ANTARA AGAMA DAN BUDAYA, IBADAH DAN TRADISI (Refleksi Pemurnian Ibadah Menyambut Ramadhan)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 42)

Tamhid

Diantara problem yang dihadapi umat saat ini adalah problem membedakan antara agama dan budaya, ibadah dan mu’amalah, urusan agama dan dunia, antara sunnah dan bid’ah. Mungkin secara teoritis dapat dijelaskan, tapi dalam praktik kehidupan sering menimbulkan kerancuan, tidak jelas, rancu, dan sulit dibedakan. Problem utama terletak antara apakah yang dilakukan bernilai ibadah atau tidak? Dan apakah tiap adat, budaya, mu’amalah yang dikerjakan dapat bernilai ibadah?

Berbicara masalah tradisi, adat, duniawi, tentunya perlu dicermati lebih mendalam apa sesungguhnya yang dilakukan di dalamnya. Bertentangkah dengan aturan dan syariat agama? Atau sebaliknya, ada kesesuaian dengan syariat agama. Berikut dikelompokkan beberapa ragam tradisi yang berkembang di masyarakat;

  1. Tradisi yang sesuai dengan syariat, seperti: silaturahmi, menjenguk orang sakit, kerja bakti, dan lain-lain.
  2. Tradisi yang bertolak belakang dengan syariat. Semua tradisi yang mengandung kemaksiatan, seperti;
  3. Kesyirikan, seperti: sedekah bumi dan sesajen.
  4. Perbuatan dosa, seperti: hiburan maksiat dan peringatan kematian.
  5. Kezaliman kepada orang lain, seperti: larangan menikah karena tabrakan weton.
  6. Tradisi yang didiamkan syariat (mubah), seperti: jual beli dan arisan. Tradisi jenis ketiga ini diperbolehkan, selama tidak mengandung unsur yang diharamkan syariat.

Berkembangnya ragam tradisi dan budaya setidaknya menjadi satu kesatuan yang terpolakan dan tersistemkan turun temurun, bahkan menjadi warisan leluhur.

Berkembangnya tradisi dan budaya Barat yang masuk ke dunia Islam cukup disambut hangat para remaja. Sebutlah sebagai contoh perayaan hari Valentine yang berkembang pada kalangan remaja ABG dengan bertukar bingkisan, bersemarak warna pink, berucap rasa kasih sayang, berungkap cinta dan berbagai ekspresi lainnya. Atau ragam tradisi dan budaya berkembang di masyarakat awam saat ini, yang bila dirujuk berdasarkan pandangan dasar agama Tawhid, yakni Islam, boleh jadi tidak ditemukan landasan dasar hukum dan penyelenggarannya.

Lantas, sebagai seorang Muslim yang kaffah, akankah bertahan pada tradisi mayoritas dan meninggalkan paham minoritas? Haruskah kehilangan dasar dan hukum keabsahan atau kebenaran Islam dan menggantikannya dengan tradisi setempat atas dasar toleransi dan saling menghargai? Bolehkah meninggalkan hukum asal ibadah yang disyariatkan (al-masyru’) dan menggantikannya tanpa alasan dan hujjah yang dapat dibenarkan? Tulisan berikut mencoba menjawab kegalauan dan kegelisahan problem keummatan saat ini.

Problem Mayoritas dan Minoritas

Adanya beberapa pandangan yang menilai kebenaran tradisi, budaya, adat bahkan dalam perkara agama hingga kebenaran ibadah yang diukur dari kebenaran yang dilakukan mayoritas dan menyalahkan minoritas. Padahal yang dilakukan mayoritas orang (dalam tradisi) belum tentu sesuai (benar dan sesuai) dengan syariat dan tuntunan, sebagaimana yang dikerjakan minoritas orang (dalam tuntunan) belum tentu salah dan dapat dibenarkan sebagai sebuah tradisi atau budaya. Allah Swt berfirman;

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُم إِلاَّ يَخْرُصُوْنَ

“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’am: 116)

Allah Swt juga berfirman:

وَلكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ

“Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Al-A’raf: 187)

وَمَا وَجَدْنَا لأَكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقُوْنَ

“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik.” (Al-A’raf: 102)

Berdasarkan beberapa dalil tersebut, adanya beberapa masalah yang terjadi di masa jahiliyyah menuntut ukuran kebenaran dengan jumlah mayoritas, bahkan menilai sebuah kesalahan dengan jumlah minoritas. Walhasil, sesuatu yang diikuti mayoritas (kebanyakan) orang diartikan sebuah kebenaran, dan yang diikuti minoritas (segelintir) orang diartikan sebuah kesalahan. Patokan sekelompok manusia di masa tersebut (jahiliyyah) yang menilai ukuran benar dan salah sampai hari ini, di era modern saat ini, bahkan dalam ragam kehidupan manusia modern zaman now, menjadi ukuran dan ‘kiblat’ yang diikuti banyak orang. 

Adalah sebuah kesalahan besar, pengkaburan yang haq, bahkan tipu-daya yang terus berkembang, tatkala kebanyakan orang menghilangkan nilai kebenaran agama Allah Swt saat setiap manusia bertahan dengan paham jahiliyyah-nya. Bahkan meng-‘Amini’, mengakui dan meyakini orang-orang yang tidak berilmu (orang-orang bodoh), pengikut mayoritas yang meninggalkan kebenaran ilmu (pengetahuan) tentang kebenaran sebuah amalan.

Oleh sebab itu, dibutuhkan pengetahuan asal-muwasal sebuah amalan, agar hukum asal sebuah amal ibadah itu tidak dikaburkan (dihilangkan, pen.). Agar tidak dikaburkan, dibutuhkan pengetahuan yang benar. Dan kebenaran hanya dapat diukur berdasarkan tuntunan al-Quran dan al-Hadits. Bagaimana kedudukan asal kebenaran sebuah amalan (pekerjaan)? Penjelasan berikut turut menerangkan dan menguatkan pilihan sebuah kebenaran.

Hukum Asal sebuah Ibadah

Sebelum dikaji lebih mendalam, perlu diketahui adanya ‘Hukum asal dalam semua Ibadah’. Disebutkan dalam Qowaid al Fiqhiyyah karya As-Syeikh as-Sa’dhiy;

الأصل في العبادات التحريم

Al aslu fil ibaadati at tahrim (hukum asal ibadah adalah haram).

وليس مشروعا من الأمور غيرُ الذي في شرعنا مذكور

Walaisal masru’an minal umuri ghoirul ladhi fi syar’inaa madhkurun
(Dan semua perkara agama yang tidak ada dalam syari’at kita maka itu bukanlah syari’at Islam)

Sebagaian ulama mengungkapan kaidah ini dengan redaksi yang berbeda  diantaranya:

الاصل في العبادات الحظر الا بنص

Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam semua ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya)

Dalam Mulakkhos Qowaidul Fiqhiyyah, As-Syeikh Al Utsaimin yang di ringkas oleh Abu Humaid Abdullah Al Falasy dikatakan dalam kaidah ke-empat belas:

القاعدة الرابعة عشرة: الأصل في العبادات المنع

Hukum asal dalam semua ibadah adalah dilarang.

Dalam mandhumah diatas terdapat kaidah: hukum asal dalam peribadatan adalah haram, maka tidak boleh bagi siapapun untuk beribadah kepada Allah Swt dengan suatu ibadah kecuali ada dalil dari Al-Qur’an dan as sunnah yang mensyariatkan ibadah tersebut, dan tidak boleh membuat bentuk ibadah-ibadah  yang baru dan beribadah kepada Allah  dengannya, baik dalam bentuk ibadah yang baru yang diada-adakan dan tidak ada syari’atnya, atau menambah bentuk ibadah yang ada dengan sifat dan tata cara yang tidak ada contohnya dalam syari’at, atau mengkhususkan suatu ibadah pada waktu tertentu dan tempat tertentu yang tidak ada dalilnya dari al Qur’an dan As-Sunnah.

Bila dicermati baik-baik, sesuatu dinilai ibadah tentunya didasarkan pada rumusan fundamental (pandangan dasar) atas keabsahan dan kebenaran Islam sebagai agama Tawhid. Dalam pandangan Muhammadiyah dikenal dengan “Masâilul Khamsah” (Masalah Lima), yakni;  agama, dunia, ibadah, sabilullah dan qiyas. Bila diamati, (1) agama adalah syariat Islam yang dibawa Rasulullah SAW  dari apa yang diturunkan dalam al-Quran dan as-Sunnah berupa perintah dan larangan; (2) dunia adalah urusan yang manusia lebih mengerti urusan dunianya; (3)  Ibadah adalah bentuk ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan menaati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya; (4) Sabilullah adalah jalan yang menyampaikan kepada keridhaan Allah dengan amalan yang memuliakan kalimat (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya; (5) qiyas, merupakan jalan ijtihad dan istinbath dari nash-nash yang ada melalui persamaan ‘illat (sebab).

Demikianlah kaidah dasar sebuah ibadah, yang bila dicermati lebih mendalam, hanya disandarkan pada arti dan makna sesungguhnya dari ibadah, berikut penjelasannya.

Esensi Ibadah yang sesungguhnya

Secara bahasa, ibadah berarti merendahkan diri, tunduk, berserah diri dan patuh. Artinya bila diterminologikan berarti: (1) sikap taat kepada Allah Swt dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya; (2) merendahkan diri kepada Allah Swt dengan diiringi rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi; (3) sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Swt, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.

Tentunya firman Allah Swt dalam surah Adz-Dzaariyaat: 56-58 mengingatkan;

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]

Diantara hikmah penciptaan manusia adalah melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah Swt. Sebagaimana tidak adanya kebutuhan sang Pencipta atas ibadah hamba-Nya, melainkan manusia yang bergantung dan membutuhkan ibadah kepada Allah Swt.

Dalil-dalil yang masyru’ tentang Ibadah

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” ( QS Al-Imran : 31)

وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan ikutilah Dia (Muhammad)  supaya kamu mendapat petunjuk”.(QS  Al-A’raf : 158)

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya benar-benar telah ada pada (diri) Rasulullah SAW suri teladan yang baik bagimu.” (QS al ahzab:21)

وقوله: وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS Al-Hasyr : 7).

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Qs As-Syura’ : 21)

Valentine, tradisi manakah?

Sejarah mencatat bahwa Valentine’s Day berawal dari upacara ritual agama Romawi kuno, dan di tahun 496 masa Paus Gelasius I, dijadikanlah upacara tersebut sebagai upacara resmi agama Nasrani yang bernama Valentine’s Day. Nama tersebut dirayakan untuk menghormati St. Valentie yang mati di 14 Pebruari.

Sebagai seorang Muslim, tentunya diharamkan ikut merayakan hari besar pemeluk agama lain, seperti Nasrani, Paganis (penyembah berhala) dari Romawi kuno. Sebagaimana difirmankan Allah Swt;

Katakanlah, “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 1-6)

Valentine; Budaya dan Tradisi Syirik

Istilah “Valentine” berasal dari bahasa Latin yang berarti, “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Maha Kuasa”. Kata ini ditunjukan kepada Nimroe dan Lupercus, Tuhan orang Romawi”, yang disadari atau tidak, bila ada yang mengatakan “to be my Valentine”, berarti sama dengan meminta orang menjadi “Sang Maha Kuasa”.

Bukankah Islam tidak mengajarkan demikian? Bahkan ajaran tersebut adalah bentuk kesyirikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Icon si “Cupid (bayi bersayap dengan panah)” itu adalah putra Nimrod “the hunter” dewa matahari. Adanya istilah Tuhan Cinta, atau Dewa Cinta, atau lebi dikenal dengan Dewa Amor, adalah cerminan aqidah syirik yang di dalam Islam harus ditinggalkan jauh-jauh. Padahal atribut dan aksesoris hari valentine sulit dilepaskan dari urusan dewa cinta ini.

Adanya pergeseran sikap dan mental, mitos sesat ini berubah dari perayaan hari agama menjadi bentuk pergaulan bebas muda-mudi dari pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih. Bentuk tersebut berkembang menjadi kepercayaan untuk melakukan kemaksiatan seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, berciuman, petting bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja, dengan alasan, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang, bukan nafsu libido biasa.

Bukankah Islam mengharamkan praktik perzinaan, yang membedakan antara cinta dan zina, meskipun istilah dan ungkapan make love diartikan bercinta, yang hanya terkait perasan dan hati, namun bila makna make love atau bercinta adalah melakukan hubungan kelamin alias zina, maka tentunya sudah menyimpang dan mengalami distorsi yang salah. Allah Swt mengingatkan dalam firman-Nya;

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS Al-Isra’: 32)

***

Oleh; Dr. Eko Asmanto, MA.

Disampaikan dalam Kajian Ahad Pagi di At-Taqwa Mosque Blitar, pada 20 Rajab 1441 H, bertepatan dengan 15 Maret 2020 M.

(ig.; Ust_ekoasmanto)

(Youtube; Ustadz Eko Asmanto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *