Puasa pada bulan Ramadhan adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah yang sudah baligh dan berakal. Menahan dari makan dan minum, hawa nafsu, serta semua yang bisa membatalkan puasa.
Namun, puasa bukan hanya sekedar menahan makan dan minum serta syahwat, ada hal-hal yang perlu dijaga oleh seorang muslim dan muslimah yang walaupun tidak membatalkan puasa, tapi bisa merusak pahala puasa, seperti berbohong, ghibah, mencuri dan sebagainya. Semua perbuatan itu memang tidak membatalkan puasa menurut para ulama, namun bisa merusak pahala puasa. Jika pahala puasa rusak, maka dia akan rugi, karena dia menahan lapar dari pagi sampai petang, namun pahala puasanya rusak gara-gara dia melakukan maksiat, tentunya hal ini harus dihindari oleh seorang muslim dan muslimah.
Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan. (HR. Bukhari, hadist no. 1903).
Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani rohimahullah menuqil perkataan Imam Al-Baidhowi, beliau berkata :
وَقَالَ الْبَيْضَاوِيُّ لَيْسَ الْمَقْصُودُ مِنْ شَرْعِيَّةِ الصَّوْمِ نَفْسَ الْجُوعِ وَالْعَطَشِ بَلْ مَا يَتْبَعُهُ مِنْ كَسْرِ الشَّهَوَاتِ وَتَطْوِيعِ النَّفْسِ الْأَمَّارَةِ لِلنَّفْسِ الْمُطْمَئِنَّةِ فَإِذَا لَمْ يَحْصُلْ ذَلِكَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ نَظَرَ الْقَبُولِ
Imam Al-Baidhowi berkata : Bukanlah maksud syari’at puasa adalah menahan lapar dan dahaga saja. Dalam puasa haruslah bisa mengendalikan syahwat dan menaklukkan diri agar memiliki hati yang tenang. Maka apabila dia tidak melakukan seperti itu, maka Allah tidaklah menerima puasanya. (Fathul Baari, jilid 4 halaman 117).
Perkataan ulama jika seorang muslim bermaksiat kepada Allah seperti berbohong, ghibah dan lain sebagainya, maka puasanya rusak, tidak sampai batal.
Syekh Hisamuddin berkata di dalam kitabnya Fatawa Hisam :
وخلاصة الأمر أن تزكية الأنفس من مقاصد الصوم وأن فعل المعاصي والآثام يخل بذلك ولكنه لا يبطل الصيام بل ينقص الأجر والثواب. فعلى الصائم أن يجتنب كل المحرمات ويلتزم بكل ما أمر الله سبحانه وتعالى به حتى تتحقق فيه معاني الصوم الحقيقية، وإن لم يفعل ذلك فإنه لا ينتفع بصومه ويكون نصيبه من صومه مجرد الجوع والعطش، والعياذ بالله
Kesimpulan perintah bahwa menyucikan jiwa dari tujuan puasa, bahwa melakukan kemaksiatan dan dosa melanggar ketentuan puasa, akan tetapi tidak membatalkan puasa, hanya saja mengurangi pahala. Orang yang berpuasa harus menjauhi setiap yang diharamkan dan wajib mengerjakan setiap yang Allah perintahkan, hingga terealisasi makna puasa yang sesungguhnya. Dan jika dia tidak melakukan itu, maka puasanya tidak bermanfaat, dan puasa yang dia lakukan hanya semata-mata menahan lapar dan haus saja. Semoga Allah lindungi kita dari semua itu. (Fatawa Hisam, jilid 9 halaman 69).
Beliau (Syekh Hisamuddin) juga menuqil perkataan Imam An-Nawawi rohimahullah, beliau berkata :
قال الإمام النووي: [وقول المصنف ينبغي للصائم أن ينزه صومه عن الغيبة والشتم، معناه يتأكد التنزه عن ذلك في حق الصائم أكثر من غيره للحديث وإلا فغير الصائم ينبغي له ذلك أيضاً ويؤمر به في كل حال، والتنزه التباعد فلو اغتاب في صومه عصى ولم يبطل صومه عندنا وبه قال مالك وأبو حنيفة وأحمد والعلماء كافة إلا الأوزاعي فقال يبطل الصوم بالغيبة ويجب قضاؤه] المجموع 6/357.وقال السفاريني: الفروع: ولا يفطر بالغيبة ونحوها، نقله الجماعة اتفاقاً. وقال الإمام أحمد رضي الله عنه: لو كانت الغيبة تفطر ما كان لنا صوم. وذكره الموفق إجماعاً، لأن فرض الصوم بظاهر القرآن الإمساك عن الأكل والشرب والجماع، وظاهره صحته إلا ما خصه دليل
Imam An-Nawawi berkata : (Perkataan pengarang, seharusnya bagi orang yang berpuasa menjauhkan dirinya dari Ghibah dan Menghina (menyumpah serapah). Artinya : dia meyakinkan dirinya untyuk menjauhi itu untuk kebaikan dia berpuasa lebih banyak manfaatnya dari yang lainnya berdasarkan hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sekalipun dia tidak sedang mengerjakan puasa, maka dia juga harus menjauhi hal itu, dan dia diperintahkan untuk menjauhi hal-hal yang buruk tersebut di setiap waktu. Dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa merusak puasa, sekalipun dia memfitnah dalam keadaan berpuasa, durhaka, maka puasanya tidak batal di sisi kami, dan ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan ulama seluruhnya, kecuali Imam Al-Auza’i, maka dia berkata : puasanya batal apabila dia melakukan ghibah dan wajib baginya mengqodho’ puasanya. (Al-Majmu’, jilid 6 halaman 357). Imam As-Safarini berkata : Tidak membatalkan puasa apabila dia melakukan ghibah dan semacam itu, dan ini dinuqil dari perkataan banyak ulama dan menjadi kesepakatan. Imam Ahmad rodhiyallahu ‘anhu berkata : Seandainya ghibah itu membatalkan puasa, lebih-lebih lagi tidur di menurut kami. Dan disebutkan ada kesepakatan ulama, kewajiban puasa yang tertulis di dalam Al-Qur’an adalah menahan dari makan, minum dan jima’. Itulah zohirnya yang tertulis di dalam Al-Qur’an, kecuali ada dalil yang mengkhususkannya. (Fatawa Hisam, jilid 9 halaman 69).
Oleh karnanya, jauhilah perbuatan-perbuatan yang tercela ketika sedang puasa, agar tidak merusak pahala puasa. Begitu juga di luar puasa, maka dia tetap harus menjauhi perbuatan-perbuatan tercela, karena semua itu tidak disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semoga bermanfaat.
Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi