Tiga Hikmah dalam Maulid Nabi SAW
Adalah nikmat yang agung bagi manusia, pada bulan Rabi’ul Awal, 15 abad silam, terlahir seorang anak manusia yang kelak akan membawa pengaruh besar bagi peradaban dunia. Seorang bayi dari bangsa Arab yang oleh kakeknya diberi nama Muhammad yang artinya terpuji. Muhammad SAW. diutus Allah untuk menyempurnakan perilaku mulia manusia. Tatkala manusia sebagai makhluk beradab berada di ambang kehancuran. Allah berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk rahmat bagi semesta alam(Al-Anbiya’ 107)
Selain sebagai ekspresi rasa syukur atas kelahiran Rasulullah SAW, substansi dari peringatan Maulid Nabi adalah mengukuhkan komitmen loyalitas pada beliau. Setidaknya, ini terwujud dengan tiga hal.
Pertama, meneguhkan kembali kecintaan kepada Rasulullah SAW. Bagi seorang mukmin, kecintaan terhadap Rasulullah. adalah sebuah keniscayaan, sebagai konsekuensi dari keimanan.
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orangtua dan anaknya. (HR. Bukhari, 12).
Kedua, Meneladani perilaku dan perbuatan mulia Rasulullah SAW. dalam setiap gerak kehidupan kita. Allah SWT. berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (Al-Ahzab: 21)
Kita tanamkan keteladanan Rasul ini dalam keseharian kita, mulai hal terkecil, hingga paling besar, mulai kehidupan duniawi, hingga urusan akhirat. Tanamkan pula keteladanan terhadap Rasul ini pada putra-putri kita, melalui kisah-kisah sebelum tidur misalnya. Sehingga mereka tidak menjadi pemuja dan pengidola figur publik berakhlak rusak yang mereka tonton melalui acara televisi.
Ketiga, melestarikan ajaran dan misi perjuangan Rasulullah, dan juga para Nabi. Sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir, Rasul meninggalkan pesan pada umat yang amat dicintainya ini. Beliau bersabda :
“Aku tinggalkan pada kalian dua hal, kalian tidak akan tersesat dengannya, yakni Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya sallallahu alaihi wa sallam” (HR, Imam Malik).
Rasul juga mewariskan misi perjuangan kepada generasi penerus beliau, yakni para ulama’ dari masa ke masa. Mereka, para ulama’ adalah pewaris para Nabi. Rasulullah SAW. bersabda :
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ
Sesungguhnya ulama’ adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi ilmu. (HR. Abu Dawud, 3157 dengan sanad dho’if).
Namun, kecenderungan yang terjadi akhir-akhir ini, ulama’ kurang mendapat tempat di mata umat. Bukan saja diacuhkan, ulama’ bahkan mulai mendapat hujatan dan hinaan di sana-sini.
Fenomena ini menjadi salah satu pertanda zaman akhir sebagaimana diprediksikan Rasulullah SAW. Dalam kitab Nashaihul Ibad, tertera sebuah hadits yang memberikan gambaran tentang hal ini. Rasulullah bersabda
Akan datang suatu zaman atas umatku, mereka lari dari ulama dan fuqaha’, maka Allah pun menimpakan tiga bentuk cobaan.
Pertama, Allah akan menghilangkan barakah dari penghasilan mereka.
Kedua, Allah akan menguasakan mereka di bawah kekuasaan pemimpin yang dhalim.
Ketiga, mereka akan keluar dari dunia fana dengan tanpa membawa iman.
Pertama, Allah akan menghilangkan barokah dari penghasilan mereka. Bisa jadi, fenomena dewasa ini, krisis ekonomi berkepanjangan, adalah satu di antara ekses sikap menjauh dari ulama’. Mungkin, seseorang punya pekerjaan, punya penghasilan, akan tetapi ia jauh dari perasaan cukup, qana’ah, dan rasa syukur. Padahal, masih banyak yang bernasib lebih tragis darinya.
Kedua, bahwa Allah akan menguasakan umat ini di bawah kekuasaan pemimpin yang dholim, apakah akibat ini telah menimpa kita. Yang jelas, krisis politik dan krisis kepercayaan terhadap para pemimpin negeri ini selayaknya kita jadikan sebagai bahan renungan.
Ketiga, meninggalkan dunia fana tanpa membawa iman. Inilah akibat paling fatal yang harus kita khawatirkan.
Kebencian, penghinaan hingga hujatan adalah bentuk terburuk. Ibnu Hajar al-Haytami dalam karyanya Az-Zawajir menggolongkan sikap penghinaan sebagai salah satu dosa besar. Dikutipnya sebuah hadits, yang memperkuat pendapatnya ini. Rasulullah bersabda :
ثَلَاثَةٌ لَا يَسْتَخِفُّ بِهِمْ إلَّا مُنَافِقٌ : ذُو الشَّيْبَةِ فِي الْإِسْلَامِ وَذُو الْعِلْمِ وَإِمَامٌ مُقْسِطٌ
Tiga golongan ini tidak akan diremehkan kecuali oleh orang munafik, yakni orang tua yang telah lama memeluk Islam, orang berilmu (ulama’) dan pemimpin yang adil. (HR. Thabrani).
Bentuk lain dari menjauhi ulama’ adalah keengganan memperdalam pengetahuan agama. Ulama’ adalah pilar pokok tegaknya agama, di samping pilar lainnya. Jika dari masa ke masa, satu per satu ulama’ wafat, sementara penggantinya belum muncul, bukan tidak mungkin, suatu saat nanti tak ada seorangpun diantara umat Islam yang tahu tentang kewajiban dan larangan dalam agama. Hingga pada akhirnya, umat mendaulat seorang yang awam akan pengetahuan agama. Dia akan berfatwa tanpa berdasar pengetahuan, sesat dan menyesatkan. Persis seperti sabda Rasulullah :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤَسَاءَ جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu begitu saja dari diri seorang manusia, akan tetapi dengan mencabut nyawa ulama’. Hingga saat tidak tersisa seorang ulama’pun, manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya, dia ditanyai, lalu berfatwa tanpa berdasar ilmu, dia sendiri sesat lagi menyesatkan. (HR.Akhmad, 6222).
Satu di antara solusi pemecahan krisis multidimensi bangsa ini adalah kembali kepada ajaran Islam. Kembali kepada ulama’ pewaris Rasulullah, para ulama pengamal ilmu, dan pengabdi umat. Kita lestarikan misi dan ajaran mereka melalui regenerasi dan penempaan calon ulama’, melalui kancah tafaqquh fid din yang mereka asuh. Wallahu a’lam