Bolehkah Mengambil Bunga Bank dan Menyalurkannya Untuk Kepentingan Umum?

Perlu diketahui, bahwa bunga Bank itu nama lain dari riba, dan setiap riba haram dimakan oleh seorang muslim.

Allah berfirman :

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah : 275).

Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali Imran : 130).

Bagaimana jika seseorang memakan harta riba dan belum meninggalkan riba?

Dari Jabir rodhiyallahu ‘anhu berkata :

لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ»، وَقَالَ: «هُمْ سَوَاءٌ»

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang menyerahkan riba, pencatat riba dan dua orang saksinya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan : “Mereka semua sama.” (HR. Muslim, hadist no. 1598).

Imam An-Nawawi rohimahullah mengomentari hadist di atas di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

هذا تصريح بتحريم كتابة المبايعة بين المترابيين والشهادة عليهما وفيه تحريم الإعانة على الباطل والله أعلم

Ini adalah pernyataan bahwa haramnya menulis janji setia antara orang yang berhutang dan orang yang meminjamkan uang, dan larangan bersaksi untuk keduanya. Dan juga diharamkan menolong atas kebatilan. Wallahu a’lam. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 11 halaman 26).

Dalil-dalil di atas menunjukkan haramnya memakan harta riba dan haramnya menjadi saksi untuk orang-orang yang bertransaksi dan di dalamnya terdapat riba.

Jika harta riba haram, bagaimana dengan bunga bank? Apakah dibiarkan saja ataukah boleh diambil dan disalurkan untuk kepentingan umum?

Dalam hal ini para ulama mengatakan bolehnya mengambil harta haram, kemudian harta haram tersebut diberikan untuk kepentingan umum.

1. Imam An-Nawawi rohimahullah menuqil perkataan Imam Al-Ghazali rohimahullah tentang penggunaan harta haram sebagaimana disebutkan di dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab :

قَالَ الْغَزَالِيُّ إذَا كَانَ مَعَهُ مَالٌ حَرَامٌ وَأَرَادَ التَّوْبَةَ وَالْبَرَاءَةَ مِنْهُ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَالِكٌ مُعَيَّنٌ وَجَبَ صَرْفُهُ إلَيْهِ أَوْ إلَى وَكِيلِهِ فَإِنْ كَانَ مَيِّتًا وَجَبَ دَفْعُهُ إلَى وَارِثِهِ وَإِنْ كَانَ لِمَالِكٍ لَا يَعْرِفُهُ وَيَئِسَ مِنْ مَعْرِفَتِهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَصْرِفَهُ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ كَالْقَنَاطِرِ وَالرُّبُطِ وَالْمَسَاجِدِ وَمَصَالِحِ طَرِيقِ مَكَّةَ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يَشْتَرِكُ الْمُسْلِمُونَ فِيهِ وَإِلَّا فَيَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى فَقِيرٍ أَوْ فُقَرَاءَ

Imam Al-Ghazali berkata : Jika dia memiliki harta haram dan ingin bertaubat dan berlepas dari harta tersebut maka jika harta tersebut ada pemiliknya maka wajib untuk dikembalikan kepadanya atau kepada wakilnya, jika pemiliknya telah meninggal maka harta tersebut wajib diserahkan kepada ahli warisnya. Dan jika pemiliknya tidak diketahui dan dia sudah putus asa untuk mengetahui pemiliknya maka hendaknya dia salurkan harta tersebut kepada kemaslahatan-kemaslahatan umum kaum muslimin, seperti pembuatan jembatan-jembatan, pondok-pondok, masjid-masjid, kepentingan jalan  Makkah dan yang semisalnya yang mana kaum muslimin sama-sama menggunakannya. Jika tidak maka hendaknya dia sedekahkan kepada seorang faqir atau sekelompok faqir. (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, jilid 9 halaman 351).

2. Imam Ibnu Taimiyah rohimahullah berkata di dalam kitabnya As-Siyasah As-Syar’iyyah :

إذَا كَانَتْ الْأَمْوَالُ قَدْ أُخِذَتْ بِغَيْرِ حَقٍّ، وَقَدْ تَعَذَّرَ رَدُّهَا إلَى أَصْحَابِهَا، كَكَثِيرٍ مِنْ الْأَمْوَالِ السُّلْطَانِيَّةِ؛ فَالْإِعَانَةُ عَلَى صَرْفِ هَذِهِ الْأَمْوَالِ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ كَسَدَادِ الثُّغُورِ، وَنَفَقَةِ الْمُقَاتِلَةِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ: مِنْ الْإِعَانَةِ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى؛ إذْ الْوَاجِبُ عَلَى السُّلْطَانِ فِي هَذِهِ الْأَمْوَالِ -إذَا لَمْ يُمْكِنْ معرفة أصحابها وردها عَلَيْهِمْ، وَلَا عَلَى وَرَثَتِهِمْ -أَنْ يَصْرِفَهَا- مَعَ التَّوْبَةِ إنْ كَانَ هُوَ الظَّالِمَ- إلَى مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ. هَذَا هُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ، كَمَالِكٍ، وَأَبِي حَنِيفَةَ، وَأَحْمَدَ، وَهُوَ مَنْقُولٌ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ، وَعَلَى ذَلِكَ دَلَّتْ الْأَدِلَّةُ الشَّرْعِيَّةُ، كَمَا هُوَ مَنْصُوصٌ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ

Jika harta didapat dengan cara yang tidak benar dan tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya sebagaimana kebanyakan harta para sulthon, maka membantu untuk menyalurkan harta-harta ini kepada perkara-perkara yang merupakan kemaslahatan kaum muslimin, seperti pembayaran untuk penjagaan di daerah-daerah perbatasan, untuk nafkah para mujahidin dan yang semisalnya, maka termasuk dalam menolong untuk perbuatan kebajikan dan ketaqwaan. Karena yang wajib bagi sulthon terhadap harta-harta tersebut jika tidak mampu mengetahui para pemilik harta tersebut dan tidak mampu untuk mengembalikan kepada mereka dan kepada para ahli warisnya, maka hendaknya harta tersebut disalurkan untuk kemaslahatan kaum muslimin, tentunya disertai taubat jika sang shulton memang dzolim. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama seperti Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad, dan pendapat ini dinukil lebih dari seorang sahabat dan telah ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i”, seperti yang dinyatakan di tempat yang lain. (As-Siyasah As-Syar’iyyah, jilid 1 halaman 40).

Oleh sebab itu para ulama menyalurkan harta haram untuk kepentingan umum. Begitu pula dengan bunga Bank, boleh diambil oleh seorang muslim dalam rangka menyalurkannya untuk kepentingan umum, bukan untuk diberikan kepada keluarganya, karena memakan harta rib aitu haram hukumnya di dalam Islam. Namun harta tersebut boleh disalurkan untuk kepentingan umum.

Kenapa bunga Bank harus diambil? Karena jika dibiarkan saja, maka bisa saja pihak Bank menggunakan untuk kepentingan yang dilarang di dalam Islam seperti menyumbang untuk tempat-tempat yang memang dilarang di dalam Islam. Tentunya sebelum mudorot itu terjadi, maka hendaknya dicegah terlebih dahulu.

Ada sebuah qoidah ushul fiqh menyebutkan :

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Menolak kemudorotan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.

Artinya, daripada mereka gunakan untuk sesuatu yang dilarang di dalam Islam, lebih baik uang riba tersebut diambil dan kemudian disalurkan untuk kepentingan umum.

Apakah dengan diberikan untuk kepentingan umum bisa mendapatkan pahala?

Ada sebuah qoidah ushul fiqh menyebutkan :

ما حرم اخذه حرم اعطاؤه

Sesuatu yang haram diambil, maka haram pula memberikannya.

Artinya mengambil uang riba itu haram, namun para ulama mengatakan boleh disalurkan kepada kepentingan umum. Namun untuk masalah pahala, apakah mungkin memberikan harta haram bernilai pahala? Zohirnya kan mana mungkin Allah memberi pahala untuk harta haram yang diberikan kepada kepentingan umum. Hanya saja memberikan untuk kepentingan umum atas dasar mengembalikan uang yang menjadi milik umum, itu saja. Karena jika diawal sudah diharamkan, mana mungkin akan mendapatkan pahala. Akan tetapi tentunya semua atas kehendak Allah, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Lalu apa Hukum Shalat di Masjid yang dibangun dengan harta haram tersebut? Boleh ataukah dilarang?

Lajnah Daimah ditanya mengenai hal ini, berikut Fatwa Lajnah Daimah :

Pertanyaan :

ما حكم من صلى بمسجد بناؤه كسب غنائه -أي المطربة أو المغني الذي يغني في الأفراح والإعلام- ويكسب من غنائه أموالا كثيرة، وبنى من هذه الأموال مسجدا، فهل تصح صلاته فيه أم لا؟

Apa hukum sholat di masjid yang dibangun dari hasil nyanyian –yaitu dengan alat muslik, atau penyanyi yang bernyanyi di acara-acara pesta atau di TV- dan sang penyanyi memperoleh harta yang yang banyak dari hasil nyanyiannya kemudian dia membangun masjid dengan harta tersebut, apakah sah sholat di masjid tersebut?

Jawaban :

الصلاة في هذا المسجد صحيحة وأما الكسب بالغناء وآلات اللهو فمحرم وإثمه على صاحبه. وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Sholat di masjid tersebut sah, adapun penghasilan dari nyanyian dan alat-alat musik adalah haram dan dosanya kembali kepada pelakunya. Hanya Allah saja yang memberikan hidayah dan shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad, keluarganya dan sahabatnya. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, jilid 6 halaman 245).

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *