Tak sedikit ketika kita menasihati orang-orang untuk memperhatikan protokol kesehatan di saat pandemi corona saat ini mereka malah menjawab dengan redaksi seperti di atas, bahwa hidup dan mati sudah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala, lalu buat apa kita disibukan dengan memperhatikan protokol kesehatan?, cukuplah dengan doa kepada-Nya dan biarkan akhir hidup ini sebagaimana Allah Subhanallah Wata’ala yang mengaturnya! Bahkan sampai ada yang kontra dengan hasil fatwa MUI, hingga mengatakan, “MUI telah keliru mengeluarkan fatwa tentang panduan beribadah di masa pandemik, ulama kok takutnya dengan corona, di mana keimanan para ulama MUI terhadap taqdir Allah?”. La Haula Wala Quwata Illa Billah…
Perkataan di atas memang benar karena yang berhak untuk ditakuti adalah Allah Subhanahu Wata’ala, namun cara menyikapinya seperti di atas adalah sebuah kesalahan besar yang jauh dari kebenaran sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala kehendaki.
Para ulama di MUI bahkan yang ada di negara Islam mereka semua bukan berfatwa atas hawa nafsu mereka semata, namun karena yang memerintahkan untuk menghindari kemudharatan itu justru dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
… وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
“… dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”[1]
Dalam firman ini sudah jelas bahwa Allah Subhanahu Wata’ala sendiri yang memerintahkan bagi setiap orang yang beriman untuk menghindari sebuah kebinasaan yang dapat membinasakan dirinya. Allah Subhanahu Wata’ala juga berfirman di dalam surah lainnya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ خُذُوا۟ حِذْرَكُمْ فَٱنفِرُوا۟ ثُبَاتٍ أَوِ ٱنفِرُوا۟ جَمِيعًا
“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!”[2]
Ayat ini menjadi pesan dari Allah Subhanahu Wata’ala kepada orang-orang beriman yang saat itu bersama Nabi Shallahu ‘Alayhi Wasallam untuk menyiapkan segala perlengkapan perang sebelum maju berjihad di jalan Allah di medan peperangan. Maka wajarlah ketika kita membaca kisah riwayat Nabi dalam peperangan beliau selalu menggunakan baju besi, Mighfar (topi dari baja), perisai pelindung dan perlengkapan lainnya untuk melindungi diri dari musuh. Maka apakah pantas kita juga mengatakan beliau Shallahu ‘Alayhi Wasallam itu takut kepada musuh yang dihadapinya melebihi takut kepada Allah Ta’ala?
Kemudian saat hijrahnya Nabi dari Mekah ke kota Madinah, didapati dalam riwayat bahwa beliau dan para sahabatnya berhijrah dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi di waktu malam hari, bahkan melalui jalan tidak biasa dilalui oleh orang lain yang jarak tempuhnya lebih jauh dari jalur biasanya, hal tersebut dilakukan agar pergerakan beliau tidak diketahui orang-orang kafir Qurays. Maka apakah pantas kita mengatakan jika beliau Shallahu ‘Alayhi Wasallam lebih takut terhadap orang-orang kafir Qurays melebihi ketakutannya kepada Allah Subhanahu Wata’ala?
Begitu juga perintah Nabi untuk menjauhi seseorang yang sedang tertimpa penyakit yang menular, beliau bersabda:
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الأَسَدِ
“Larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa”.[3]
Apakah dengan hadits ini kita juga mengatakan bahwa Nabi Shallahu ‘Alayhi Wasallam takut pada penyakit kusta sehingga beliau memerintahkan untuk pergi menjauhinya layaknya lari menjauhi singa?.
Tentu dalam hadits tersebut Nabi Shallahu ‘Alayhi Wasallam memberikan penjelasan bahwa menjauhkan diri dari wabah penyakit atau apapun yang dapat membinasakan jiwa adalah wajib. Dan disinilah harus kita fahami bahwa MUI menerbitkan fatwa untuk menjauhi penyakit Corona dengan memperhatikan protokol kesehatan bukanlah sebatas asal copy paste, tapi pastilah penuh pertimbangan, karena yang memerintahkan terlebih dahulu untuk menjauhi kemudhorotan adalah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Lantas apakah dalam ibadah di masjid juga kita tetap harus memperhatikan protokol kesehatan sebagaimana Fatwa Ulama? Bukankah di tengah wabah seperti ini kita harus banyak mendekatkan diri kepada Allah Subhanallahu Wata’ala?
Saudaraku… anda tentu sepakat bahwa dalam beribadah pun wajib kita memiliki ilmu dari bagaimana syarat sahnya ibadah hingga bagaimana panduannya. Maka begitu juga dalam beribadah ditengah wabah seperti ini. Dahulu saat Nabi Shallahu ‘Alayhi Wasallam menjumpai hujan tatkala waktu sholat telah masuk beliau pun memerintahkan bilal untuk menambah lafadz adzan “Shollu Fi Buyutikum” atau “Ala Shollu fi Buyutikum” yang artinya “Sholatlah kalian di rumah-rumah kalian” menunjukan untuk tidak melaksanakan sholat berjama’ah terlebih dahulu. Padahal itu hanyalah hujan, apakah dalam hal ini juga Nabi Shallahu ‘Alayhi Wasallam takut baju beliau basah atau kotor karena lumpur? Bukankah sholat berjamaah ganjarannya lebih besar dari sholat sendirian?.
Bahkan tatkala beliau bersafar pada suatu daerah beliau pun menqashar sholat yang awalnya empat rakaat menjadi dua rakaan dan mengganti sholat jum’at dengan sholat dzuhur, padahal sahabat yang bersama beliau jumlahnya ratusan hingga ribuan. Andaikata anda hidup di zaman Nabi Shallahu ‘Alayhi Wasallam apakah anda juga akan memprotes pendapat beliau Shallahu ‘Alayhi Wasallam?
Jika dalam keadaan seperti itu saja beliau Shallahu ‘Alayhi Wasallam memerintahkan untuk menqashar sholat, mengganti sholat jum’at menjadi sholat dzuhur, bahkan tatkala hujan beliau memerintahkan untuk tidak sholat berjama’ah maka bagaimana dalam keadaan wabah penyakit mematikan pada saat ini, yang telah menjadi pandemi di mana-mana bahkan ahli kesehatan telah menyatakan bahwa penyebaran penyakit ini tergolong tanpa gejala pada korbannya. Oleh karenanya memperhatikan protokol kesehatan yang telah di tentukan dalam beribadah di masjid tentu diwajibkan demi menghindari sebuah masalah yang lebih besar. Sebuah kaidah berbunyi:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Mencegah kemudharatan lebih diutamakan dibanding mengambil manfaat”
Seperti merapatkan shaf dalam sholat berjama’ah adalah sunnah Nabi namun mencegah penularan penyakit ini dengan menjaga jarak masing-masing satu hingga dua meter lebih diutamakan. Begitu juga menggunakan masker, dll.
Maka saudaraku… disinilah pentingnya sebuah ilmu dalam menyikapi permasalahan yang ada. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang beragama dengan hawa nafsu, egoisme dan perasaan tapi tanpa ilmu. Dengarkanlah seruan ulama karena mereka adalah pewaris Nabi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
العلماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياء لم يورثوا ديناراً ولا درهماً، وإنما ورثوا العلم. فمن أخذه أخذ بحظ وافر
“Ulama adalah pewaris para nabi, dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, dan yang mereka wariskan hanyalah ilmu, maka siapapun yang mengambilnya (ilmu_pen) maka sungguh dia telah mengambil sebagian dari warisan tersebut” [4]
Karena merekalah yang sangat mendalam mempelajari perataan Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya. Bahkan kematian mereka adalah sebuah fitnah terbesar bagi umat ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” [5]
Oleh karenanya, jika seruan para ulama kita tidak patuhi, maka dengan dasar apa kita berani menentang fatwa-fatwa mereka?
Bukankah Allah Subhanahu Wata’ala telah berfirman:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا, ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”[6]
Tentang ayat ini Imam At-Tabrani menafsirkan dalam tafsirnya:
الذي يجتهدون في الباطل، ويحسبون أنهم على حقّ، ويجتهدون في الضلالة، ويحسبون أنهم على هدى، فضلّ سعيهم في الحياة الدنيا، وهم يحسبون أنهم يحسنون صنعا
“yang mereka lakukan sungguh-sungguh dalam kebatilan. Dan mereka menganggap amalan mereka itu benar. Sehingga mereka pun bersungguh-sungguh dalam kesesatan dan menganggap diri mereka di atas petunjuk. Maka sesatlah mereka dalam kehidupan dunia dan mereka mengira diri mereka sedang melakukan kebaikan” . [7]
Kesimpulannya, menghindari virus corona bukan berarti kita lebih takut kepada makhluk melebihi rasa takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala, bahkan mengikuti arahan para ulama dengan memperhatikan protokol kesehatan selama masa pandemi Corona saat ini merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Justru keluar rumah tanpa memperhatikan protokol kesehatan dapat menjadi kedzoliman bagi dirinya dan orang lain, karena tidak disadari pelakunya telah membuka celah penyakit masuk ketubuhnya yang dapat menjadikannya tidak dapat totalitas dalam beribadah, dan kemungkinan besar akan menularkan penyakit tersebut kepada orang lain yang masih sehat. Na’udzu Billahi Min Dzalik
***
Oleh: Deky Pramana
[1] QS. Al-Baqarah: 195
[2] QS. An-Nisa: 71
[3] HR. Muslim: 5380
[4] HR. Al- Bukhary dalam Shahih Bukhary, bab. Al-‘Ilmu Qablal Qoul Wal ‘Amal, juz 1, hal. 25
[5] HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673
[6] QS. Al-Kahfi: 103-104
[7] Muhamad bin Jarir At-Tabrani, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Qur’an, (Mu’assasah Ar-Risalah, cet 1, 1420 H/2000 M), juz 18, hal 127