Benarkah Makan dan Minum Sambil Berdiri dilarang?

Banyak di antara kaum muslimin yang bersikap keras apabila seseorang makan sambil berdiri dan mencela dengan celaan yang bermacam-macam perbuatan seperti ini. Namun ternyata para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini disebabkan beberapa dalil yang melarang dan menunjukkan bahwa baginda Rasulullah ﷺ makan dan minum sambil berdiri.

A. Dalil yang melarang.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا، فَمَنْ نَسِيَ فَلْيَسْتَقِئْ

Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia muntahkan. (HR. Muslim, hadist no. 2026).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا

Nabi sungguh melarang dari minum sambil berdiri. (HR. Muslim hadist no. 2024).

B. Dalil yang membolehkannya.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,

سَقَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ قَائِمًا، وَاسْتَسْقَى وَهُوَ عِنْدَ الْبَيْتِ

Aku memberi minum kepada Rasulullah dari air zam-zam, lalu beliau minum sambil berdiri. Dan beliau meminta minum Ketika beliau berada di rumahnya. (HR. Muslim hadist no. 2027).

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْرَبُ قَائِمًا وَقَاعِدًا

Aku pernah melihat Rasulullah minum sambil berdiri, begitu pula pernah dalam keadaan duduk. (HR. At-Tirmidzi hadist no. 1883).

Ketika kita membaca hadist-hadist di atas, seakan-akan saling kontradiksi antara satu dan yang lainnya, ada hadist yang melarang dan ada juga hadist yang membolehkannya karena baginda Rasulullah ﷺ pernah minum sambil berdiri. Berikut komentar para ulama mengenai hukumnya dan menyikapi hadist di atas.

1. Pendapat Imam An-Nawawi

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

وَالصَّوَابُ فِيهَا أَنَّ النَّهْيَ فِيهَا مَحْمُولٌ عَلَى كَرَاهَةِ التَّنْزِيهِ وَأَمَّا شُرْبُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا فَبَيَانٌ للجواز فلا اشكال ولاتعارض وَهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ يَتَعَيَّنُ الْمَصِيرُ إِلَيْهِ وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ نَسْخًا أَوْ غَيْرَهُ فَقَدْ غَلِطَ غَلَطًا فَاحِشًا وَكَيْفَ يُصَارُ إِلَى النَّسْخِ مَعَ إِمْكَانِ الْجَمْعِ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ لَوْ ثَبَتَ التَّارِيخُ وَأَنَّى لَهُ بِذَلِكَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ فَإِنْ قِيلَ كَيْفَ يَكُونُ الشُّرْبُ قَائِمًا مَكْرُوهًا وَقَدْ فَعَلَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَالْجَوَابُ أَنَّ فِعْلَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ بيانا للجواز لايكون مَكْرُوهًا بَلِ الْبَيَانَ وَاجِبٌ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dan yang benar dalam masalah ini, bahwa larangan minum sambil berdiri hukumnya makruh tanzih (lebih condong kepada boleh). Adapun hadist yang menunjukkan Nabi  minum sambil berdiri, itu menunjukkan bolehnya. Sehingga tidak ada kerancuan dan kontradiksi (saling bertentangan) sama sekali antara dalil-dalil yang ada, dan ini sebagaimana yang telah kami sebutkan dengan menetapkan menjadi pendapat akhir kami. Dan adapun yang mengklaim bahwa adanya penghapusan dalil atau selainnya, maka dia telah keliru dengan kekeliruan yang tidak wajar. Bagaimana mungkin menjadikan dalil menjadi mansukh jika masih bisa menggabungkan beberapa hadist, sekalipun telah ditetapkan dalil yang dahulu dan belakangan, dan adapun mengenai itu hanya Allah yang mengetahui. Dan jika dikatakan bagaimana mungkin minum sambil berdiri itu makruh, sedangkan Rasulullah melakukan itu, maka jawabnya, “bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah menunjukkan akan kebolehannya bukan makruh.” Dan wajib bagi Rasulullah menjelaskan hukum yang berkaitan dengan apapun.[1]

2. Pendapat Al-Maziri

Imam Ibnu Hajar rahimahullah menuqil pendapat Al-Maziri sebagaimana disebutkan di dalam kitabnya Fathul Baari,

قَالَ الْمَازِرِيُّ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي هَذَا فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى الْجَوَازِ وَكَرِهَهُ قَوْمٌ

Al-Maziri berkata, “para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini.” Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat makan dan minum sambil berdiri hukumnya boleh. Sedangkan Sebagian kelompok lainnya mengatakan makruh.[2]

Loh, kan ada hadist yang menyatakan bahwa jika seseorang minum dengan berdiri maka harus dimuntahkan, berarti hadist ini kan menunjukkan haramnya makan dan minum sambil berdiri. Hadistnya adalah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا، فَمَنْ نَسِيَ فَلْيَسْتَقِئْ

Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia muntahkan. (HR. Muslim, hadist no. 2026).

Imam Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari hadist ini di dalm kitabnya Fathul Baari,

وَالْأَمْرُ بِالِاسْتِقَاءَةِ مَحْمُولٌ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ فَيُسْتَحَبُّ لِمَنْ شَرِبَ قَائِمًا أَنْ يَسْتَقِيءَ لِهَذَا الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ الصَّرِيحِ فَإِنَّ الْأَمْرَ إِذَا تَعَذَّرَ حَمْلُهُ على الوجوب حُمِلَ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ

Dan adapun dalil yang memerintahkan untuk memuntahkan ketika seseorang minum sambil berdiri menunjukkan dianjurkannya, bukan wajib.  Artinya, disunnahkan bagi yang minum sambil berdiri untuk memuntahkan yang diminum berdasarkan penunjukkan tegas dari hadits yang shahih ini. Karena jika sesuatu tidak mampu dibawa ke makna wajib, maka dibawa ke makna sunnah.[3]

Itukan hanya hadist tentang minum saja, tidak menunjukkan tentang makan, berarti boleh dong makan sambil berdiri?

Di dalam ilmu fiqih mengenal istilah qiyas (analogi). Dan salah satu rukun qiyas adalah Al-Illat, yaitu adanya kesamakan sifat hukumnya.

Nah, antara makan dan minum memiliki sifat hukum yang sama. Jika seseorang makan tentunya dia akan minum karena dia bisa tersedak jika tidak minum, begitu pula jika seseorang minum, terkadang berawal dari dia makan, keduanya saling berkaitan. Maka keduanya memiliki sifat hukum yang sama sehingga bisa diqiyaskan. Dan hukum makan sambil berdiri sebagaimana hukum minum sambil berdiri.

Semoga bermanfaat.

Allahu A’alam

***

Penulis: Fastabiqul Randa


[1] Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 13 halaman 195

[2] Fathul Baari, jilid 10 halaman 82

[3] Fathul Baari, jilid 10 halaman 83

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *