Haruskah Membaca Ta’awudz saat Mengutip Ayat Alquran?

Membaca ta’awudz (‘auudzubillahi minas syaithanir rajiim) sebelum membaca Alquran adalah hal yang masyruu’(disyariatkan) berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’aalaa

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ 

“Apabila kamu membaca Alquran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk” (An Nahl: 98)

Al Imam At Thabari menafsirkan ayat ini dan berkata,

يقول تعالى ذكره لنبيه محمد صلى الله عليه وسلم: وإذا كنت يا محمد قارئًا القرآن، فاستعذ بالله من الشيطان الرجيم. 

Allah ta’aalaa berfirman mengingatkan nabi-Nya Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, “Jika engkau ya Muhammad membaca Alquran, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk” (jaami’ul bayaan ‘an ta’wiil aayatil quran jilid 4 hal 557 cetakan muassasah ar risaalah)

Hukum ini berlaku umum untuk umat nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam juga.

Sedangkan Al Imam Al Qurthubi menafsirkan ayat ini dan berkata,

قوله تعالى : فإذا قرأت القرآن فاستعذ بالله من الشيطان الرجيم فيه مسالة واحدة : وهي أن هذه الآية متصلة بقوله : ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء فإذا أخذت في قراءته فاستعذ بالله من أن يعرض لك الشيطان فيصدك عن تدبره والعمل بما فيه ; وليس يريد استعذ بعد القراءة ; بل هو كقولك : إذا أكلت فقل بسم الله ; أي إذا أردت أن تأكل

 “Dan Firman Allah ta’ala (jika kau membaca Alquran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk) di dalamnya ada satu permasalahan yang berhubungan dengan firman-Nya (Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu) yaitu jika engkau mulai membaca Alquran maka berlindunglah kepada Allah dari setan yang akan menghalangimu dari mentadabburi Alquran dan mengamalkannya, dan tidaklah (Allah) inginkan bacaan (ta’awudz) setelah membaca (Alquran), bahkan hal itu seperti engkau berkata jika engkau makan maka bacalah basmallah yaitu jika engkau hendak makan” (Al Jaami’ li ahkaam Al Quran jilid 12 hal. 425 cetakan muassasah ar risaalah)

Dari sini dapat kita ketahui bahwa sebelum membaca Alquran disyariatkan untuk membaca ta’awudz. Lalu bagaimana jika seseorang sebatas mengutip satu ayat saja untuk berdalil ketika ceramah atau khutbah?

Ada beberapa riwayat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau mengutip ayat, dan ini merupakan sunah fi’liyyah yang menjadi hujjah untuk diikuti, di antaranya riwayat:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( قِيلَ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ : ( ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ يُغْفَرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ ) فَبَدَّلُوا ، فَدَخَلُوا الْبَابَ يَزْحَفُونَ عَلَى أَسْتَاهِهِمْ ، وَقَالُوا : حَبَّةٌ فِي شَعَرَةٍ ) 

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “dikatakan pada bani Israil (mengutip ayat Alquran)

(ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ يُغْفَرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ)

masukilah pintu gerbangnya dengan bersujud, dan katakanlah ampunilah dosa-dosa kami (hiththah), niscaya Dia akan mengampuni dosa-dosa kalian”. Lalu mereka memasuki pintu itu dan tidak mengerjakan apa yang telah diperintahkan kepada mereka seraya merangkak di atas pantat-pantat mereka dan mereka berkata: ‘Hiththah adalah Habbah (biji) dalam tepung.” (HR. Al Bukhari 4119 Muslim 3015)

Dan riwayat:

كَانَ أَهْلُ الكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالعِبْرَانِيَّةِ ، وَيُفَسِّرُونَهَا بِالعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الإِسْلاَمِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الكِتَابِ وَلا تُكَذِّبُوهُمْ، وَقُولُوا: (آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا)

“Orang-orang ahlul kitab (Yahudi) membaca Taurat dengan bahasa Ibrani, lantas mereka menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada orang-orang Islam. Maka Rasülulläh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Jangan kalian percayai ahlul kitab, jangan juga kalian dustakan mereka, dan ucapkanlah (mengutip ayat), “kami beriman pada Alläh dan pada apa yang diturunkan pada kami” (HR. Al Bukhari 4485)

Dan riwayat:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( يَجِيءُ نُوحٌ وَأُمَّتُهُ ، فَيَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى ، هَلْ بَلَّغْتَ ؟ فَيَقُولُ نَعَمْ أَيْ رَبِّ ، فَيَقُولُ لِأُمَّتِهِ : هَلْ بَلَّغَكُمْ ؟ فَيَقُولُونَ لاَ ، مَا جَاءَنَا مِنْ نَبِيٍّ ، فَيَقُولُ لِنُوحٍ : مَنْ يَشْهَدُ لَكَ؟ فَيَقُولُ : مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمَّتُهُ ، فَنَشْهَدُ أَنَّهُ قَدْ بَلَّغَ ، وَهُوَ قَوْلُهُ جَلَّ ذِكْرُهُ ( وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ ) وَالوَسَطُ العَدْلُ .

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Pada hari qiyanat) Nabi Nuh ‘alaihissalam dan ummatnya datang lalu Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu telah menyampaikan (ajaran)? Nuh ‘Alaihissalam menjawab, “Sudah, wahai Rabbku”. Kemudian Allah bertanya kepada ummatnya, “Apakah benar dia telah menyampaikan kepada kalian?”. Mereka menjawab; “Tidak. Tidak ada seorang Nabi pun yang datang kepada kami”. Lalu Allah berfirman kepada Nuh ‘alaihissalam, “Siapa yang menjadi saksi atasmu?”. Nabi Nuh Alaihissalam berkata; “Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan ummatnya”. Maka kami pun bersaksi bahwa Nabi Nuh ‘alaihissalam telah menyampaikan risalah yang diembannya kepada ummatnya. Begitulah seperti yang difirmankan Allah ta’aalaa (mengutip ayat Alquran) “Dan demikianlah kami telah menjadikan kalian sebagai ummat pertengahan untuk menjadi saksi atas manusia”. al-washathu artinya al-‘adl (adil). (HR. Al Bukhari 3339)

Dan riwayat:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ اللَّهُ ( أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لاَ عَيْنٌ رَأَتْ ، وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ ) فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ : ( فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ ) .

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Allah ‘azza wa jalla berfirman (hadits qudsi), “Aku telah menyiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang saleh (kenikmatan yang) tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pula terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terbetik dalam kalbu”. Maka jika kalian mau bacalah ayat ini (mengutip ayat Alquran) “Tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka dari kenikmatan yang menyenangkan pandangan mata” (HR. Al Bukhari 3244 Muslim 2824)

Dan riwayat:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” إن الله تعالى طيب لا يقبل إلا طيبا ،وان الله أمر المؤمنين بما أمر به المرسلين ..فقال تعالى ” يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا… ” المؤمنون /51… وقال الله تعالى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُم …” البقرة/172 … ثم ذكر رجل يطيل السفر أشعث اغبر يمد يده إلى السماء يا رب يا رب ، ومطعمه حرام ومشربه حرام وملبسة حرام وغذي بالحرام فإنى يستجاب له

“Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rasul, maka Allah telah berfirman (mengutip ayat Alquran), ‘Wahai para Rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal shalih.’ Dan Dia berfirman (mengutip ayat Alquran), ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.’ Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo’a, “Wahai Tuhan, wahai Tuhan”, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana orang ini dikabulkan do’anya”. (HR. Muslim 1015)

Dan masih ada beberapa riwayat lagi yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika mengutip ayat Alquran tidak memulai dengan ta’awudz.

Dan ini juga merupakan pendapat Al Imam As Suyuthi, beliau berkata,

الصواب الاقتصار على إيراد الآية من غير استعاذة ، اتباعا للوارد في ذلك ، فإن الباب باب اتباع ، والاستعاذة المأمور بها في قوله تعالى : ( فإذا قرأت القرآن فاستعذ بالله ) : إنما هي عند قراءة القرآن للتلاوة ، أما إيراد آية منه للاحتجاج والاستدلال على حكم فلا

Yang benar jika mengutip ayat yaitu tanpa membaca isti’aadzah (ta’awudz) sebagai bentuk ‘ittibaa’ (mengikuti) hadits hadits yang ada dalam masalah ini, maka ini masuk dalam bab ‘ittibaa’ (mengikuti tuntunan rasul). Sedangkan ta’awudz yang diperintahkan oleh firman Allah ta’ala (jika engkau membaca Alquran maka mintalah perlindungan kepada Allah) itu adalah ketika membaca Alquran, sedangkan mengutip untuk dalil sebuah hukum maka tidak perlu. (Al Haawi lil fataawa jilid 1 hal. 286 cetakan daarul kutub al ‘ilmiyyah)

Allahu A’lam

***

Oleh: Virdaus Toha

Surabaya, 8 Safar 1440 H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *