Meluruskan Pernyataan : Anak Zina Itu Anak Haram dan Statusnya dalam Islam

Anggapan masyarakat selama ini tentang anak dari hasil zina, khususnya di Indonesia, mereka mengira bahwa anak hasil zina itu anak haram. Pernyataan demikian tidaklah benar, karena setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan fitrah (suci) tanpa membawa dosa apapun, baik dosa dari perbutan dosa orang tuanya maupun keluarganya yang lain.

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ البَهِيمَةِ تُنْتَجُ البَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ

Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Tapi ayahnya lah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi. Seperti hewan yang melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kamu melihat dia buntung? (HR. Bukhari, hadist no. 1385).

Imam Badruddin Al-‘Ainy rohimahullah mengomentari hadist di atas di dalam kitabnya ‘Umdatul Qory Syarah Shahih Al-Bukhari :

وَإِنَّمَا المُرَاد أَن كل من ولد على الْفطْرَة،. وَكَانَ لَهُ أَبَوَانِ على غير الْإِسْلَام نَقَلَاه إِلَى دينهما

Sesungguhnya yang dimaksud adalah bahwa setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Hanya saja orang tuanya yang beragama selain Islam lah yang membawa anak tersebut masuk ke agama mereka. (Umdatul Qory Syarah Shahih Al-Bukhari, jilid 8 halaman 214).

Nah, inilah pernyataan yang betul, di mana anak yang dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan suci (fitrah).

Lalu, bagaimana dengan anak hasil zina? Bukankah itu perbuatan haram?

Betul. Zina adalah perbuatan tercela dan termasuk dosa besar. Namun yang haram adalah perbuatan orang tuanya. Adapun anaknya tidak haram, karena dia dilahirkan tanpa membawa dosa siapapun ke dunia ini dan dalam keadaan tidak tau apa-apa tentang dunia ini, dan tentunya anak yang dilahirkan tidak menanggung dosa-dosa orang tua ataupun keluarganya.

Allah berfirman :

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ

Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (QS. Fatir : 18).

Oleh sebab itu, mulai sekarang jangan lagi beranggapan bahwa anak yang dilahirkan dari hasil zina itu adalah anak haram, karena yang haram itu adalah perbuatan ibu bapaknya, Adapun dia terlahir ke dunia ini dalam keadaan fitrah (suci) yang tidak mengetahui apa-apa dan tanpa membawa dosa sedikitpun serta tidak menanggung dosa dari orang tuanya ataupun pendahulu dari keluarganya.

Status Anak Hasil Zina

Para ulama berbeda pendapat tentang status anak hasil zina, apakah dinasabkan kepada bapak biologisnya setelah menikahi wanita yang dia zinai atau tidak.

Imam Al-Mawardi rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Haawi Al-Kabir :

فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الزانية خلية وليست فراشا لأحد يلحقها ولدها فمذهب الشافعي أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي، وَإِنِ ادَّعَاهُ وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بعد قيام البنية وبه قال ابن سيرين وإسحاق ابن رَاهَوَيْهِ وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادعاه بعد الحد ويلحقه إذا ملك الموطوة وَإِنْ لَمْ يَدِّعِهِ وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ

Maka apabila perempuan itu kosong, tidak menikah sampai persalinan, maka anak itu dinasabkan kepadanya (ibu). Menurut mazhab Syafi’i, anak itu tidak dinasabkan kepada lelaki yang berzina sekalipun dia mengakuinya. Imam Al-Hasan Al-Bashri berpendapat, hal itu dimungkinkan jika lelaki tersebut mengakuinya disertai bukti. Pendapat ini juga dipegang oleh Ibnu Sirin dan Ibnu Rahawaih. Ibrahim An-Nakha’i mengatakan : anak itu dinasabkan kepada seorang lelaki apabila dia mengakuinya setelah sanksi had dan anak itu dinasabkan kepada seorang lelaki apabila dia memiliki budak perempuan meskipun dia tak mengakui bayi itu sebagai anaknya. Imam Abu Hanifah mengatakan, anak itu dinasabkan kepada seorang lelaki yang menikahi ibunya meskipun sehari sebelum pesalinan, tetapi jika lelaki itu tidak menikahi ibunya, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepadanya. (Al-Haawi Al-Kabir, jilid 8 halaman 162).

Perinciannya sebagai berikut :

1. Jika perempuan yang berzina ini tidak menikah sampai dia persalinan, maka anak yang dilahirkan itu dinasabkan kepadanya, bukan kepada bapak biologis si anak.

2. Menurut mazhab Syafi’i, anak tersebut tidak dinasabkan kepada bapak bilogisnya sekalipun dia mengakuinya. Dalam artian anak tersebut dinasabkan ke ibunya.

3. Menurut Imam Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin dan Ibnu Rahawaih bahwa anak tersebut bisa dinasabkan ke bapak biologisnya jika :

A. Ayah biologisnya mengakuinya

B. Disertai bukti.

4. Ibrahim An-Nakha’i berpendapat : anak itu dinasabkan kepada seorang lelaki apabila dia mengakuinya setelah sanksi had.

5. Menurut Imam Abu Hanifah : Jika lelaki tersebut menikahi wanita meskipun sehari sebelum persalinan, maka anak tersebut dinasabkan kepadanya (bapak biologisnya). Akan tetapi jika lelaki tersebut tidak menikahi si wanita, maka nasab anak tidak bisa dinasabkan kepadanya (bapak biologisnya). Artinya dinasabkan kepada si wanita.

Imam Ibnul Qoyyim rohimahullah berkata di dalam kitabnya Zaadul Ma’aad :

فَكَانَ إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ يَذْهَبُ إِلَى أَنَّ الْمَوْلُودَ مِنَ الزِّنَى إِذَا لَمْ يَكُنْ مَوْلُودًا عَلَى فِرَاشٍ يَدَّعِيهِ صَاحِبُهُ، وَادَّعَاهُ الزَّانِي – أُلْحِقَ بِهِ، وَأُوِّلَ قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( «الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ» ) عَلَى أَنَّهُ حَكَمَ بِذَلِكَ عِنْدَ تَنَازُعِ الزَّانِي وَصَاحِبِ الْفِرَاشِ، كَمَا تَقَدَّمَ، وَهَذَا مَذْهَبُ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ، رَوَاهُ عَنْهُ إسحاق بِإِسْنَادِهِ فِي رَجُلٍ زَنَى بِامْرَأَةٍ، فَوَلَدَتْ وَلَدًا، فَادَّعَى وَلَدَهَا فَقَالَ: يُجْلَدُ وَيَلْزَمُهُ الْوَلَدُ. وَهَذَا مَذْهَبُ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ وَسُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ

Ishaq bin Rahawaih berpendapat tentang anak yang dilahirkan dari zina, apabila tidak ada pihak lain yang mengklaim bahwa itu anaknya, sedangkan yang berzina itu mengakuinya, maka anak tersebut disandarkan pada ayah biologisnya. Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : anak itu disandarkan kepada pemilik ranjang, bahwa orang yang berzina dengan si wanita berselisih dengan pemilik ranjang (suami si wanita). Ini juga yang jadi pendapat Al-Hasan Al-Bashri. Hal ini diriwayatkan dari Ishaq dengan sanadnya tentang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, lalu lahirlah anak dari hasil hubungan zina tersebut. Lalu laki-laki tersebut mengaku itu anaknya, maka dia dikenakan hukuman cambuk dan anak itu dinasabkan padanya. Ini juga yang jadi pendapat ‘Urwah bin Az-Zubair dan Sulaiman bin Yasar. (Zaadul Ma’aad, jilid 5 halaman 381).

Imam Ibnu Qudamah rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Mughni :

وَرَوَى عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ، عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ، أَنَّهُ قَالَ: لَا أَرَى بَأْسًا إذَا زِنَى الرَّجُلُ بِالْمَرْأَةِ فَحَمَلَتْ مِنْهُ، أَنْ يَتَزَوَّجَهَا مَعَ حَمْلهَا، وَيَسْتُرَ عَلَيْهَا، وَالْوَلَدُ وَلَدٌ لَهُ

Diriwayatkan dari Ali bin ‘Aashim, dari Abu Hanifah, beliau berkata : aku tidaklah mempermasalahkan apabila ada seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, lantas wanita tersebut hamil, kemudian laki-laki itu menikahinya dan menutupinya, maka anak tersebut menjadi anaknya. (Al-Mughni, jilid 6 halaman 345).

Kesimpulan :

1. Menurut mazhab Syafi’i : Anak tersebut tetap dinasabkan kepada sang ibu, dan tidak dinasabkan kepada bapak biologisnya, meskipun dia mengakuinya.

2. Menurut Imam Abu Hanifah : Anak tersebut dinasabkan kepada bapak bilogisnya jika dia mengakuinya dan menikahi wanita sebelum persalinan, walaupun satu hari sebelum persalinan.

3. Imam Al-Hasan Al-Bashri berpendapat : bahwa anak tersebut dinasabkan kepada bapak biologisnya jika dia mengakuinya dan setelah menjalani had (sanksi menurut islam bagi pelaku zina). Hal ini sebagaimana yang dinuqil oleh Ibnu Qudamah rohimahullah di dalam kitabnya Al-Mughni :

وَقَالَ الْحَسَنُ، وَابْنُ سِيرِينَ: يَلْحَقُ الْوَاطِئَ إذَا أُقِيمَ عَلَيْهِ الْحَدُّ وَيَرِثُهُ

Imam Al-Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin : Disandarkan kepada orang yang berzina (bapak biologisnya) apabila telah ditegakkan had baginya dan anak tersebut bisa mendapatkan warisan. (Al-Mughni, jilid 6 halaman 345).

Dan ini juga pendapat Imam An-Nakha’i rohimahullah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Al-Mawardi rohimahullah di dalam kitabnya Al-Haawi Al-Kabir di atas.

Semoga bermanfaat.

Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *