Do’a Sesuai Sunnah Yang Dibaca Awal Tahun Baru Hijriyah

Ada beberapa do’a yang bisa dibaca oleh seorang muslim ketika berada pada awal bulan Hijriyah, dan do’a-do’anya berstatus Hasan menurut para ulama.

Do’a-do’anya sebagai berikut:

1. Doa pertama

Dari Thalhah bin Ubaidillah rodhiyallahu ‘anhu berkata :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الهِلَالَ قَالَ: «اللَّهُمَّ أَهْلِلْهُ عَلَيْنَا بِاليُمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالإِسْلَامِ، رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ»

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melihat hilal (bulan muda awal permulaan bulan), maka beliau berdoa :

“Allahumma Ahlilhu ‘alaina Bil Yumni, wal Imaani, was salaamati, wal Islaami, robbi wa RobbukaAllah”

Ya Allah, tampakkanlah bulan itu kepada kami dengan membawa keberkahan, keimanan, keselamatan dan Islam. Tuhanku dan Tuhanmu wahai bulan sabit (Allah). (HR. At-Tirmidzi, hadist no. 3451).

Imam At-Tirmidzi rohimahullah mengomentari hadist di atas di dalam kitabnya Sunan At-Tirmidzi :

«هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ»

Hadist ini derajatnya Hasan Gharib. (Sunan At-Tirmidzi, jilid 5 halaman 504).

2. Doa kedua

Imam Abu Bakar bin Sulaiman Al-Haitsami rohimahullah berkata di dalam kitabnya Majma’ Az-Zawaaid wa Manbaul Fawaaid :

Dari Abdullah bin Hisyam rodhiyallahu ‘anhu berkata :

كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَتَعَلَّمُونَ هَذَا الدُّعَاءَ إِذَا دَخَلَتِ السَّنَةُ أَوِ الشَّهْرُ: ” اللَّهُمَّ أَدْخِلْهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ، وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ، وَرِضْوَانٍ مِنَ الرَّحْمَنِ، وَجَوَازٍ مِنَ الشَّيْطَانِ “.

Adalah Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa apabila memasuki awal bulan atau tahun :

“Allahumma Adkhilhu ‘alaina Bil amni wal Imaani, was salaamati wal Islaami, wa ridwaanin minar Rohmani, wa jawaazin minas syaitooni.”

Artinya : Ya Allah, masukkanlah kami pada bulan ini dengan rasa aman, keimanan, keselamatan, dan Islam, dan keridhaan dari yang Maha Pemurah, serta lindungilah kami dari gangguan setan. (Majma’ Az-Zawaaid wa Manbaul Fawaaid, jilid 10 halaman 139).

Imam Abu Bakar bin Sulaiman Al-Haitsami rohimahullah berkata di dalam kitabnya Majma’ Az-Zawaaid wa Manbaul Fawaaid :

رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ، وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ

Hadist ini diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani di dalam kitabnya Al-Ausath, dan sanadnya Hasan. (Majma’ Az-Zawaaid wa Manbaul Fawaaid, jilid 10 halaman 139).

Do’a ini bisa dibaca di awal tahun baru Hijriyah, namun juga bisa dibaca di awal tahun baru Masehi. Tidak ada larangan mengenai itu, bahkan berdo’a dengan do’a apapun sebenarnya boleh, selama tidak mengatakan bahwa do’a tersebut berasal dari Hadist Nabi.

Semoga bermanfaat.

Tawakal Kepada Allah Adalah Kunci Dimurahkan Rezeki

Sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk bertawakal kepada Allah setelah melakukan usaha, karena dengan tawakal seseorang percaya bahwa Allah adalah sebaik-baik pengatur urusan dan sebaik-baik tempat bergantung.

Dari Umar bin Khattab rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi di waktu pagi dalam keadaan lapar dan kembali di waktu sore dalam keadaan kenyang. (HR. Al-Bazzar, hadist no. 340).

Beberapa point yang bisa diambil dari hadits di atas menurut Ibnu Rojab di dalam kitab Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam :

1. Hadits ini adalah dalil utama dalam masalah tawakal

Beliau rohimahullah berkata :

وَهَذَا الْحَدِيثُ أَصْلٌ فِي التَّوَكُّلِ

Hadits ini adalah dalil utama dalam masalah tawakal. (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, jilid 2 halaman 496).

2. Tawakal itu menjadi sebab terbesar yang bisa mendatangkan rezeki

Ibnu Rojab rohimahullah berkata :

وَأَنَّهُ مِنْ أَعْظَمِ الْأَسْبَابِ الَّتِي يُسْتَجْلَبُ بِهَا الرِّزْقُ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا – وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ}

Dan Tawakal itu menjadi sebab terbesar yang bisa mendatangkan rezeki. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla : “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. At-Thalaq : 2-3). (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, jilid 2 halaman 496-497).

3. Jika menjalankan taqwa dan tawakal dengan benar, maka Allah akan mencukupkan urusan dunia dan agama mereka

وَقَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – هَذِهِ الْآيَةَ عَلَى أَبِي ذَرٍّ، وَقَالَ لَهُ: لَوْ أَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ أَخَذُوا بِهَا لَكَفَتْهُمْ يَعْنِي: لَوْ حَقَّقُوا التَّقْوَى وَالتَّوَكُّلَ؛ لَاكْتَفَوْا بِذَلِكَ فِي مَصَالِحِ دِينِهِمْ وَدُنْيَاهُمْ

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membaca ayat ini kepada Abu Dzar rodhiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Dzar : “Seandainya manusia seluruhnya memperhatikan ayat ini, tentu hal itu akan mencukupi mereka.” Artinya, seandainya manusia menjalankan takwa dan tawakal dengan benar, maka urusan dunia dan agama mereka akan tercukupi. (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, jilid 2 halaman 497).

4. Hakikat tawakal adalah keikhlasan hati bersandar kepada Allah

وَحَقِيقَةُ التَّوَكُّلِ: هُوَ صِدْقُ اعْتِمَادِ الْقَلْبِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي اسْتِجْلَابِ الْمَصَالِحِ، وَدَفْعِ الْمَضَارِّ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ كُلِّهَا

Dan hakikat tawakal : keikhlasan hati bersandar kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung, untuk mencari kepentingan dan menolak urusan dunia dan akhirat seluruhnya. (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, jilid 2 halaman 497).

5. Dan realisasi iman yang tidak memberi, tidak melarang, tidak membahayakan, dan tidak memberi manfaat selain kepada-Nya.

وَتَحْقِيقُ الْإِيمَانِ بِأَنَّهُ لَا يُعْطِي وَلَا يَمْنَعُ وَلَا يَضُرُّ وَلَا يَنْفَعُ سِوَاهُ

Dan realisasi iman yang tidak memberi, tidak melarang, tidak membahayakan, dan tidak memberi manfaat selain kepada-Nya. (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, jilid 2 halaman 497).

Seorang muslim memang diharuskan bertawakal kepada Allah, namun harus melalui usaha terlebih dahulu. Setelah berusaha, barulah bertawakal kepada Allah, bukan bertawakal saja tanpa melakukan usaha apa-apa dalam mendapatkan apa yang dia inginkan.

 Dari ‘Amar bin Umayyah rodhiyallahu ‘anhu, dari ayahnya berkata :

قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرْسِلُ نَاقَتِي وَأَتَوَكَّلُ؟ قال: اعقلها وتوكل

Seorang lelaki berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah saya ikat unta saya lalu tawakal kepada Allah ‘Azza wa Jalla ataukah saya lepas saja sambil bertawakal kepada-Nya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru bertawakal kepada Allah. (HR. Ibnu Hibban, hadist no. 731).

Imam Ibnu Hibban rohimahullah mengomentari hadist di atas di dalam kitabnya Shahih Ibnu Hibban :

حديث حسن

Hadist ini Hasan. (Shahih Ibnu Hibban, jilid 2 halaman 510).

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Hukum Mendatangi Pesta Pernikahan Yang di dalamnya Ada Musik Dangdut

Mendatangi walimah (pesta) pernikahan hukumnya wajib menurut mazhab Syafi’i, hal ini berdasarkan hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan seorang muslim untuk menghadiri undangan walimah apabila diundang.

Dari Abdullah bin ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا

Jika kalian diundang dalam acara walimah, maka hendaklah mendatanginya. (HR. Muslim, hadist no. 1429).

Imam An-Nawawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

فيه الأمر بحضورها ولا خلاف في أنه مأمور به ولكن هل هو أمر إيجاب أو ندب فيه خلاف الأصح في مذهبنا أنه فرض عين على كل من دعي

Hadist di atas adalah perintah untuk menghadiri undangan dan tidak ada perbedaan padanya. Akan tetapi apakah perintahnya adalah perintah bermakna wajib dan hanya sekedar anjuran untuk menghindarinya, maka mengenai ini terdapat perbedaan pendapat. Yang paling shahih dalam mazhab kami (Syafi’i) hukumnya Fardhu ‘Ain kepada setiap orang yang diundang. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 9 halaman 233).

Lalu bagaimana jika di dalam walimah tersebut ada dangdutnya? Di mana kita mengetahui bahwa dangdut termasuk kemaksiatan. Apakah kewajiban untuk menghadirinya masih berlaku?

Memang, para ulama berbeda pendapat tentang hukum musik di dalam Islam, dan para ulama masih mentolerir musik-musik yang di mana liriknya mengajak kepada kebaikan. Akan tetapi jika liriknya tidak mengajak kepada kebaikan bahkan melenceng jauh dari kebaikan serta yang diajarkan Islam, maka para ulama mengharamkannya.

Imam An-Nawawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

وأما الأعذار التي يسقط بها وجوب إجابة الدعوة أو ندبها فمنها أن يكون في الطعام شبهة أو يخص بها الأغنياء أو يكون هناك من يتأذى بحضوره معه أو لا تليق به مجالسته أو يدعوه لخوف شره أو لطمع في جاهه أو ليعاونه على باطل وأن لا يكون هناك منكر من خمر أو لهو أو فرش حرير أو صور حيوان غير مفروشة أو آنية ذهب أو فضة فكل هذه أعذار في ترك الإجابة ومن الأعذار أن يعتذر إلى الداعي فيتركه

Adapun udzur yang menggugurkan kewajiban atau kesunnahan mendatangi walimah di antaranya adalah :

1. suguhan yang tidak jelas kehalalannya

2. undangan walimah hanya dikhususkan untuk orang kaya

3. terdapat orang yang tersakiti jika dia hadir

4. terdapat orang yang tidak layak baginya untuk bersama dengannya

5. diundang karena khawatir perilaku buruk dari dirinya

6. diundang karena mengharap sebuah jabatan darinya

7. diundang agar dia berkenan membantu dalam hal kebatilan. Tidak boleh ada kemungkaran dalam acara, misalnya berupa adanya miras, alat musik (yang haram), perabot dari sutra, gambar hewan (yang dilarang syara’), cawan dari emas atau perak. Segala (tujuh) hal di atas merupakan udzur yang memperbolehkan tidak menghadiri undangan. Sebagian udzur yang lain adalah ketika seseorang mengajukan alasan ketidakhadirannya pada orang yang mengundangnya. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 9 halaman 234).

Imam An-Nawawi di atas menyebutkan bahwa tidak boleh menghadiri yang di dalamnya terdapat kemungkaran, dan musik dangdut merupakan sebuah kemungkaran di dalam Islam, di mana lirik lagunya jauh dari mengajak kepada kebaikan serta di beberapa tempat musik dangdut identik dengan perempuan yang menari dan menyanyi. Untuk itu, musik dangdut termasuk kemungkaran sehingga menghadiri kemungkaran tidak diperbolehkan oleh para ulama.

Imam Ibnu Taimiyah rohimahullah berkata :

وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَحْضُرَ مَجَالِسَ الْمُنْكَرِ بِاخْتِيَارِهِ لِغَيْرِ ضَرُورَةٍ كَمَا فِي الْحَدِيثِ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَجْلِسْ عَلَى مَائِدَةٍ يُشْرَبُ عَلَيْهَا الْخَمْرُ

Tidak boleh bagi seorang pun menghadiri majelis yang di dalamnya terdapat kemungkaran atas pilihannya sendiri kecuali alasan darurat. Sebagaimana disebutkan dalam hadist : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia duduk di hidangan yang dituangkan di dalamnya khomr.” (Al-Fatawa Al-Kubro Libni Taimiyah, jilid 4 halaman 477).

Untuk itu, jika di dalam walimah terdapat musik dangdut, maka seorang muslim boleh tidak menghadirinya, karena musik dangdut termasuk kemungkaran, dan harus dijauhi oleh seorang muslim.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Manusia Tidak Sanggup Menghitung Nikmat Allah

Nikmat Allah itu begitu banyak yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya, mulai dari bangun tidur, sampai tidur lagi, maka manusia tidak akan bisa menghitung betapa banyak nikmat yang Allah berikan kepadanya.

Ketika bangun tidur, Allah kembalikan roh ke dalam tubuhnya, ini adalah nikmat yang tidak terhingga. Dia bisa bernafas kembali dan bisa menghirup udara segar di pagi hari juga merupakan nikmat Allah. Ketika makan, lidahnya merasakan rasa makanan, manis ataukah asin, itu merupakan nikmat Allah. Anggota tubuhnya sehat dan bisa beraktivitas sehari-hari adalah nikmat Allah. Dan yang tidak kalah penting adalah oksigen yang dia hirup adalah nikmat Allah, dan itu semua Allah berikan seca cuma-cuma.

Andai seseorang sakit dan berada di rumah sakit, dia membeli oksigen. Jika dalam satu hari dia membutuhkan 2 tabung oksigen, sementara 1 tabung oksigen seharga Rp. 500.000. Maka dia harus mengeluarkan uang sebanyak Rp. 1.000.000 per harinya.

Namun, ketika dia sehat, Allah berikan oksigen itu secara cuma-cuma. Jika dibeli, berapa tabung oksigen yang dia butuhkan sehari dan berapa uang yang harus dia keluarkan sehari. MasyaAllah, sungguh Allah Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya.

Seandainya pepohonan dijadikan pena dan lautan dijadikan tinta untuk menulis berapa banyak nikmat yang Allah berikan kepadanya, maka niscaya dia tidak akan bisa untuk menulisnya.

Allah berfirman :

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nahl : 18).

Imam As-Samarqandi rohimahullah berkata di dalam kitab tafisrnya Bahrul ‘Ulum :

ثم قال عز وجل: وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لاَ تُحْصُوها أي: لا تطيقوا إحصاءها، فكيف تقدرون على أداء شكرها إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ لمن تاب ورجع. وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ في قلوبكم وَما تُعْلِنُونَ بالقول

Allah berfirman : “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” Artinya : Kamu tidak bisa menghitungnya, maka bagaimana kamu berterimakasih kepada-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang bagi siapa saja yang bertaubat dan Kembali kepada-Nya. Dan Allah mengetahui apa yang kamu sembunyikan di dalam hatimu dan mengetahui apa yang kamu diucapkan dengan perkataan. (Bahrul ‘Ulum, jilid 2 halaman 269).

Semua nikmat yang dirasakan manusia datangnya dari Allah, bahkan terkadang, suatu hal yang sama sekali tidak disadari manusia sebagai nikmat, rupa-rupanya itu merupakan nikmat Allah. Seperti jari bisa digunakan untuk memegang pena dan menulis dengannya. Namun ketika jari tersebut terkilir dan tidak bisa memegang pena, maka di situ manusia baru sadar betapa berharganya nikmat sehat pada jari tersebut. Begitu juga ketika manusia sehat, sering sekali mereka lupa bahwa sehat merupakan sebuah nikmat, namun banyak yang lupa akan hal itu, ketika sakit, barulah mereka sadar betapa berharganya nikmat sehat dan itu semua datangnya dari Allah Subhanhu wa Ta’ala.

Allah berfirman :

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. (QS. An-Nahl : 53).

Jika manusia bersyukur, maka nikmat tersebut akan ditambah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi jika manusia kufur terhadap nikmat Allah, artinya dia tidak mau bersyukur terhadap nikmat, maka Allah akan mengazabnya karena kekufurannya terhadap nikmat tersebut.

Allah berfirman :

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim : 7).

Bersyukurlah kepada Allah atas nikmat yang diberikan, niscaya akan Allah tambah nikmat tersebut. Namun jika tidak mensyukurinya, maka Allah akan mengazabnya karena tidak bersyukur atas nikmat tersebut, padahal nikmat yang Allah berikan tersebut tidak terhitung jumlahnya. Bersyukurlah niscaya mendatangkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Hukum Arisan dalam Tinjauan Syariat Islam

Arisan adalah kegiatan yang dilakukan oleh sejumlah orang dengan cara mengumpulkan uang secara bersama yang ditentukan jumlahnya dan sesuai dengan kesepakatan bersama. Baik dikumpulkan seminggu sekali, 2 minggu sekali atau sebulan sekali. Tergantung kesepakatan bersama.

Setiap orang harus mengumpulkan uang sejumlah yang ditetapkan dan semua yang ikut akan mendapatkan giliran menerima uang tersebut secara bergiliran, baik ditetapkan dari awal nama-nama penerimanya ataupun secara diundi.

Apa hukum Arisan di dalam Islam?

Pada dasarnya setiap perkara mu’amalah adalah boleh, sampai ada dalil yang melarangnya.

Imam As-Suyuthi rohimahullah membawakan sebuah qoidah di dalam kitabnya Al-Asbah wa An-Nazhoir :

الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم

Hukum asal segala sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang mengharamkannya. (Al-Asbah wa An-Nadzoir, jilid 1 halaman 60).

Perincian hukum Arisan dalam Islam :

1. Arisan termasuk perkara mu’amalah dan setiap perkara mu’amalah hukumnya boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya

Imam As-Suyuthi rohimahullah membawakan sebuah qoidah di dalam kitabnya Al-Asbah wa An-Nazhoir :

الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم

Hukum asal segala sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang mengharamkannya. (Al-Asbah wa An-Nadzoir, jilid 1 halaman 60).

Untuk itu, hukum Arisan dalam Islam adalah boleh, karena tidak ada unsur riba ataupun gharar (ketidakjelasan).

2. Mengadakan Arisan termasuk perbuatan tolong menolong, karena terkadang di antara ibu-ibu ingin membeli sesuatu, tapi uangnya tidak cukup. Namun setelah ikut Arisan, dia menerima uang lebih sehingga dia bisa membeli apa yang dia butuhkan untuk keperluan rumah tangganya. Bentuk tolong menolong seperti ini diperintahkan di dalam Islam.

Allah berfirman :

وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ  وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ  إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah : 2).

3. Dalam arisan tidak diperbolehkan melakukan yang diharamkan di dalam Islam, seperti mengghibah orang lain, menyanyi sambal joget-joget, minum-minuman keras dan perbuatan haram lainnya.

Jika di dalam Arisan tidak terdapat perbuatn yang diharamkan di dalam Islam, maka hukumnya boleh.

Apakah Arisan tidak termasuk Riba?

Jawabannya tidak. Karena masing-masing peserta hanya menerima sesuai dengan jumlah uang secara keseluruhan, tidak ada tambahan ataupun pengurangan. Untuk itu tidak ada unsur Riba di dalam Arisan dengan metode seperti ini dan yang tersebar di masyarakat Indonesia.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Hukum Childfree dalam Tinjauan Syariat Islam

Childfree adalah keputusan untuk tidak memiliki anak setelah menikah dan hal ini disepakati oleh kedua pasangan.

Perlu diketahui, bahwa Childfree ini berasal dari negara-negara barat, di mana mereka tidak memiliki anak dengan alasan tidak ada waktu mengurus anak, sebab mereka sibuk bekerja di luar. Baik dia kecapean karena pekerjaannya itu, jarang pulang atau faktor lainnya.

Bagaimana Islam memandang program Childfree ini?

Konsep Childfree yang banyak dipakai ini rupanya bertentangan dengan syariat Islam dan bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memperbanyak keturunan.

Pandangan Islam terhadap program Childfree :

1. Menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Nikahilah wanita yang penyayang yang subur, karena dengan jumlah kalian yang banyak, aku akan membanggakan di hadapan para Nabi pada hari kiamat nanti. (HR. Ahmad, hadist no. 13569).

Syekh Syu’aib Al-Arnauth rohimahullah mengomentari hadist ini di dalam Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal :

صحيح لغيره، وهذا إسناد قوي

Shahih Lighairihi, dan Hadist ini kuat secara sanad. (Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal, jilid 21 halaman 192).

Salah satu sunnah di dalam Islam adalah memperbanyak keturunan, karena dengan banyaknya ummat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membanggakan umat yang banyak di depan pada Nabi di hari kiamat nanti. Sedangkan orang yang mengikuti program Childfree tidak mempunyai anak sama sekali, tentunya bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Tidak mendapatkan do’a anak yang sholeh

Orang yang mengikuti program Childfree tidak mendapatkan doa anak yang sholeh dan sholehah di waktu masih hidup maupun jika sudah berada di alam kubur, sebab dia tidak mempunyai anak yang mendoakannya. Sedangkan salah satu amalan yang tidak pernah terputus pahalanya adalah do’a anak yang sholeh.

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، وَعِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ، وَوَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ

Apabila manusia meninggal dunia, maka putuslah amalannya kecuali 3 perkara : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendo’akannya. (HR. At-Tirmidzi, hadist no. 1376).

Imam At-Tirmidzi rohimahullah mengomentari hadist ini di dalam Sunan At-Tirmidzi :

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Hadist ini Hasan Shahih. (Sunan At-Tirmidzi, jilid 3 halaman 53).

Allahu Akbar, betapa ruginya orang-orang yang mengikuti program Childfree ini, dia tidak akan mendapatkan do’a anak yang sholeh yang senantiasa mendo’akannya. Dia bisa saja mendapatkan pahala sedekah jariyah dan ilmu yang bermanfaat jika dia pernah mengajarkan orang lain ilmu semasa hidupnya, namun untuk do’a anak yang sholeh dia tidak akan mendapatkannya. Anak yang selalu mengirimkan do’a agar dosa-dosanya diampuni oleh Allah, dilapangkan kuburnya dan mengirim bacaan Al-Quran dan sebagainya, dia tidak mendapatkan itu semua. Sungguh merugi sekali yang apabila dia sudah berada di alam kubur, namun tidak ada anak yang mendo’akannya.

3. Tasyabbuh (menyerupai) kepada orang-orang kafir

Perlu diketahui, bahwa program Childfree adalah salah satu program orang-orang kafir, hal ini tertulis dalam sebuah buku yang ditulis oleh Corinne Mairer dengan judul : No Kids : 40 Reasons For Not Having Children (Tidak Punya Anak : 40 Alasan Tidak Punya Anak).

Ini tentu saja menyerupai orang-orang kafir, sedangkan seorang muslim diperintahkan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyelisihi orang-orang kafir dalam segala keadaan, bahkan dalam hal mencukur kumis pun kita diperintahkan untuk menyelisihi orang-orang kafir.

Dari Ibnu ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى

Selisihilah orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan peliharalah jenggot kalian. (HR. Muslim, hadist no. 259).

Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma berkata :

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ» قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa, ada yang mengatakan kepada beliau : Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : Kalau begitu, jika datang tahun depan, kita akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram. Ibnu Abbas berkata : Belum sempat menjumpai Muharram tahun depannya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat. (HR. Muslim, hadist no. 1134).

Bayangkan, bahkan ketika puasa Asyura berbarengan dengan orang-orang kafir saja baginda Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam langsung berkata akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram tahun depannya jika masih hidup. Begitulah saking harusnya seorang muslim menyelisihi orang-orang kafir, bukan malah mencontoh program orang-orang kafir.

Dari Saddad bin Aus rodhiyallahu ‘anhu, dari ayahnya berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ، وَلَا خِفَافِهِمْ

Selisihilah orang-orang Yahudi, karena sesungguhnya mereka tidak pernah shalat dengan memakai sandal mereka dan tidak pula dengan sepatu mereka. (HR. Abu Daud, hadist no. 652).

Syekh Utsaimin rohimahullah berkata di dalam kitabnya Majmu’ Fatawa :

أخرجه أبو داود وابن حبان في صحيحه، قال الشوكاني في شرح المنتقي: ولا مطعن في إسناده.

ومخالفة اليهود أمر مطلوب شرعاً

Dikeluarkan oleh Abu Daud dan Ibnu Hibban di dalam kitab Shahihnya. Imam Syaukani berkata di dalam Syarah Al-Muntaqi : tidak ada kecacatan pada sanadnya. Dan menyelisihi orang-orang Yahudi adalah suatu perkara yang dituntut secara syariat. (Majmu’ Fatawa, jilid 12 halaman 388).

Inilah dalil bahwa kita diperintahkan baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi orang-orang kafir dalam hal apapun. Karena jika seorang muslim menyerupai orang-orang kafir, maka dia termasuk ke dalam golongan mereka.

Dari Ibnu ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka. (HR. Abu Daud, hadist no. 4031).

Imam As-Shon’ani rohimahullah berkata di dalam kitabnya Subulus Salam :

أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ

Dikeluarkan oleh Abu Daud dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban. (Subulus Salam, jilid 2 halaman 646).

Dari Abu Sa’id Al-Khudry rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda :

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ» قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: «فَمَنْ»

Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob pun pasti kalian pun akan mengikutinya. Kami (para sahabat) berkata : “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab : “Lantas siapa lagi? (HR. Muslim, hadist no. 2669).

Na’udzubillah, sejak 1400 tahun yang lalu baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memprediksi bahwa di akhir zaman ummat Islam banyak yang mengikuti jalan orang-orang Yahudi dan Nasharani, salah satu contohnya adalah sekarang ada di antara ummat Islam yang mengikuti program Childfree.

Hukum Childfree dalam pandangan Islam

Imam Syihabuddin Al-Qasthalani rohimahullah membawakan sebuah qaidah di dalam kitabnya Irsyadus Sari Lisyarhi Shahihil Bukhari :

الْحُكْمَ يَدُورُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُودًا وَعَدَمًا

Hukum berlaku bersama illatnya, ada dan tidaknya hukum bergantung atas ada dan tidaknya illat hukum tersebut. (Irsyadus Sari Lisyarhi Shahihil Bukhari, jilid 2 halaman 41).

Perinciannya sebagai berikut :

1. Jika dia hanya menunda untuk mempunyai anak dalam waktu tertentu, seperti misalnya dia menikah ketika kuliyah, dan suami istri tersebut menargetkan punya anak setelah selesai lulus kuliyah, karena jika mempunyai anak ketika kuliyah takut tidak bisa mengurusnya karena banyak tugas kuliyah yang harus diselesaikan. Artinya ada batas waktunya. Maka menunda mempunyai anak seperti ini dibolehkan oleh Imam Al-Ghazali.

Imam Al-Ghazali rohimahullah berkata di dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin :

وإنما قلنا لا كراهة بمعنى التحريم والتنزيه لأن إثبات النهي إنما يمكن بنص أو قياس على منصوص ولا نص ولا أصل يقاس عليه بل ههنا أصل يقاس عليه وهو ترك النكاح أصلاً أو ترك الجماع بعد النكاح أو ترك الإنزال بعد الإيلاج فكل ذلك ترك للأفضل وليس بارتكاب نهي ولا فرق إذ الولد يتكون بوقوع النطفة في الرحم

Kami berpendapat bahwa ‘azl hukumnya tidak makruh dengan makna makruh tahrim atau makruh tanzih, sebab untuk menetapkan larangan terhadap sesuatu hanya dapat dilakukan dengan dasar nash atau qiyas pada nash, padahal tidak ada nash maupun asal atau sumber qiyas yang dapat dijadikan dalil memakruhkan ‘azl. Justru yang ada adalah asal qiyas yang membolehkannya, yaitu tidak menikah sama sekali, tidak bersetubuh setelah pernikahan, atau tidak inzal (menumpahkan sperma di luar). Sebab semuanya hanya merupakan tindakan meninggalkan keutamaan, bukan tindakan melakukan larangan. Semuanya tidak ada bedanya karena anak baru akan berpotensi wujud dengan bertempatnya sperma di rahim perempuan. (Ihya’ Ulumiddin, jilid 2 halaman 51).

Inilah yang dibolehkan oleh Imam Al-Ghazali, bahwa mengatur jumlah keturunan dengan cara mengeluarkan sperma di luar. Diperbolehkan karena ini bukan untuk selamanya, tapi hanya dalam jangka tertentu saja.

Dalam artian lain, ini dinamakan ‘azl, ‘azl yaitu menumpahkan sperma di luar Rahim dengan tujuan Tanzhimun Nasl (mengatur keturunan). Artinya dia melakukan itu hanya untuk memberikan jarak anak yang dilahirkan bukan memutuskan keturunan secara Mutlaq. Maka cara seperti ini masih diperbolehkan oleh para ulama.

2. Jika dia memutuskan untuk tidak mempunyai anak secara Mutlaq (Tahdidun Nasl), maka hukumnya haram.

Pendapat ulama tentang Childfree (memutus keturunan secara mutlaq) :

Syekh Utsaimin rohimahullah pernah ditanya tentang hukum mengatur keturunan dan membatasi keturunan sebagaimana disebutkan dalam Liqo’ Al-Bab Al-Maftuh :

السؤال

ما رأيك في تنظيم أو تحديد النسل؟

الجواب

رأيي أن هذا ليس إلى الإنسان بل هو إلى الله عز وجل، فأما تحديد النسل بمعنى أن الإنسان حين يولد له عدد معين من الأولاد يستعمل ما يقطع الحمل نهائياً، فهذا حرام، نص عليه أهل العلم.

وأما ما يسمى بالتنظيم فهذا إن دعت الحاجة إليه مثل أن تكون المرأة ضعيفة أو مريضة لا تتحمل الحمل فهذه تُعْطَى ما يمنع الحمل في وقته، وفي حينه، ويختلف باختلاف النساء، وباختلاف حال المرأة نفسها أيضاً، قد تكون في سنة من السنوات قادرة على الحمل بسهولة وبدون مرض أو ضرر، وقد تكون بالعكس.

Pertanyaan :

Apa pendapatmu tentang hukum mengatur keturunan dan membatasi keturunan?

Jawaban :

1.Pendapat saya bahwa ini bukan kehendak manusia, melainkan kehendak Allah. Maka membatasi keturunan dalam artian jika anak dilahirkan dalam jumlah tertentu, kemudian dia memutus kehamilan secara permanen, maka ini hukumnya haram, dan ini sebagaimana telah ditulis oleh para ulama.

2. Adapun yang dinamakan mengatur keturunan, maka jika ada hajat (kebutuhan) seperti Wanita menjadi lemah atau sakit ataupun tidak memungkinkan hamil, maka dia diberikan kelonggaran dengan tidak hamil terlebih dahulu pada waktu itu dalam dalam keadaan itu. Dan hukumnya menjadi berbeda jika wanitanya berbeda dan berbeda keadaan wanitanya juga. Kadang-kadang ada di antara wanita dalam setahun sudah mampu hamil dengan mudah tanpa rasa sakit dan memudorotkan dirinya, dan kadang-kadang juga sebaliknya. (Liqo’ Al-Bab Al-Maftuh, jilid 133 halaman 33).

Syekh At-Tuwaijiry rohimahullah berkata di dalam kitabnya Mukhtashor Al-Fiqhul Islamy Fi Dhouil Qur’an was Sunnah :

النسل نعمة كبرى مَنّ الله بها على عباده، حث الإسلام عليها ورغَّب فيها، فلا يجوز تحديد النسل مطلقاً، ولا يجوز منع الحمل إذا كان القصد من ذلك خشية الإملاق. قال تعالى: {وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا}

Mempunyai keturunan adalah nikmat yang besar dari Allah atas hamba-Nya. Dan Islam mendorong atas pemeluknya dan mengharapkannya. Maka tidak boleh membatasi kelahiran (Childfree/tidak punya anak) secara Mutlaq dan tidak boleh mengharamkan kehamilan apabila maksudnya karena takut miskin. Allah berfirman : Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. Al-Isra’ : 31). (Mukhtashor Al-Fiqhul Islamy Fi Dhouil Qur’an was Sunnah, jilid 1 halaman 828).

Keharamannya disebabkan hal berikut :

A. Menyelisihi syariat Islam

Islam memerintahkan untuk memperbanyak keturunan, dan hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Nikahilah wanita yang penyayang yang subur, karena dengan jumlah kalian yang banyak, aku akan membanggakan di hadapan para Nabi pada hari kiamat nanti. (HR. Ahmad, hadist no. 13569).

Syekh Syu’aib Al-Arnauth rohimahullah mengomentari hadist ini di dalam Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal :

صحيح لغيره، وهذا إسناد قوي

Shahih Lighairihi, dan Hadist ini kuat secara sanad. (Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal, jilid 21 halaman 192).

B. Menyerupai orang-orang kafir

Childfree atau merencanakan tidak mempunyai anak sama sekali adalah sebuah perbuatan tercela dan menyerupai orang-orang kafir, karena ini merupakan program orang-orang kafir, dalam hal ini tertuang dalam buku yang berjudul No Kids : 40 Reasons For Not Having Children (Tidak Punya Anak : 40 Alasan Tidak Punya Anak) ditulis oleh Corinne Mairer.

Mengadopsi program orang-orang kafir untuk diterapkan haram hukumnya karena menyerupai orang-orang kafir.

Dari Ibnu ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka. (HR. Abu Daud, hadist no. 4031).

Kesimpulan :

Oleh sebab itu, berdasarkan pendapat-pendapat ulama di atas dan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadist yang telah dikemukakan di atas, bahwa Childfree (memutuskan tidak mempunyai keturunan) secara mutlaq hukumnya haram.

Untuk itu, kaum muslimin agar menjauhi program orang kafir yang satu ini, karena jika diterapkan sama saja Tasyabbuh (menyerupai) orang kafir dan hukumnya haram.

Lalu bagaimana jika suami istri tidak bisa memiliki keturunan, kan tidak punya anak bukan kehendak mereka?

Orang yang masuk dalam hukum ini hanya orang yang terkena kewajiban saja, dalam hal ini adalah orang yang mampu hamil tapi dia tidak menjalankannya. Adapun wanita yang tidak bisa memiliki keturunan, maka tidak terkena hukuman ini.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Hukum Melihat Aurat Sendiri di dalam Islam

Tidak bisa dipungkiri, bahwa setiap orang pasti pernah melihat auratnya sendiri, dan bahkan dalam keadaan tertentu sering melihat auratnya.

Memang, melihat aurat orang lain sudah jelas-jelas haram hukumnya, karena itu bertentangan dengan syariat Islam.

Dari Abdurrahman bin Abu Sa’id Al-Khudry rodhiyallahu ‘anhu, dari ayahnya berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلَا يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَلَا تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ

Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain. Dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita lain. Janganlah seorang laki-laki berada dalam satu selimut dengan laki-laki lain. Dan janganlah seorang wanita berada satu selimut dengan wanita lain. (HR. Muslim, hadiost no. 338).

Imam An-Nawawi rohimahullah mengomentari hadist di atas di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :

وأما أحكام الباب ففيه تحريم نظر الرجل إلى عورة الرجل والمرأة إلى عورة المرأة وهذا لاخلاف فيه وكذلك نظر الرجل إلى عورة المرأة والمرأة إلى عورة الرجل حرام بالإجماع

Adapun hukum-hukum di bab ini, maka di dalamnya terdapat pengharaman seorang lelaki memandang aurat lelaki lain, dan wanita melihat aurat wanita lainnya. Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama mengenai hal ini. Begitu juga seorang lelaki melihat aurat wanita yang bukan mahromnya, dan seorang wanita melihat aurat lelaki yang bukan mahromnya, hukumnya haram menurut ijma’ (kesepakatan ulama). (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 4 halaman 30).

lalu bagaimana jika seseorang melihat auratnya sendiri? apakah diperbolehkan di dalam Islam atau justru dilarang?

Syekh Abu Bakar Ad-Dimyati rohimahullah berkata di dalam kitabnya I’anatut Tholibin ‘ala Halli Alfadzi Fathil Mu’in :

يجوز له أن ينظر إلى عورته في غير الصلاة، ولكن يكره ذلك من غير حاجة. أما في الصلاة فلا يجوز. فلو رأى عورة نفسه في صلاته – من كمه أو من طوق قميصه – بطلت صلاته

Boleh bagi seseorang melihat auratnya sendiri di luar shalat. Akan tetapi jika tidak ada keperluan, maka hukumnya makruh. Adapun jika dia melihat auratnya ketika shalat, maka tidak boleh. Jika seseorang melihat auratnya ketika shalat dari lengan bajunya atau krah gamisnya, maka shalatnya menjadi batal. (I’anatut Tholibin ‘ala Halli Alfadzi Fathil Mu’in, jilid 1 halaman 136).

Artinya, melihat aurat sendiri tidaklah mengapa jika ada keperluan, begitu juga membuaka aurat ketika berada di rumah, maka boleh, karena tidak ada yang melihatnya, kecuali mahromnya seperti orang tua dan saudara kandung.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi 

Bolehkah Tidur Setelah Subuh?

Tidur setelah subuh adalah kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian orang, dan para ulama berbeda pendapat tentang hukum tidur setelah subuh ini. Sebagian ulama memakruhkan, namun tidak sampai haram, karena untuk sampai kepada hukum haram membutuhkan dalil yang melarangnya, sementara tidak ada satu hadist pun yang melarang untuk tidur setelah subuh. Sebagian ulama lainnya membolehkan jika ada keperluan, misalnya untuk menguatkan dia bekerja pada siang harinya, di mana tidak memungkinkan baginya untuk tidur di siang hari kecuali setelah subuh tersebut, maka tidak mengapa. Begitu menurut pendapat ulama.

Mengenai hal ini baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberkahi waktu pagi umat beliau.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a kepada Allah :

اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا

Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya. (HR. Ahmad, hadist no. 1320).

Syekh Syu’aib Al-Arnauth rohimahullah berkata : Hadist ini hasan lighoirihi.

Hukumnya menurut para ulama :

1. Hukumnya makruh

Ibnul Qoyyim rohimahullah berkata di dalam kitabnya Madarijus Salikin :

وَمِنَ الْمَكْرُوهِ عِنْدَهُمُ النَّوْمُ بَيْنَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَطُلُوعِ الشَّمْسِ، فَإِنَّهُ وَقْتُ غَنِيمَةٍ، وَلِلسَّيْرِ ذَلِكَ الْوَقْتَ عِنْدَ السَّالِكِينَ مَزِيَّةٌ عَظِيمَةٌ

Dan di antara hal yang makruh menurut para ulama adalah tidur setelah shalat Shubuh hingga matahari terbit karena waktu tersebut adalah waktu meraih kebaikan yang banyak. Dan bergerak pada waktu itu akan mendapatkan keuntungan yang istimewa. (Madarijus Salikin, jilid 1 halaman 457).

Syekh Sholeh Al-Munajjid rohimahullah berkata :

ومن هنا كره بعض السلف النوم بعد الفجر

Berdasarkan hadist ini, para ulama salaf memakruhkan tidur setelah subuh. (Mauqi’ul Islam Sual wa Jawab, jilid 7 halaman 966).

2. Hukumnya boleh jika ada keperluan

Syekh Sholeh Al-Munajjid rohimahullah berkata di dalam Mauqi’ul Islam Sual wa Jawab :

والخلاصة أن الأولى بالإنسان أن يقضي هذا الوقت فيما يعود عليه بالنفع في الدنيا والآخرة، وإن نام فيه ليتقوى على عمله فلا بأس، لا سيما إذا كان لا يتيسر له النوم في غير هذا الوقت من النهار

Kesimpulannya adalah hendaknya seseorang melakukan bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya pada waktu ini (setelah Subuh). Dan jika dia tidur (setelah Subuh) untuk menguatkan dirinya bekerja, maka tidak mengapa. Lebih-lebih apabila tidak memungkinkan baginya untuk tidur di siang hari, kecuali pada waktu ini (setelah Subuh). (Mauqi’ul Islam Sual wa Jawab, jilid 7 halaman 966).

Oleh sebab itu, tidak mengapa istirahat, namun alangkah lebih bagusnya untuk membaca Al-Qur’an atau berdzikir terlebih dahulu, walaupun sebentar, asalkan sudah membaca Al-Qur’an dan berdzikir kepada Allah. Setelah itu barulah beristirahat untuk menguatkan dirinya bekerja di siang harinya.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Ini Hukum Sendawa di depan Banyak Orang

Islam adalah agama yang sempurna, segala sesuatu diajarkan di dalam Islam, dari hal yang dianggap spele oleh kebanyakan orang sampai masalah yang paling besar. Itulah indahnya Islam, di mana Islam penuh dengan aturan. Segala sesuatu dikerjakan sesuai aturannya, tidak asal-asalan, namun ada tuntunannya dari baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Salah satu adab yang diajrkan di dalam Islam adalah adab bersendawa, bagaimana jika dia bersendawa di depan banyak orang, apakah ini sesuai dengan yang dijarkan Islam atau tidak? Apakah ini beradab atau tidak? Hal ini diatur di dalam Islam melalui yang dicontohkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhuma berkata :

تَجَشَّأَ رَجُلٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: كُفَّ عَنَّا جُشَاءَكَ فَإِنَّ أَكْثَرَهُمْ شِبَعًا فِي الدُّنْيَا أَطْوَلُهُمْ جُوعًا يَوْمَ القِيَامَةِ

Ada seorang lelaki yang bersendawa di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tahan sendawamu di hadapan kami. Karena orang yang paling sering kenyang di dunia, paling lama laparnya kelak di hari kiamat. (HR. At-Tirmidzi, hadist no. 2478).

Imam At-Tirmidzi rohimahullah mengomentari hadist di atas di dalam kitabnya Sunan At-Tirmidzi :

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الوَجْهِ

Hadist ini derajatnya Hasan Ghroib dari jalur ini. (Sunan At-Tirmidzi, 4 halaman 230).

Di dalam Mauqi’ul Islam Sual wa Jawab, pengarang menuqil perkataan Syekh Al-Mubarokfuri rohimahullah di dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi bi syarahi Jaami’ At-Tirmidzi :

قوله: (كف عنا) أمر مخاطب من الكف بمعنى الصرف والدفع، وفي رواية شرح السنة: أقصر من جشائك، (جشاءك) بضم الجيم ممدود، أو النهي عن الجشاء هو النهي عن الشبع ; لأنه السبب الجالب له

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : (tahanlah sendawamu agar tidak terdengar oleh kami) adalah perintah untuk menahan, maksudnya mencegah sendawanya. Dan di dalam riwayat lain sebagaimana disebutkan di kitab Syarhus Sunnah : “kurangi sendawamu!”. Atau hadist ini juga melarang untuk sendawa, maksudnya larangan untuk makan terlalu kenyang. Karena makan terlalu kenyang akan menyebabkan sendawa. (Mauqi’ul Islam Sual wa Jawab, jilid 7 halaman 716).

Kenapa Rasulullah melarang bersendawa di depan banyak orang?

Karena itu merupakan adab seorang muslim, dan terkadang orang yang mendengarnya juga merasa risih dan berpikiran bahwa yang bersendawa tersebut tidak sopan dan sebagainya.

Selain itu juga, bersendawa ditimbulkan karena makan yang terlalu kenyang, dan hendaknya tidak makan dan minum berlebihan. Makan kenyang tidaklah dilarang, namun jika terlalu kenyang bisa menimbulkan mudorot bagi dirinya sendiri seperti susah bernafas, susah berdiri ataupun bergerak sedikit saja tidak mengenakkan anggota badan. Efek terlalu kenyang juga bisa membuat seseorang menjadi malas, malas beribadah, malas beraktifitas dan bawannya ngantuk dan pengen tidur.

Imam Al-Munawi rohimahullah berkata di dalam kitabnya At-Tafsir bi Syarhil Jaami’ As-Shogir :

لِأَن من كثر أكله كثر شربه فَكثر نَومه فكسل جِسْمه

Karena orang yang banyak makan dan minumnya, maka dia akan banyak tidurnya dan menjadi malaslah badannya. (At-Tafsir bi Syarhil Jaami’ As-Shogir, jilid 1 halaman 312).

Maka dari itu baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk makan terlalu kenyang, dan hendaknya dia makan sesuai dengan porsi yang ditetapkan, sebagaimana yang disebutkan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadist yang lain.

Nah, bersendawa itu juga tidak dilarang, namun baginda Rasulullah melarang bersendawa di depan orang banyak untuk menjaga adab sebagai seorang muslim dan hukumnya tidaklah haram, hanya menjaga adab saja di depan banyak orang.

Hukum Bersendawa :

Di dalam Mauqi’ul Islam Sual wa Jawab disebutkan :

والتجشؤ بصوت مرتفع ليس محرمًا، وإنما يعد فعله خلاف الأدب، إن كان بحضرة الآخرين، حتى لا يتأذوا من الصوت والرائحة

Dan sendawa dengan suara keras tidaklah haram, hanya saja perbuatan ini tidak sesuai adab. Terutama ketika ada orang lain, sehingga mereka tidak terganggu dengan suara dan baunya. (Mauqi’ul Islam Sual wa Jawab, jilid 7 halaman 716).

Oleh sebab itu hukumnya bukanlah haram, hanya saja menjaga adab itu diutamakan di dalam Islam, maka dari itu baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang bersendawa keras di depan banyak orang dan hendaknya seorang muslim menjauhi perbuatan seperti ini dalam rangka menjaga adab di hadapan orang banyak.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Hidup dan Mati itu di Tangan Allah, Buat Apa Menyibukan Diri Menghindari Corona dengan Mengikuti Protokol Kesehatan?

Tak sedikit ketika kita menasihati orang-orang untuk memperhatikan protokol kesehatan di saat pandemi corona saat ini mereka malah menjawab dengan redaksi seperti di atas, bahwa hidup dan mati sudah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala, lalu buat apa kita disibukan dengan memperhatikan protokol kesehatan?, cukuplah dengan doa kepada-Nya dan biarkan akhir hidup ini sebagaimana Allah Subhanallah Wata’ala yang mengaturnya! Bahkan sampai ada yang kontra dengan hasil fatwa MUI, hingga mengatakan, “MUI telah keliru mengeluarkan fatwa tentang panduan beribadah di masa pandemik, ulama kok takutnya dengan corona, di mana keimanan para ulama MUI terhadap taqdir Allah?”. La Haula Wala Quwata Illa Billah…

Perkataan di atas memang benar karena yang berhak untuk ditakuti adalah Allah Subhanahu Wata’ala, namun cara menyikapinya seperti di atas adalah sebuah kesalahan besar yang jauh dari kebenaran sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala kehendaki.

Para ulama di MUI bahkan yang ada di negara Islam mereka semua bukan berfatwa atas hawa nafsu mereka semata, namun karena yang memerintahkan untuk menghindari kemudharatan itu justru dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

… وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ

“… dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”[1]

Dalam firman ini sudah jelas bahwa Allah Subhanahu Wata’ala sendiri yang memerintahkan bagi setiap orang yang beriman untuk menghindari sebuah kebinasaan yang dapat membinasakan dirinya. Allah Subhanahu Wata’ala juga berfirman di dalam surah lainnya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ خُذُوا۟ حِذْرَكُمْ فَٱنفِرُوا۟ ثُبَاتٍ أَوِ ٱنفِرُوا۟ جَمِيعًا

“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!”[2]

Ayat ini menjadi pesan dari Allah Subhanahu Wata’ala kepada orang-orang beriman yang saat itu bersama Nabi Shallahu ‘Alayhi Wasallam untuk menyiapkan segala perlengkapan perang sebelum maju berjihad di jalan Allah di medan peperangan. Maka wajarlah ketika kita membaca kisah riwayat Nabi dalam peperangan beliau selalu menggunakan baju besi, Mighfar (topi dari baja), perisai pelindung dan perlengkapan lainnya untuk melindungi diri dari musuh. Maka apakah pantas kita juga mengatakan beliau Shallahu ‘Alayhi Wasallam itu takut kepada musuh yang dihadapinya melebihi takut kepada Allah Ta’ala?

Kemudian saat hijrahnya Nabi dari Mekah ke kota Madinah, didapati dalam riwayat bahwa beliau dan para sahabatnya berhijrah dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi di waktu malam hari, bahkan melalui jalan tidak biasa dilalui oleh orang lain yang jarak tempuhnya lebih jauh dari jalur biasanya, hal tersebut dilakukan agar pergerakan beliau tidak diketahui orang-orang kafir Qurays. Maka apakah pantas kita mengatakan jika beliau Shallahu ‘Alayhi Wasallam lebih takut terhadap orang-orang kafir Qurays melebihi ketakutannya kepada Allah Subhanahu Wata’ala?

Begitu juga perintah Nabi untuk menjauhi seseorang yang sedang tertimpa penyakit yang menular, beliau bersabda:

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الأَسَدِ

“Larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa”.[3]

Apakah dengan hadits ini kita juga mengatakan bahwa Nabi Shallahu ‘Alayhi Wasallam takut pada penyakit kusta sehingga beliau memerintahkan untuk pergi menjauhinya layaknya lari menjauhi singa?.

Tentu dalam hadits tersebut Nabi Shallahu ‘Alayhi Wasallam memberikan penjelasan bahwa menjauhkan diri dari wabah penyakit atau apapun yang dapat membinasakan jiwa adalah wajib. Dan disinilah harus kita fahami bahwa MUI menerbitkan fatwa untuk menjauhi penyakit Corona dengan memperhatikan protokol kesehatan bukanlah sebatas asal copy paste, tapi pastilah penuh pertimbangan, karena yang memerintahkan terlebih dahulu untuk menjauhi kemudhorotan adalah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.

Lantas apakah dalam ibadah di masjid juga kita tetap harus memperhatikan protokol kesehatan sebagaimana Fatwa Ulama? Bukankah di tengah wabah seperti ini kita harus banyak mendekatkan diri kepada Allah Subhanallahu Wata’ala?

Saudaraku… anda tentu sepakat bahwa dalam beribadah pun wajib kita memiliki ilmu dari bagaimana syarat sahnya ibadah hingga bagaimana panduannya. Maka begitu juga dalam beribadah ditengah wabah seperti ini. Dahulu saat Nabi Shallahu ‘Alayhi Wasallam menjumpai hujan tatkala waktu sholat telah masuk beliau pun memerintahkan bilal untuk menambah lafadz adzan “Shollu Fi Buyutikum” atau “Ala Shollu fi Buyutikum” yang artinya “Sholatlah kalian di rumah-rumah kalian” menunjukan untuk tidak melaksanakan sholat berjama’ah terlebih dahulu. Padahal itu hanyalah hujan, apakah dalam hal ini juga Nabi Shallahu ‘Alayhi Wasallam takut baju beliau basah atau kotor karena lumpur? Bukankah sholat berjamaah ganjarannya lebih besar dari sholat sendirian?.

Bahkan tatkala beliau bersafar pada suatu daerah beliau pun menqashar sholat yang awalnya empat rakaat menjadi dua rakaan dan mengganti sholat jum’at dengan sholat dzuhur, padahal sahabat yang bersama beliau jumlahnya ratusan hingga ribuan. Andaikata anda hidup di zaman Nabi Shallahu ‘Alayhi Wasallam apakah anda juga akan memprotes pendapat beliau Shallahu ‘Alayhi Wasallam?

Jika dalam keadaan seperti itu saja beliau Shallahu ‘Alayhi Wasallam memerintahkan untuk menqashar sholat, mengganti sholat jum’at menjadi sholat dzuhur, bahkan tatkala hujan beliau memerintahkan untuk tidak sholat berjama’ah maka bagaimana dalam keadaan wabah penyakit mematikan pada saat ini, yang telah menjadi pandemi di mana-mana bahkan ahli kesehatan telah menyatakan bahwa penyebaran penyakit ini tergolong tanpa gejala pada korbannya. Oleh karenanya memperhatikan protokol kesehatan yang telah di tentukan dalam beribadah di masjid tentu diwajibkan demi menghindari sebuah masalah yang lebih besar. Sebuah kaidah berbunyi:

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

“Mencegah kemudharatan lebih diutamakan dibanding mengambil manfaat”

Seperti merapatkan shaf dalam sholat berjama’ah adalah sunnah Nabi namun mencegah penularan penyakit ini dengan menjaga jarak masing-masing satu hingga dua meter lebih diutamakan. Begitu juga menggunakan masker, dll.

Maka saudaraku… disinilah pentingnya sebuah ilmu dalam menyikapi permasalahan yang ada. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang beragama dengan hawa nafsu, egoisme dan perasaan tapi tanpa ilmu. Dengarkanlah seruan ulama karena mereka adalah pewaris Nabi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

العلماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياء لم يورثوا ديناراً ولا درهماً، وإنما ورثوا العلم. فمن أخذه أخذ بحظ وافر

“Ulama adalah pewaris para nabi, dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, dan yang mereka wariskan hanyalah ilmu, maka siapapun yang mengambilnya (ilmu_pen) maka sungguh dia telah mengambil sebagian dari warisan tersebut” [4]

Karena merekalah yang sangat mendalam mempelajari perataan Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya. Bahkan kematian mereka adalah sebuah fitnah terbesar bagi umat ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” [5]

Oleh karenanya, jika seruan para ulama kita tidak patuhi, maka dengan dasar apa kita berani menentang fatwa-fatwa mereka?

Bukankah Allah Subhanahu Wata’ala telah berfirman:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا, ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”[6]

Tentang ayat ini Imam At-Tabrani menafsirkan dalam tafsirnya:

الذي يجتهدون في الباطل، ويحسبون أنهم على حقّ، ويجتهدون في الضلالة، ويحسبون أنهم على هدى، فضلّ سعيهم في الحياة الدنيا، وهم يحسبون أنهم يحسنون صنعا

“yang mereka lakukan sungguh-sungguh dalam kebatilan. Dan mereka menganggap amalan mereka itu benar. Sehingga mereka pun bersungguh-sungguh dalam kesesatan dan menganggap diri mereka di atas petunjuk. Maka sesatlah mereka dalam kehidupan dunia dan mereka mengira diri mereka sedang melakukan kebaikan” . [7]

Kesimpulannya, menghindari virus corona bukan berarti kita lebih takut kepada makhluk melebihi rasa takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala, bahkan mengikuti arahan para ulama dengan memperhatikan protokol kesehatan selama masa pandemi Corona saat ini merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Justru keluar rumah tanpa memperhatikan protokol kesehatan dapat menjadi kedzoliman bagi dirinya dan orang lain, karena tidak disadari pelakunya telah membuka celah penyakit masuk ketubuhnya yang dapat menjadikannya tidak dapat totalitas dalam beribadah, dan kemungkinan besar akan menularkan penyakit tersebut kepada orang lain yang masih sehat. Na’udzu Billahi Min Dzalik

***

Oleh: Deky Pramana


[1] QS. Al-Baqarah: 195

[2] QS. An-Nisa: 71

[3] HR. Muslim: 5380

[4] HR. Al- Bukhary dalam Shahih Bukhary, bab. Al-‘Ilmu Qablal Qoul Wal ‘Amal, juz 1, hal. 25

[5] HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673

[6] QS. Al-Kahfi: 103-104

[7] Muhamad bin Jarir At-Tabrani, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Qur’an, (Mu’assasah Ar-Risalah, cet 1, 1420 H/2000 M), juz 18, hal 127