Siapa yang tidak kenal dengan Abu Jahal. Tokoh masyarakat Makkah yang terkenal dengan upayanya dalam meredupkan cahaya Islam di awal masa dakwah kenabian. Abu Jahal adalah gambaran bagi siapapun yang sangat getol dalam melawan dakwah Islam. Dengan sikap angkuh dan kasarnya sering mengintimidasi muslim yang lemah. Tak peduli apakah itu laki-laki atau perempuan, jika ia menyakini agama yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam maka ia akan diganggu hingga diancam olehnya, tak terkecuali Nabi Muhammad yang masih keponakannya.
Meskipun sosok abu jahal sudah lama mati, namun bukan berarti apa yang telah melekat kepadanya hilang begitu saja. Banyak orang seseudahnya yang secara sadar atau tidak sadar telah menjadi sosok yang dulu pernah dirasakan oleh Abu Jahal. Yakni merasa cukup dengan apa yang telah dimilikinya, merasa nyaman, dan aman, lantas senang bermaksiat kepada Allah, menghalangi dakwah Islam, menggangu aktivitas ibadah orang Islam, hingga mengancam keberadaan seorang muslim yang ada di sekitarnya.
Peringatan ini telah Allah hadirkan dalam kitabnya di Surah Al-Alaq ayat 6 hingga 8 dan berikut akan kami hadirkan tafsir ayat tersebut dari kitab Tafsir Al-Munir.
كَلَّآ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَيَطْغٰىٓ ۙاَنْ رَّاٰهُ اسْتَغْنٰىۗ
Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas, apabila melihat dirinya serba cukup. (QS. Al-Alaq: 6-7)
Wahai Manusia, berhentilah kamu dari kekufuran kepada Allah dan perbuatanmu yang melampaui batas dalam bermaksiat karena dirimu melihat dirimu sudah kaya raya dengan harta, kekuatan, dan para pengikut. Ada yang mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah sungguh perkara manusia itu sangat mengherankan. Dia merasa hina dan lemah pada saat kondisi fakir dan melampaui batas dalam bermaksiat, takabur, dan membangkang sehingga merasa dirinya mampu dan kaya. Mayoritas ahli tafsir mengatakan bahwa maksud dari kata al-insaan (manusia) yang disebutkan di dalam ayat tersebut adalah Abu jahal dan orang-orang semisalnya.
Kemudian Allah Ta’ala mengancam dengan siksa di akhirat, Allah berfirman,
اِنَّ اِلٰى رَبِّكَ الرُّجْعٰىۗ
Sungguh, hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali(mu). (QS. Al-Alaq: 8)
Sesungguhnya tempat kembali hanyalah kepada Allah Ta’ala, tidak kepada yang lain. Allahlah yang akan menghitung harta mansuia dari mana dikumpulkan dan kemana didermakan. Perlu diperhatikan bahwa kalimat ini menggunakan ushlub iltifaat (peralihan) sebagai pembebanan bagi manusia karena mengancam akan adanya balasan bagi orang-orang yang melampaui batas dalam bermaksiat.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, “Ada dua orang rakus yang tidak akan pernah kenyang; pencari ilmu dan pencari dunia. Keduanya tidak sama, Pencari ilmu akan semakin menambah ridha Allah, sedankan pencari dunia, akan bertambah membangkang.” Kemudian Abdullah bin Mas’ud membaca ayat, اِنَّ الْاِنْسَانَ لَيَطْغٰى ۙاَنْ رَّاٰهُ اسْتَغْنٰىۗ dan mengenai pencari ilmu, Abdullah bin Mas’ud membaca ayat, إِنَّما يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبادِهِ الْعُلَماءُ hal senada diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam secara marfu’, beliau bersabda,
مَنْهُوْمَانِ لَا يَشْبِعَانِ: طَالِبُ عِلْمٍ، وَطَالِبُ دُنْيَا
“Dua orang rakus yang tidak akan pernah kenyang, pencari ilmu dan pencari dunia.”