيعة

Al-Muhlib berkata : Sabda Rasulullah (tidak halal bagi seorang wanita memasukkan seseorang ke rumahnya, kecuali atas izin suaminya), artinya tidak laki-laki, tidak perempuan yang menjadikan suaminya tidak suka akan hal itu, karena akan menimbul su’udzon, dan membakar api cemburu yang menyebabkan perpecahan dalam rumah tangga. (Syarah Shahih Bukhari Libni Bathol, jilid 7 halaman 317).

Oleh sebab itu seorang wanita juga apabila ingin memasukkan teman perempuannya ke rumah misalnya, maka dianjurkan meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya, karena dikhawatirkan suaminya tidak mau diganggu ataupun semisalnya. Apalagi sampai memasukkan laki-laki yang bukan mahrom ke rumahnya, na’udzubillah, ini sudah jelas-jelas haram hukumnya dan hendaknya seorang wanita menjauhi hal ini dan menutup rapat semua celah yang berhubungan dengan laki-laki yang bukan mahrom.

Bagaimana jika seorang suami tidak membolehkan mengqadha puasa Ramadhan? Bolehkah taat kepadanya?

Imam As-Shon’ani rohimahullah berkata di dalam kitabnya Subulus Salam :

فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْوَفَاءَ بِحَقِّ الزَّوْجِ مِنْ التَّطَوُّعِ بِالصَّوْمِ وَأَمَّا رَمَضَانُ فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ وَإِنْ كَرِهَ الزَّوْجُ وَيُقَاسُ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ فَلَوْ صَامَتْ النَّفَلَ بِغَيْرِ إذْنِهِ كَانَتْ فَاعِلَةً لِمُحَرَّمٍ

Ini adalah dalil bahwa seorang istri harus loyalitas dalam memenuhi kewajiban suami dengan tidak berpuasa sunnah. Adapun puasa Ramadhan, maka melaksakannya adalah wajib, dan jika seorang suami tidak menyukainya, maka diqiyaskan kepada Qadha puasa. Jika dia berpuasa sunnah tanpa izin suaminya, maka ketika dia taat pada perintah suaminya dan tidak mengerjakan puasa Ramadhan, maka tidak diperbolehkan. (Subulus Salam, jilid 1 halaman 585).

Islam adalah agama yang sempurna dan tentunya agama yang diridhoi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika Islam memerintahkan atau melarang sesuatu kepada setiap pemeluknya, pasti ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dari kejadian tersebut.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *